Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sesosok Bayangan Berjubah Putih

15 Mei 2020   16:02 Diperbarui: 16 Mei 2020   14:30 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perasaan itu datang lagi. Setelah sepuluh tahun. Kosong. Kecemasan mendera. Kebingungan datang dari segala arah. Rasanya, ajalku makin dekat. Mengapa tiba-tiba aku begitu cemas dengan datangnya kematian?

Empat hari lalu, tepatnya di malam Senin Wage, mimpi buruk itu datang lagi. Sesosok bayangan berjubah putih teronggok di depanku. Wajahnya tak jelas. Perawakannya tinggi besar. Suaranya berat. Samar-samar kudengar erangan. Berkali-kali. Seolah hampir menyentuh bibirku. Kulihat dia melambaikan tangan. Menyapa di tengah kegelapan. Mungkinkah bayangan itu sang malaikat pencabut nyawa? Entahlah.

Tubuhku menggigil. Peluh membasahi kaus putih yang menyelimuti tubuhku. Mulutku tak kuasa menganga, mengucap sepatah kata. Ya Allah, tiada kekuatan yang bisa melebihi kasihMu. Maka, cintailah aku, ya Allah, desir batinku menyeruak.

Aku tersengat. Teringat hamparan dosa yang melumuri perjalanan hidupku. Yang terus kuulangi tanpa pernah kusesali. Ah, naif betul aku. Kala kekalutan mendera, ku tersadar atas segala kesalahan. Prasangka dan amarah datang silih berganti. Betapa rapuhnya aku. Di saat ketakutan menyergap. Lamat-lamat aku mengingat semua kedurhakaan dan kehinaan.

Napasku bergerak cepat. Kuingin segera terjaga. Melepaskan diri dari gumpalan udara yang menindih jantung. Menampik gelombang besar yang menyeret pikiran. Namun, akhh.. tangan, kaki, dan sekujur tubuhku tak bisa beranjak.

Mungkin, inilah akhir segalanya. Akhir dari semua cerita hidupku. Hidupku harus berhenti. Tanpa daya. Kupasrahkan diri terhanyut dalam kegelapan. Kutenggelamkan diri mengikuti suara angin yang berembus dan berjalan agak lamban. Sampai tak sempat lagi aku bermunajat, memohon keselamatan agar semua dosaku terampuni.

Sesosok bayangan berjubah putih itu bercokol lagi. Kali ini, ia makin mendekat. Samar-samar, kutatap lekat dirinya. Kupandangi langit-langit wajahnya. Kucecap aroma tubuhnya. Aku ingin melihat senyumannya, namun kutunggu sekian lama tak tergerai sedikit pun. Desahan suaraku menyembul seiring dengan gundukan perasaan yang terpendam.

Sesosok berjubah putih itu masih terdiam. Menerawang dalam bayang-bayang. Kini, dia pun mendekat, terus mendekat, mendekat. Aku pun terjaga

***

Sesungguhnya, sudah sekuat tenaga aku mencoba redakan diri menghindar dari kecemasan. Aku kerap mendatangi masjid. Bahkan yang tak terlewatkan di malam hari. Meneriakkan takbir, bersujud selama mungkin. Kupanjangkan dzikir. Aku mengadu atas segala kekhilafan.

Di masjid, aku merenung. Bertafakur. Bahkan, yang terakhir aku ber-uzlah, mengasingkan diri. Itu sesuai saran Faiz, teman satu apartemen denganku. Dengan ber-uzlah, jiwamu akan lapang. Itu bisa mengikis semua kesedihanmu, saran Faiz kala itu.

"Kamu sadar, lisan kita ini yang suka membual. Pikiran kita yang kerap menyimpang. Jiwa yang berkecenderungan berbuat jahat. Itulah tabir yang menutupi aurat. Nah, dengan ber-uzlah kau akan mendapat bimbingan membuka tabir itu. Cobalah, imbuh Faiz meyakinkan.

Tentu saja, nasihat itu membuatku tersentak. Tak seperti biasanya Faiz bisa bercakap bak seorang ulama. Yang arif dan bijak. Ia seakan peka terhadap masalah-masalah kejiwaan. Atau, barangkali kegilaan Faiz melahap buku-buku agama belakangan ini, gumamku, membuat cakrawala pemikirannya makin kaya. Makin bertenaga.

Ah, apa salahnya kuturuti saran dia. Toh, aku juga melakukan ibadah. Bukan bertapa atau bersemedi, yang bisa mendekatkanku terhadap bidah dan khurafat. Karena, kedua hal itu sejak lama tak ingin kusentuh. Tanganku merinding, tak ingin tercelup api neraka.

Aku juga kerap menambah ibadah dengan membaca kalam ilahi. Membaca dengan tartil, lalu memaknai artinya baris demi baris. Kuberharap temukan hikmah. Membaca dan memaknai, akan menemukan butiran-butiran nilai, memetik manfaat dari menara ide, begitu kata banyak para ustad dalam ceramahnya.

Malam yang sunyi, air mataku meleleh. Tak biasanya aku secengeng ini. Semenjak ketemui sesosok bayangan berjubah putih. Aku takut kalau-kalau dalam tidurku, ia datang lagi. Dan, Allah berkehendak memanggilku. Mataku selalu teramat berat kupejamkan.

Kenapa uzlah-ku ini tidak berbuah kesejukan? Apakah keikhlasan itu teramat berat disangga manusia, sehingga tak mampu bebuat sepenuh hati?

