"Persepsi ayah beda denganku, Sal. Ayah memandang berdakwah ya di mimbar-mimbar itu. Komat-kamit berzikir di masjid. Ayah tak melihat betapa para mafia hukum memainkan perkara. Yang benar jadi salah, yang salah jadi kabur," ucapan David terdengar datar.
"Kamu tahu kan, kebatilan yang diorganisir akan selalu mengalahkan kebenaran yang tidak terpola. Ayah tak melihat itu, dan aku sendiri tak ingin menceritakannya karena belum banyak yang aku perbuat. Aku butuh kekuasaan untuk menyukseskan misiku, Sal."
Kepadaku, David bertutur soal kasus yang akan dibongkar. Skandal suap para sejumlah hakim, jaksa, dan polisi. Bukti-buktinya sudah terkumpul. Dari surat-surat penting hingga objek perkaranya. David juga sudah bertemu dengan sejumlah orang yang siap bersaksi di pengadilan. Mereka dari berbagai kalangan, sebagian besar pengusaha.
"Tak lama lagi, Sal. Doakan aku agar kuat mengawal kasus ini."
Jawaban David membuatku tersentak. Aku pun berdoa upayanya membeber modus mafia hukum yang melibatkan aparat dan pejabat tinggi negara bisa mulus. Aku juga seolah tersadarkan oleh kewajiban untuk selalu bertabayyun. Tidak mudah mengambil kesimpulan sebelum melakukan klarifikasi. Melakukan cek dan recek. Tak gampang menghakimi seseorang tanpa pernah tahu akar masalahnya.
Kujabat tangan David seraya mengucap kata maaf. David membalas dengan pelukan erat. Aku merasakan benar betapa indah persahabatanku ini. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H