Aku terdiam dan belum mengerti arah pembicaraannya.
"Aku punya dua perusahaan, Sal. Tidak besar, tapi lumayan lah. Aku tahu kamu bisa melakukan, mengelola perusahaan itu. Aku sudah tua. Ajaklah David. Aku ingin dia menjauhi dunianya sekarang. Aku semakin tak kenal dirinya. Dia makin membuat diriku sakit, Sal," suara Pak Imam terdengar pasrah.
Entah apa yang mendorong perasaan Pak Imam sehingga ia merasa seperti sudah mengenal lama diriku. Merasa nyaman bercerita, bahkan menyesali kelakukan anaknya. Lembaran demi lembaran dengan rona keriangan maupun kelabu ia beberkan. Tentang David. Tentang keluarganya. Tentang teman-temannya. Semuanya.
Reaksiku hanya sebagai pendengar. Aku berpuasa berkomentar. Yang mencuat hanya pertanyaan-pertanyaan kecil yang sama sekali tak ada kaitannya dengan kondisi keluarga Pak Imam.
Pak Imam merindukan David kecil. Yang selalu menangis manakala tertinggal salat berjamaah lantaran tertidur. David kecil yang saban hari mencari kesempatan membungkus makanan untuk diberikan anak tetangganya yang merawat ibunya yang bertahun-tahun menderita kusta. David kecil yang sebelum tidur selalu merengek minta dongeng tentang nabi, kisah para wali, dan kerajaan-kerajaan terkenal di Tanah Air.
Sosok David kini sangat jauh berbeda. Ia yang selalu selalu menciptakan kebohongan untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Ia yang selalu menempatkan janji di atas ingkar.
Di mata Pak Imam, David kini seolah berdiri di atas mencusuar yang amat tinggi. Tak mungkin menjangkaunya, meski hanya sekadar berteriak menyapanya.
"Jakarta telah membutakan hatinya, Sal. Kini dia makin dekat dengan para pencoleng, koruptor, dan kleptokrat," Pak Imam tanpak sedih.
Aku tidak mengiyakan tawaran Pak Imam. Hanya, pesan dia akan kusampaikan bila bertemu dengan David.
***
Laju kendaraanku terhenti, puluhan meter di depan pintu masuk perumahan kawasan Puncak Bogor. Deretan mobil membuntunya. Berjalan beriringan dengan sejumlah orang. Mayoritas tak kukenal.