Aku terkesiap. Suara pria sepuh menyaru ketenangan tidurku. Terucap kata salam cukup keras. Berkali-kali. Hampir berbarengan, suara bel yang teronggok di pintu pagar berdering. Bising.
Hatiku dongkol. Bangun pagi, uhh.. pekerjaan berat. Berat sekali. Hampir separo usiaku kubiarkan untuk tidak menatap pancaran lembut sinar mentari pagi. Kehangatan dan daya eksotikanya. Matahari yang memberi pertumbuhan dan tenaga. Matahari yang sanggup membunuh bakteri penyakit, virus, dan jamur.
Ibaratnya, aku sudah memutuskan untuk tetap jadi kelelawar. Yang selalu menunggu terbenamnya matahari, lalu menjemput rembulan dengan kilau sinarnya. Berkeliaran di kala senja mulai senyap lalu merayap. Mencakar dinginnya malam. Membakar energi untuk menguatkan kemampuan mengindera tempat dengan gema.
Bagiku, kelelawar tetap menjadi simbol kekuatan, ketajaman, bertindak tanpa kompromi. Pun kelelawar juga selalu mempertahankan kesetiaan abadi.
Jika dia memang keluarga, kerabat, maupun sahabat, mestinya tahu, sepagi ini bukan waktu yang tepat bertemu denganku. Dulu, aku sempat nggak enak hati, tatkala kedua orang memilih menginap di hotel setiba di Bandara Soekarno-Hatta lantaran tak ingin mengganggu tidurku. Mengusik jam istirahatku. Jelas, dia bukan mereka yang kukenal.
"Waalaikum salam..," jawabku, lumayan ketus sembari meraih handuk kecil yang selalu kupajang di dekat tempat tidurku.
Aku melirik di balik korden, menantap ke bawah. Penglihatanku agak kabur. Aku mengucek mataku beberapa kali. Sesosok pria mondar-mandir di balik pagar. Seperti dugaanku, seorang pria sepuh. Usianya kisaran 60 tahun. Pakai baju gamis, kopiah putih, plus sorban. Dia datang bersama sopirnya, yang memarkir mobil Cherokee hitam doff di depan pagar rumahku.
Siapa dia? Nggak merasakah dia, suara paraunya sangat tidak nyaman didengar. Sepagi ini, ya sepagi ini, ada pria yang penampilannya mirip Ustad Abu Bakar Baasyir bertandang ke rumahku.
Seketika, beban berat di otakku bertambah. Porsi pacu jantung melesat cepat. Seolah terpompa dorongan amarah.
"Benar, ini rumah Faisal? begitu kata pria sepuh itu saat aku membuka pintu rumah.