Rumah berarsitektur Jawa-Bali berada di posisi pojok perumahan, tampak padat. Kenyaman dan keasrian seakan menambah kesyahduan pagi yang masih ditemani gerimis. Beberapa orang sibuk membaca surat Yasin di dekat jenazah.
Kabar kepergian Pak Imam baru kuterima via SMS, malam hari dari Jihan, kakak David. Sekelebat, ingatanku menguak tajam. Pertemuan dengan Pak Imam, berikut tawarannya. Aku melirik sekeliling. David tak ada di tempat. Usai berdoa di dekat jenazah, aku berusaha mencari David.
Tiba-tiba ada tangan yang membekap bahuku dari belakang. Aku menoleh, "Eh, Vid. Aku cari kamu. Aku turut berduka cita, ya. Ayahmu orang hebat."
Wajah David terlihat tak gembira. Bahkan kesannya curiga. Rupanya, sedari tadi, ia cukup kaget dengan kedatanganku. Dari mana aku tahu rumahnya?Juga dengan almarhum ayahnya.
"Vid, aku harus menyampaikan ini. Beberapa hari lalu, ayahmu datang ke rumah. Bukan kaitan utang piutang. Sungguh. Dia cerita soal dirimu."
"Terus?"
"Itulah, aku tak enak menyampaikan masalah ini. Anggapanku terlalu riskan. Aku takut kamu salah paham. Aku tak ingin kamu anggap diriku mencampuri urusan keluargamu. Makanya aku putuskan tak menghubungimu."
David meraih pundakku , lalu mengajakku duduk di bangku kayu di sudut taman rumahnya. Rasa penasarannya memuncak. Dibalut dengan kegundaan dan amarah, begitu yang ingin kupertegas setelah melihat tatapan matanya.
David merajuk. Terdiam lama saat mendengar semua yang dibicarakan ayahnya kepadaku. Aku tak ingin menambah atau mengurangi. Namun, bagiku, inilah saat tepat untuk menyatakan semua. Ada perasaan bordosa yang sangat menahan untuk tidak menyampaikan pesan Pak Imam.
"Aku tak bisa mengamini permintaan ayahmu. Jika harus berkata sederhana, sekarang semua terserah padamu."
David masih membisu. Tatapan matanya menyorot bak busur panah yang melesat ke arahku. Bibirnya melipat erat. Kupikir, inilah puncak kemarahan dia.