"Betul," aku menyahut agak sewot.
"Kamu, Faisal," pria itu ingin memastikan lagi.
"Ya, benar pak haji, saya Faisal. Apa yang bisa saya bantu?
Aku menyerah. Tak mungkin membiarkan orang tua berdiri di depan pagar. Sungguh amat tidak sopan. Aku mempersilakan dia masuk setelah kubuka pintu pagar. Di teras rumah, pria itu duduk bersandar. Ku tersadar jika suara kerasnya itu terkait dengan alat bantu pendengaran yang dia pasang di kuping kanannya.
"Saya Imam. Imam Muhlas, ayah Saipul Bahri," suaranya terdengar keras dan lekat dengan logat Madura.
Aku masih belum mengerti, siapa yang dimaksud Saipul Bahri. Seingatku, tak satu pun temanku bernama Saipul Bahri. Yang ada Saifullah alias Asep, anak Betawi. Satunya lagi Saiful Hadi, seorang seniman patung yang bermukim di Bali.
"Dia temanmu, Nak. Teman-teman sekolahnya dulu biasa memanggil David. Aku dapat alamatmu ini dari kakak dia."
Kontan, aku ngeh. Eh, David itu tho yang dia maksud, bisikku. Jujur, aku tak pernah tahu jika David adalah Saipul Bahri. David memang tak lama kukenal. Tapi dia sudah seperti saudara. Dia seorang pengacara dan politisi. Kliennya cukup banyak. Terutama para pejabat-pejabat tinggi yang terlibat kasus korupsi. Aku sering bertemu David. Hampir saban hari. Namun bukan untuk mengurus klien. Cuma pertemanan. Tidak lebih.
Sejak kenal David, dua tahun lalu, aku tak pernah bertanya asal usulnya. Siapa juga orang tuanya. Menelisik atau mencari informasi tentang dia bukan kewajiban bagiku. Aku memang menjauhkan prasangka dalam membangun hubungan pertemanan. Karena prasangka mendekatkan pada anggapan kurang baik, mendekatkan pada perkiraan kurang tajam, bahkan sering  mendorong tindakan gegabah.
"Sudah banyak cerita tentang kamu, Sal. Aku juga sudah melihat karya-karyamu. Aku sangat menikmatinya. Aku berharap kamu mau menolong saya," kata dia.
"Aku ingin, kau mengajak dia, Sal. Berwirausaha."