Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Bos Lab Klinik yang Dulu TU SMP Muhammadiyah

1 Juli 2020   13:17 Diperbarui: 3 Juni 2021   13:00 4602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HM Sulthon Amien.foto:parahitanews.com

Siang itu, saya bertemu Dr HM Sulthon Amien. Pemilik Parahita Diagnostic Center. Laboratorium klinik terkemuka yang berpusat di Surabaya. Punya cabang di semua kota besar di Indonesia. Dan kini telah memekerjakan banyak karyawan.

Saya menerima ajakan makan siang Pak Sulthon, begitu saya karib memanggilnya. Bareng Suli Da'im (COO PS Hizbul Wathan). Tempatnya di Al's Pizza Surabaya, resto dengan konsep modern. 

Di lantai dua bangunan tersebut ditempati startup Hompimpa, perusahaan rintisan berbasis digital yang melahirkan karya-karya animasi kelas dunia. Resto maupun startup tersebut dikelola tiga anaknya, yakni Mizan, Faza, dan Finna.

Tak banyak berubah dalam diri Sulthon Amien. Kalem, ramah, dan murah senyum. Penampilannya juga jauh dari kesan wah. Kumis yang selelu tercukur bersih dan jenggot yang dibiarkan memanjang. Sehari-hari, dia lebih banyak memakai baju takwa. Bicaranya datar dan cenderung banyak mendengar dan bertanya.

Baca juga :Pentingkah Klinik Kesehatan Memiliki Website?

Sulthon Amien mengaku gak pernah bercita-cita jadi pengusaha. Bermimpi pun tidak. Sebaliknya, dia pernah mengapungkan asa bisa jadi pegawai. Beberapa kali dia ikut testing. 

Baik penerimaan pegawai negeri sipil (PNS), pegawai BUMN, maupun pegawai perusahaan swasta. Namun tak pernah lolos. Bahkan, dia pernah berniat mengajukan lamaran di Kantor BRI tempat kakaknya bekerja. Namun sang kakak tak menyetujui.

Sulthon Amien menghabiskan masa kecil di Grogol, Tulangan, Sidoarjo, Dia hidup di lingkungan keluarga yang agamis. Salat, puasa, membaca Alquran, mengaji, dan masih banyak ibadah lain yang dia jalani. "Dulu saya sering diajak kakak-kakak saya ikut pengajian, ikut mendatangi tokoh-tokoh agama," cetus dia.

Ketika remaja, Sulthon Amien pernah mencecap pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Pesantren yang menerapkan disiplin tinggi dan penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris). Namun di pondok tersebut dia tidak menyelesaikan sampai lulus.  

Sulthon Amien kemudian hijrah ke Surabaya. Di Kota Pahlawan, kali pertama mendapat pekerjaan di SMP Muhammadiyah Surabaya. Jabatannya sebagai staf tata usaha (TU). Pekerjaan itu dia jalani dengan serius. Rupiah demi rupiah dia kumpulkan. Hingga ketika uangnya cukup, dia bisa mewujudkan keinginan besar, yakni kuliah di IKIP Muhammadiyah Surabaya (sekarang Universitas Muhammadiyah Surabaya, red).

Baca juga : Parahita Diagnostic Center Juga Peduli dengan Pendidikan

"Kuliahnya malam hari. Tidur di sekolah, pagi jadi TU," kenang Sulthon.

Ketika kuliah di semester dua, jabatan Sulthon Amien naik. Dia tak lagi jadi staf TU, tapi guru. Selain aktif berorganisasi di Muhammadiyah, dia juga menjadi mubaligh. Ceramah dari masjid ke masjid. 

Setelah lulus S-1, dia juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Aktivitas itu dilakoni hingga menikahi Enny Soetji Indriastuti.

***

Lantas, bagaimana bisa punya bisnis laboratorium klinik yang menggurita? "Ya, ndilalah kersaning Allah. Begitulah tangan Allah terlibat," tutur Sulthon Amien, merendah.

Sulthon Amien selalu bersyukur dengan semua ketetapan Allah. Seperti hanya dia sama sekali tak punya background pebisnis. Sementara istrinya alumnus analis medis, dulunya juga gak pernah diterima ketika melamar sebagai pegawai. Keluarganya hanya punya warung kelontong.

Hingga mereka diajak seorang teman mendirikan laboratorium medis, sekitar 1987. Masa itu, Sulthon Amien tak punya modal besar. Namun dia beruntung lantaran keluarganya sepakat menjual sawah warisan orang tuanya untuk dipakai modal usaha. Sulthon diberi syarat agar memberi hak kepada adik beda ibu dan ibu tirinya.  

Ketika menjual sawah, teman ayahnya sempat menegur. Dia bilang kalau orang yang jual sawah warisan itu itu biasanya kalau tidak bangkrut, ya ada friksi dengan keluarga.

Sulthon Amien menampik hal itu. Dia katakan kalau duit hasil menjual sawah warisan orang tuanya akan dipakai untuk usaha. Lebih produktif. Inshaa Allah, kalau usaha berhasil bisa bermanfaat lebih besar buat dirinya, keluarga, dan umat.