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku terdorong untuk menemui Ilham, teman sekampusku dulu. Aku mendapat kabar dari banyak teman, Ilham kini telah menjadi guru. Dipercaya banyak orang karena mampu menerapi jiwa. Orang bilang, dia punya kemampuan makrifat.

Dalam kartu nama yang kuterima, Ilham menyebut dirinya terapis. Dia membuka Bengkel Hati, nama lembaganya. Banyak pasien datang ke kediamannya. Ada yang meminta di-rukyah, bekam, dan herbal. Bahkan, aku dengar, Ilham menjadikan rumahnya sebagai klinik. Pasiennya bisa menjalani rawat inap. Terakhir, ada enam belas orang dirawat di rumahnya. Mereka datang dari berbagai kota. Yang terbanyak pasien gangguan jiwa.

Aku amat terkejut ketika menemui Ilham, sore itu. Wajahnya terlihat cerah. Tak satu pun jerawat menempel di pipinya, seperti kulihat semasa kuliah dulu. Ilham kini juga punya jenggot panjang. Kumisnya dicukur bersih.

Ilham tak seperti yang kukenal lima belas tahun lalu. Yang funky dan doyan pelesir. Ia kini selalu memakai gamis, selalu melinting bagian bawah celananya.

Ilham sangat fasih berbahasa Arab. Maklum, sepuluh tahun ia belajar di pondok pesantren. Namun ada satu yang tak lekang: keramahannya. Itu juga yang membuat dia gampang bergaul. Keramahannya juga membuat dirinya digandrungi banyak perempuan.

"Kamu bisa coba membaca istighfar. Ditambah shalawat nabi seribu kali. Setiap hari, lho. Nasihatku ini insya Allah manjur," begitu Ilham bilang setelah mendengar semua ceritaku.," begitu Ilham bilang setelah mendengar semua ceritaku.

"Oh ya, semoga kamu tak keberatan. Usai makan, beristighfarlah sejumlah nasi yang telah kau makan itu."

"Lha, mana bisa? Bagaimana mungkin menghitungnya?

"Ya, kira-kira saja."

"Kalau tidak tepat menghitung, apa...

"Pada dasarnya, banyak-banyak beristighfar kan tidak buruk, ndak masalah," sahut Ilham.

Lantaran banyak pasien yang menunggu, aku bergegas pamit. Dalam perjalanan pulang, di benakku terselip rasa cemburu. Ya, Ilham yang mampu menderet semua persoalan dengan penuh kebersahajaan. Yang selalu mengukur segala sesuatunya dengan amal ibadah.

Sepekan berlalu, aku tak bisa menghitung berapa puluh ribu atau ratusan ribu kali istighfar dan shalawat nabi kubaca. Aku yakin itu bisa menyembuhkan luka hati yang menganga. Menyadarkanku untuk tatag menjalani hidup. Nyatanya, upaya itu tak memberi harapan. Kesedihanku masih menyala-nyala. Aku masih merasa sunyi.

***

Sudah dua hari dua malam mataku sulit terpejam. Sulit bagi menikmati tidur dengan degup jantung terus memburu. Aku kerap terjaga saat tangan dan kakiku tiba-tiba tergerak.

Seharian, aku linglung mengisi hari-hari yang pilu. Aku duduk sendiri. Menatap panorama dari balik jendela apartemenku. Aku melihat kesibukan di sebuah kampung kecil padat huni. Kampung itu terlihat makin kumuh. Apalagi setelah bangunan apartemen yang kutempati selesai, dua tahun lalu. Kampung itu jadi langganan tumpahan air bah bercampur sampah dan lumpur. Bahkan, bila hujan lebat mengguyur, rumah-rumah warga bisa terendam air sampai sedengkul.

Semula, warga sempat protes. Gejolak pun tumpah. Warga di kampung itu minta ganti rugi. Namun, pemilik apartemen malah membangun tembok kokoh mengelilingi seluruh bangunan apartemen. Tiap hari, sepuluh aparat marinir dikerahkan menjaga keamanan. Warga yang keder akhirnya memilih bertahan.

Tergambar jelas, wajah kuyu bocah-bocah ingusan bertelanjang dada menenteng kantong plastik yang dikumpulkan dari bak-bak sampah. Bayi-bayi kecil asyik menetek ibunya. Pria-pria berusia senja mendorong gerobak berisi beberapa jerigen air bersih.

Tiba-tiba, aku ingat nasihat almarhum ayahku. Ia berpetuah, ketika saban hari aku ikut salat subuh berjamaah bersamanya di rumah. Katanya, banyak manusia celaka di dunia ini, meski mereka khusyuk beribadah. Kenapa? Yang pertama, menelantarkan anak yatim. Kedua, tidak suka memberi makan orang miskin. Ketiga, selalu berbuat riya , begitu pesan ayahku.

Barangkali, aku sudah menjadi bagian dari orang-orang zalim itu? Aku tergugah. Semangatku terdongkrak. Pikirankan lamat-lamat berasa lempang. Hingga aku begitu merasa pasrah. Gejolak itu kemudian menyeretku tersenyum.

Di sofa, aku baringkan tubuh. Kupeluk bantal erat-erat. Mataku berasa berat. Tiada lagi terpikir kutemui sesosok bayangan berjubah putih. Aku memilih tidur ditemani iringan musik yang kuputar dari radio. Indah betul. Di antara sadar dan kuterjaga, kudengar lagu lawas Bimbo yang teramat nostalgik.

 Pesan nabi tentang mati//jangan takut mati karna pasti terjadi//Setiap insan pasti mati hanya soal waktu...

Pesan nabi tentang mati//janganlah minta mati datang kepadamu// Dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun