Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hari Kemenangan

23 Mei 2020   16:31 Diperbarui: 23 Mei 2020   20:38 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Mendekati ujung Ramadan, kesibukan Nirwan selalu bertambah. Mengecek penanggalan. Menghitung saldo dalam tabungan. Mendata orang-orang fakir di sekitar rumahnya dan sanak kerabat yang dianggap butuh merayakan kemeriahan di hari kemenangan. Jumlah mereka yang terdata tiap tahun selalu bertambah.

Bukan cuma itu, Nirwan kerap menyisir pasar tradisional, mal, dan hypermart. Pameran dan bazar di kampung-kampung acap ia datangi. Nirwan membandingkan harga-harga barang. Yang jadi prioritas barang-barang kebutuhan pokok. Sarung, baju muslim, jilbab, mukena, kurma, dan kue-kue kering menjadi pilihan berikutnya.

Melinda, sang istri, hapal betul kesibukan Nirwan itu. Dia tentu saja tak keberatan. Justru, di matanya, ada kebanggaan yang sulit ditakari oleh pria-pria yang dia kenal. Pilihan sang suami yang selalu ingin useful. Berusaha melengkapi kehidupan orang lain. Suatu pertanda mulia sebagai manusia.

Bahkan--yang satu ini tak bisa dilupakan Melinda-- ketika Nirwan memutuskan membeli barang-barang nantinya. Melinda yakin dua ratus persen, Nirwan bakal menjatuhkan pilihan membeli barang-barang di pasar tradisional.

Kalau dihitung, harga barang-barang yang kau beli di pasar lebih mahal, lho. Di mal atau hypermart, barang-barang seperti itu lebih murah, kritik Melinda suatu ketika saat melihat barang-barang yang diborong suaminya.

Ini bukan soal harga, Mel. Mereka jauh lebih membutuhkan barangnya laku ketimbang yang ada di mal-mal itu. Mereka yang di pasar tradisional itu sekarang susah. Semua pasar tradisional sudah dikepung ritel-ritel asing, Mel. Regulasi pemerintah yang katanya jadi payung perlindungan itu mana. Nggak ada. Hanya jadi macan kertas. Banyak pasar tradisional sekarang gulung tikar, begitu Nirwan menjawab kritik istrinya.

Entah sudah yang ke berapa puluh kali Nirwan melakoni kesibukan itu. Jelang Lebaran, dia selalu membagi-bagikan bingkisan. Kaum papa, sanak kerabatnya menjadi sasaran tentunya. Bingkisan-bingkisan itu ia kemas dalam kardus putih berdimensi 40,3 cm. Ukuran paten yang biasa dipakai toko-toko yang menjual bingkisan Lebaran. Di dalam bingkisan terselip kartu ucapan Lebaran dan amplop berisi lembaran uang yang baru ditukar dari bank.

Seperti hidup manusia dalam proses metabolisme. Ada bagian-bagian yang ditelan, ada juga yang harus dikeluarkan. Kekayaan yang direnggut manusia pun begitu, harus ada yang disisihkan. Harus ada yang bisa dibagi dengan orang lain. Itu parameter universal yang hakiki. 

"Jadilah selimut bagi kaum tertindas di tengah hujan. Jadilah matahari yang tak pernah lelah memberikan kehangatan," cetus Nirwan setiap kali memotivasi anak buahnya.

***
Nirwan terlihat santai di meja kerja. Direbahkan tubuh di kursi. Bolpion parker urban CT digerakan memutar berulang-ulang di jari-jemarinya. Diurutnya angka-angka dalam kalender duduk yang berisi company profile dan produk-produk perusahaan. Nirwan memang buta soal angka dan huruf kalender Hijriyah. 

Angka dan huruf dalam kalender Masehi yang jadi rujukan. Dirunutnya ke belakang. Dari dua tanggal merah yang menandai libur Hari Raya Idul Fitri. Yang dia tahu, ibadah puasa dijalani selama dua puluh sembilan hari. Dan kini, masih tersisa delapan hari sebelum memasuki 1 Syawal. Hati Nirwan benar-benar berbuncah. Tak lama lagi, hari kemenangan itu tiba, decak hatinya.

Banyak orang heran dengan aktivitas Nirwan ini. Saban hari Sabtu dan Minggu, ia tak pernah melewatkan pergi ke gereja bersama istri dan tiga anaknya. Nirwan mengajari keluarganya menjadi penganut Katolik yang taat. Tapi, di setiap Lebaran, dia juga larut dalam suka cita. 

Unjung-unjung (tradisi bermaaf-maafan) tak pernah dilewatkan. Keluarga, kerabat, sahabat, dan tetangganya ia sambangi. Ia sampaikan permintaan maaf. Di rumah, Nirwan juga tak melawat tradisi menyantap makanan khas Lebaran. Ketupat, sambal goreng ati, roti maryam, dan gule kacang ijo. Tak ketinggalan makanan-makanan kering, kue spiku, lapis legit, dan emping melinjo.

Teman-teman jamaah gerejanya melihat Nirwan sosok yang eksentrik. Sebagai aktivis gereja, Nirwan kerap berdebat keras menentang gerakan pemaksaan keyakinan. Nirwan kerap berdebat keras dengan sejumlah pastor dan misionaris.

Kekerasan dan radikalisasi atas nama agama berawal dari munculnya pemaksaan keyakinan itu, Pak. Itu termasuk adanya monopoli kebenaran. Tidak ada hak bagi manusia yang merasa menjadi wakil Tuhan di muka bumi, ucap Nirwan, suatu ketika dalam diskusi dengan pastor di gerejanya.