Mendengar itu, teman ayahnya balik memberi acungan jempol. "Oh, kalau seperti itu saya doakan semoga usahamu berhasil. Saya ajak jamaah untuk sama-sama mendoakan."

Baca juga : Resensi, Penuntun Laboratorium Klinik

Alhamdulilah, bisnis laboratorium medis miliknya mengalami perkembangan signifikan. Meski pada perjalanan ada kendala, ujian, dan tantangan, Sulthon Amien menjalani dengan istiqamah.

Dalam berbinis, Sulthon Amien punya tiga pandangan. Pertama, berdedikasi tinggi terhadap apa yang dijalankan. Dedikasi berupa komitmen, kecintaan, atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik.

Kedua, memiliki determinasi. Artinya, kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, dan pantang menyerah.

Ketiga, inovatif alias berpikir beda dengan orang lain. Orang -orang sukses memakai jalan, cara, atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Jadi inovator dan trendsetter.

Di laboratorium klinik miliknya, Sulthon Amien mewajibkan semua memberi pelayanan terbaik. Dari hal kecil sampai yang besar. Seperti dia selalu mewanti-wanti agar tidak ada "kasus" darah klien yang tidak diperiksa dan disimpulkan sudah sehat dan normal. Sementara yang diperiksa hanya darah yang keruh saja.

***

Ketika bisnis makin membesar dan menggurita, Sulthon Amien tak pernah mengesampingkan kegiatan filantropi. Dia yakin manusia takkan bisa menjamah kapan datangnya rezeki. Kendati dia tahu secara kalkulatif akan mendapat keuntungan.

Menghitung hasil bisnis bukan seperti matematika. Banyak faktor yang mempengaruhi. Bisnis yang sukses adalah bisnis yang menemukan keseimbangan antara tanggung jawab ekonomi, sosial, dan lingkungan.

"Kegagalan di bisnis pasti ada. Tapi jika bisnis lancar-lancar saja, saya justru merenung, apakah Allah sedang ngujo (menguji) saya," tutur dia.   

Sulthon Amien menginsyafi jika kekayaan adalah titipan. Harta sejati itu yang disedekahkan. Allah mengukur seberapa besar yang dibelanjakan milikmu. Baginya, tidak ada orang yang miskin lantaran mau berbagi dan bersedekah. 

Pengalaman dirinya pun bisa menjadi pelajaran. Ketika sudah menjadi pebisnis, Sulthon Amien masih sering diundang untuk ceramah di masjid. Pulang ceramah dia acap diberi uang saku. 

Ketika itu, semua uang saku tidak dipakai sedikit pun, melainkan diumpulkan istrinya. Hingga suatu saat setelah dihitung jumlahnya lumayan besar.

Masa itu, Sulthon Amien dan istrinya ingin membangun masjid. Mereka kemudian menemui keluarga di Grogol, Tulangan. Uang saku yang dikumpulkan itu sedianya mau dipakai untuk membangun masjid. Namun belum cukup. 

Karena lahannya belum ada. Saat itu, Sulthon Amien ingat punya rumah warisan yang dijual tapi gak laku-laku. Rumah itu kemudian dibongkar dan dijadikan masjid.    

Relasi bisnis dan filantropi juga menjadi perhatian Sulthon Amien. Dia lantas mengutip ayat, "Y ayyuhallana man hal adullukum 'al tijratin tunjkum min 'abin alm. (Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? Quran Surat As-Shaff Ayat 10)

Pertanyaannya, mengapa Allah mengajak berbisnis kepada seorang muslim bila ingin masuk surga? Kata dia, pebisnis itu punya mindset jika hidup tak punya pensiun, kerja keras, kerja cerdas, dan berkualitas. Mampu me-manage, mengelola usaha dengan bagus. Bisa hidup sampai regenerasi ke regenerasi.

"Kalau dulu, ada yang mengatakan begini: bisnis itu modal sedikit labanya besar, itu bisnis apa. Gak ada. Rugi pun bisnis masih bisa dilakukan asal roda masih bisa berputar," katanya.

Tak hanya itu, imbuh Sulthon Amien, konsistensi alias istiqamah sangat dibutuhkan dalam merawat bisnis. "Kenapa orang berbisnis dari generasi pertama berhasil, generasi kedua habis, apalagi di generasi ketiga? 

Karena tidak menjaga kualitas. Orang beribadah itu  harus menjaga kualitas," ujar pria yang menyelesaikan pendidikan doktornya di UGM ini.

Kini, sebagai bentuk rasa syukur, Sulthon Amien ingin terus menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat yang jauh lebih luas. Dia telah membentuk Yayasan Seribu Senyum. 

Lembaga filantropi yang menggalang dan mengelola dana sosial melalui program pemberdayaan masyarakat berbasis kampung. Dengan pelembagaan ini impact-nya diharapkan jauh lebih besar. Bisa membantu banyak kaum papa yang membutuhkan. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun