"Kuliahnya malam hari. Tidur di sekolah, pagi jadi TU," kenang Sulthon.
Ketika kuliah di semester dua, jabatan Sulthon Amien naik. Dia tak lagi jadi staf TU, tapi guru. Selain aktif berorganisasi di Muhammadiyah, dia juga menjadi mubaligh. Ceramah dari masjid ke masjid.Â
Setelah lulus S-1, dia juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Aktivitas itu dilakoni hingga menikahi Enny Soetji Indriastuti.
***
Lantas, bagaimana bisa punya bisnis laboratorium klinik yang menggurita? "Ya, ndilalah kersaning Allah. Begitulah tangan Allah terlibat," tutur Sulthon Amien, merendah.
Sulthon Amien selalu bersyukur dengan semua ketetapan Allah. Seperti hanya dia sama sekali tak punya background pebisnis. Sementara istrinya alumnus analis medis, dulunya juga gak pernah diterima ketika melamar sebagai pegawai. Keluarganya hanya punya warung kelontong.
Hingga mereka diajak seorang teman mendirikan laboratorium medis, sekitar 1987. Masa itu, Sulthon Amien tak punya modal besar. Namun dia beruntung lantaran keluarganya sepakat menjual sawah warisan orang tuanya untuk dipakai modal usaha. Sulthon diberi syarat agar memberi hak kepada adik beda ibu dan ibu tirinya. Â
Ketika menjual sawah, teman ayahnya sempat menegur. Dia bilang kalau orang yang jual sawah warisan itu itu biasanya kalau tidak bangkrut, ya ada friksi dengan keluarga.
Sulthon Amien menampik hal itu. Dia katakan kalau duit hasil menjual sawah warisan orang tuanya akan dipakai untuk usaha. Lebih produktif. Inshaa Allah, kalau usaha berhasil bisa bermanfaat lebih besar buat dirinya, keluarga, dan umat.
Mendengar itu, teman ayahnya balik memberi acungan jempol. "Oh, kalau seperti itu saya doakan semoga usahamu berhasil. Saya ajak jamaah untuk sama-sama mendoakan."
Baca juga : Resensi, Penuntun Laboratorium Klinik