Beberapa waktu lalu, Nirwan mudik ke Caruban. Tiba di kampung halaman, hatinya risau. Masjid yang sudah berdiri sejak ia masih bocah, kondisinya sungguh mengenaskan. Sangat lusuh. Dindingnya berkabut lumut. Pagarnya reyot dan bersisik. Beberapa bangunan di bagian atas dan samping retak-retak dan bergelombang. Di kamar belakang berasa bau apek.

Nirwan sesungguhnya ingin membangun masjid itu dengan duit pribadinya. Namun dia takut warga salah tafsir. Diajaklah kawan-kawan sepermainan dia urunan. Seikhlasnya. Nirwan juga melobi sejumlah aparat desa yang dikenalnya.

Nirwan menghitung luasan lantai yang basah. Butuh karpet untuk menyelimutinya. Lantas dihampirinya mimbar. Ia minta kran air buat wudhu dibuka. Terdengar deras gemiricik air. Suara air itu bisa mengganggu bila ada ustad berdiri di sini. "Kasihan ustadnya, ceramahnya pasti sering terganggu suara air."

Kalo mau dipindah, di mana? Yang ada luas di samping pagar itu, Mas. Tapi butuh banyak material sebagai jalannya jamaah, usul Pak Sukri.

Bisa, Pak. Posisinya memang harus dipindah lebih ke luar. Kalau perlu jumlah krannya ditambah. Tapi ini sekedar usul, sela Nirwan, yang dua tahun belajar belajar civil engginering di Iowa University, itu.

Warga mengamini. Seterusnya, kebutuhan material untuk pembangunan silih berganti datang. Tak lewat sebulan, masjid itu berbenah. Lebih rapi, bersih, dan wangi. Kebutuhan biaya operasional untuk relawan yang ikut merawat masjid tak luput dari perhatian Nirwan.

Warga yang lain merasa tak nyaman dengan kehadiran Nirwan. Prasangka bergelimang. Kecurigaan ada misi terselubung di balik sikap baik memberi bantuan. Jangan-jangan Nirwan seorang misionaris. Butuh kewaspadaan agar jangan tergoda hingga berbalik keyakinan

"Dia itu non muslim, lha kok dibiarkan masuk masjid sih, najis, tho!" ujar Hambali, pengusaha yang juga tokoh kampung. Warga yang berkumpul di dekat pelataran masjid pun terhenyak.

"Emangnya kenapa, Kang? Nggak boleh orang Kristen masuk ke masjid? Bule-bule tuh banyak yang masuk Masjid Istiqlal di Jakarta sana," Totok, warga lain ikut menyela.

"Koruptor-koruptor juga masuk masjid, Mas. Apa mereka juga tidak najis. Yang menginjak-injak kesucian Masjidil Aqsa itu orang-orang Yahudi, Kang. Lalu kita bisa berbuat apa?" Misbah menimpali.

"Iya, tapi kita harus bisa memilah. Dia itu kan pasti punya misi. Omong kosong lah kalau nyumbang tanpa embel-embel. Pasti ada misi terselubung. Saya curiga, jangan-jangan sudah banyak korbannya. Yang saya tahu gerakan di daerah Malang Selatan kan seperti itu," ucap Hambali.

"Kok jauh banget, Kang. Marni itu lho yang sudah jelas-jelas di depan mata kita. Janda yang ditinggal minggat suaminya, apa kita peduli? Marni nangis-nagis kebulet utang buat nambeli hidup, apa kita peduli? Dia sudah sambat ke mana-mana, anak nggak bisa sekolah, lha apa kita peduli? Sekarang, dia aktif di gereja karena dapat bantuan untuk kebutuhan rumah tangganya, apa kita juga peduli?" ujar Misbah yang mulai tak sabar.

"Rumah jenengan itu kan satu gang sama Marni, cuma terpisah dua rumah, iya tho Kang? Apa sampeyan nggak takut kena azab, menelantarkan kaum fakir, jadi pendusta agama," Totok mengimbuhi.

Hambali seperti tersaduk batu. Dia mati kutu mendengar jawaban segelintir warga. Tanpa berucap, Hambali ngeloyor pergi. Ia tak bisa menutupi perasaan malunya.

***
Sungguh, ada dorongan kuat melengkapi kedahagaan batin di setiap Lebaran tiba. Menyemai kedamaian dan kebahagian tiada kira. Membingkai solidaritas bersama. Meremas habis segala permusuhan dan keculasan. Kembali ke kampung ruhani.

Nirwan tak beranjak dari televisi. Pukul delapan malam pengumuman dari Menteri Agama, soal penetapan Hari Raya Idul Fitri. Tak ada perbedaan. Pastinya, salat Hari Raya akan bareng tahun ini, gumam dia.

Usai Subuh, Nirwan terbangun. Dibukanya lebar-lebar pintu dan jendela rumahnya. Disambutnya angin pagi yang menyejukkan. Ditatapnya warga yang berduyun-duyun menuju lapangan bola yang lokasinya hanya lima puluh meter dari rumahnya. Suara-suara takbir, tahmid beriringan, menggema lewat pengeras suara. Membahana di seluruh jagad raya.

Allahu Akbar/Allahu Akbar/ Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar/Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd

Nirwan terdiam sembari berucap, Tuhan, terima kasih telah Kau berikan hari yang indah. Hari kemenangan dalam hidupku. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun