Senang menggunakan istilah ini: bengkel diri. Sebagai ajakan atau support untuk memerbaiki kualitas diri. Mereparasi segala macam kekurangan dan kerusakan. Â
Dulu, kata "Bengkel" sering saya pakai untuk tema pelatihan jurnalistik.  Yang wajib diikuti wartawan baru maupun senior. Tujuannya me-refresh diri. Tidak stagnan alias jumud. Punya wawasan dan perspektif baru. Makanya yang diundang menjadi pembicara bukan hanya dari insan media. Tapi juga pakar ekonomi, pakar statistik, praktisi hukum, praktisi perbankan, pengamat olahraga, dan lainnya. Â
Sekarang, saat menjalani puasa Ramadan, rasanya sungguh tepat menyebut sebagai momen untuk membengkel diri. Ya, karena banyak hal yang harus diperbaiki. Membersihkan riak-riak batin. Mengencangkan pikiran dan akal budi. Membasuh jiwa yang kering karena tertutup nafsu duniawi. Hakikat tersebut diyakini untuk menggapai kesempurnaan hidup. Menjadi insan kamil. Manusia paripurna.
Untuk membengkel diri butuh waktu dan kesabaran. Karena itu, bulan penuh berkah dan ampunan ini sebagai tempat melatih diri. Sekaligus bisa melakukan dua rehabilitasi diri. Pertama, rehabilitasi hubungan dengan Sang Khalik. Itu diwujudkan melalui amal ibadah: salat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya.
Kedua, rehabilitasi hubungan dengan sesama. Menjalin silaturrahim (meski kini harus berjarak dengan sesama lantaran pandemi Covid-19), membunuh amarah dan syak wasangka, menghabisi dendam, melebarkan kelapangan hati, dan seterusnya.
Saya percaya, fitrah manusia sesungguhnya selalu terdorong untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kesucian. Akan tetapi, manusia sering kali sulit mengendalikan hawa nafsu, sehingga gampang rapuh dan pecah.
Pun fitrah manusia juga berkecenderungan diliputi perasaan ketakutan. Takut tidak mendapat rezeki, takut kelaparan, takut menghadapi kematian, takut jatuh miskin, takut kehilangan jabatan, dan seterusnya. Sehingga manusia acap kali gelisah, resah, cemas, dan risau. Dada yang berasa tertindih beban hidup. Berjuta kecewa mendera karena keinginan dan harapan yang sirna.
***
Di tengah membengkel diri, ada baiknya mengingat nasihat tentang dunia. Yang kerap melenakan manusia. Kekayaan, kecantikan, ketampanan, ketercukupan acap kali membuat kita lupa terhadap Sang Pencipta. Tanpa sadar, banyak hal yang tidak disadari kalau kita telah mengindahkan kekuasaan Allah Yang Maha Agung.
Seorang pegawai rela menggadaikan ketauhidan lantaran ingin mendapat rupiah. Seorang pemimpin rela berbuat jahat terhadap bawahan karena khawatir dipecat pemilik perusahaan. Sang pemilik perusahaan dengan mudah berdusta karena ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Kemudian muncul pertanyaan, jika memang Allah yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki, mengapa kita harus takut kepada sesama manusia? Â Â Â Â
Pusaran kehidupan juga kerap membuat mata hati terbelenggu. Banyak manusia memberhalakan manusia. Manusia yang rela bertunduk pasrah atas perintah sesama. Mengikuti semua kemauan manusia, meski harus mendustakan agama. Meski harus mengorbankan keimanannya.Â
Sementara, semua perintah Allah sering kita abaikan. Kita sering meremehkan pentingnya shalat jamaah. Shalat tepat waktu. Namun yang terjadi sebaliknya. Terkadang, shalat kita abaikan. Dalihnya, terlilit kesibukan duniawi. Tak ada penyesalan sedikit pun saat kita meninggalkan shalat.Â
Begitu banyak fakir miskin dan anak terlantar, ternyata tak cukup membuat hati kita tergetar menolongnya. Ratapan dan tangisan mereka mencari sesuap nasi, mendesir bak angin lalu. Hilang tak berbekas. Lewat bak pesan sponsor dalam televisi.
Kita pun jarang memikirkan bila harta yang kita peroleh harus disisihkan untuk zakat dan bersedekah. Kita lebih mudah menghabiskan harta kita untuk urusan perut, ketimbang membaginya dengan kaum dhuafa.Â
Kita, sesungguhnya, makin jauh dari kesalehan sosial. Komitmen dan perasaan kita pasung rapat-rapat. Batin yang kosong dari pancaran sinar ilahi. Kita makin rakus memburu dunia, sementara kemuliaan kehidupan sesudah mati kelak kita kesampingkan.
Sungguh, betapa sengsara jiwa-jiwa yang terkoyak. Hidup hanya pada sebatas memenuhi urusan perut, piring, rumah, bensin, handphone, dan lain-lain. Betapa banyak manusia yang hidupnya  sedari pagi hingga petang hanya memburu rupiah.
Berpuluh-puluh tahun ia jadikan anak-anak mereka hanya sebagai pigura di rumah. Tak ada waktu lagi bercengkerama dengan keluarga. Pagi, ia berangkat bekerja, sementara sang anak lebih dulu pergi ke sekolah. Dini hari ia datang, sedang anak-anaknya terlelap dengan memeluk bantal dan gulingnya.
Ramadan ujungnya harus mampu menyentil hasrat kita untuk memerbaiki kualitas diri. Sehingga bisa hidup lebih bermartabat dan bermanfaat kepada sesama. Semoga. (agus wahyudi) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H