Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ramadan, Bengkel Diri, dan Hasrat Duniawi

12 Mei 2020   15:57 Diperbarui: 12 Mei 2020   15:54 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto:medium.com

Kemudian muncul pertanyaan, jika memang Allah yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki, mengapa kita harus takut kepada sesama manusia?        

Pusaran kehidupan juga kerap membuat mata hati terbelenggu. Banyak manusia memberhalakan manusia. Manusia yang rela bertunduk pasrah atas perintah sesama. Mengikuti semua kemauan manusia, meski harus mendustakan agama. Meski harus mengorbankan keimanannya. 

Sementara, semua perintah Allah sering kita abaikan. Kita sering meremehkan pentingnya shalat jamaah. Shalat tepat waktu. Namun yang terjadi sebaliknya. Terkadang, shalat kita abaikan. Dalihnya, terlilit kesibukan duniawi. Tak ada penyesalan sedikit pun saat kita meninggalkan shalat. 

Begitu banyak fakir miskin dan anak terlantar, ternyata tak cukup membuat hati kita tergetar menolongnya. Ratapan dan tangisan mereka mencari sesuap nasi, mendesir bak angin lalu. Hilang tak berbekas. Lewat bak pesan sponsor dalam televisi.

Kita pun jarang memikirkan bila harta yang kita peroleh harus disisihkan untuk zakat dan bersedekah. Kita lebih mudah menghabiskan harta kita untuk urusan perut, ketimbang membaginya dengan kaum dhuafa. 

Kita, sesungguhnya, makin jauh dari kesalehan sosial. Komitmen dan perasaan kita pasung rapat-rapat. Batin yang kosong dari pancaran sinar ilahi. Kita makin rakus memburu dunia, sementara kemuliaan kehidupan sesudah mati kelak kita kesampingkan.

Sungguh, betapa sengsara jiwa-jiwa yang terkoyak. Hidup hanya pada sebatas memenuhi urusan perut, piring, rumah, bensin, handphone, dan lain-lain. Betapa banyak manusia yang hidupnya  sedari pagi hingga petang hanya memburu rupiah.

Berpuluh-puluh tahun ia jadikan anak-anak mereka hanya sebagai pigura di rumah. Tak ada waktu lagi bercengkerama dengan keluarga. Pagi, ia berangkat bekerja, sementara sang anak lebih dulu pergi ke sekolah. Dini hari ia datang, sedang anak-anaknya terlelap dengan memeluk bantal dan gulingnya.

Ramadan ujungnya harus mampu menyentil hasrat kita untuk memerbaiki kualitas diri. Sehingga bisa hidup lebih bermartabat dan bermanfaat kepada sesama. Semoga. (agus wahyudi)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun