Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pesan untuk David

26 April 2020   13:49 Diperbarui: 26 April 2020   14:16 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah berarsitektur Jawa-Bali berada di posisi pojok perumahan, tampak padat. Kenyaman dan keasrian seakan menambah kesyahduan pagi yang masih ditemani gerimis. Beberapa orang sibuk membaca surat Yasin di dekat jenazah.

Kabar kepergian Pak Imam baru kuterima via SMS, malam hari dari Jihan, kakak David. Sekelebat, ingatanku menguak tajam. Pertemuan dengan Pak Imam, berikut tawarannya. Aku melirik sekeliling. David tak ada di tempat. Usai berdoa di dekat jenazah, aku berusaha mencari David.

Tiba-tiba ada tangan yang membekap bahuku dari belakang. Aku menoleh, "Eh, Vid. Aku cari kamu. Aku turut berduka cita, ya. Ayahmu orang hebat."

Wajah David terlihat tak gembira. Bahkan kesannya curiga. Rupanya, sedari tadi, ia cukup kaget dengan kedatanganku. Dari mana aku tahu rumahnya?Juga dengan almarhum ayahnya.

"Vid, aku harus menyampaikan ini. Beberapa hari lalu, ayahmu datang ke rumah. Bukan kaitan utang piutang. Sungguh. Dia cerita soal dirimu."

"Terus?"

"Itulah, aku tak enak menyampaikan masalah ini. Anggapanku terlalu riskan. Aku takut kamu salah paham. Aku tak ingin kamu anggap diriku mencampuri urusan keluargamu. Makanya aku putuskan tak menghubungimu."

David meraih pundakku , lalu mengajakku duduk di bangku kayu di sudut taman rumahnya. Rasa penasarannya memuncak. Dibalut dengan kegundaan dan amarah, begitu yang ingin kupertegas setelah melihat tatapan matanya.

David merajuk. Terdiam lama saat mendengar semua yang dibicarakan ayahnya kepadaku. Aku tak ingin menambah atau mengurangi. Namun, bagiku, inilah saat tepat untuk menyatakan semua. Ada perasaan bordosa yang sangat menahan untuk tidak menyampaikan pesan Pak Imam.

"Aku tak bisa mengamini permintaan ayahmu. Jika harus berkata sederhana, sekarang semua terserah padamu."

David masih membisu. Tatapan matanya menyorot bak busur panah yang melesat ke arahku. Bibirnya melipat erat. Kupikir, inilah puncak kemarahan dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun