Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Syiir

7 April 2020   15:00 Diperbarui: 8 April 2020   05:13 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto:www.syarif.id

Tangis Ipang belum berhenti. Makin kencang dan nyaring. Tidak terkendali. Pun tangan dan kakinya, tetap tak bisa tenang. la melawan siapa saja yang berusaha mendekapnya.

Entah apa yang mendera hatinya hingga terus menangis. Sungguh, tak biasanya, bayi dua tahun itu bertingkah aneh seperti malam ini. la seolah tergelak letupan dalam diri. Hingga memaksa berteriak dan menangis. Memaksa terus memberontak.

Syahran dan Icha, orang tuanya, sedih. Sudah banyak upaya, bujukan, dan rayuan mendinginkan sang buah hati. Kepala dan ketiaknya sudah di lap dengan handuk basah. 

Mengelus-elus rambut tipisnya yang tidak rata. Mengipasi ubuh-ubunnya. Mengganti popok, kaus kutang, dan sprei yang basah oleh keringat dan ompol. Tapi hampir sejam Ipang belum tenang.

Syahran terus memutar otak. Dibawanya Ipang ke ruang terbuka di samping rumah. Agak lempang. Lahan hijau ditumbuhi rumput gajah dan ilalang. Di sekelilingnya dibanjiri pohon trembesi. 

Hari-hari biasa, Ipang selalu gembira dibawa ke tempat tersebut. Apalagi kemudian ditampakkan cahaya rembulan yang merona. Tak butuh lama untuk menidurkannya.

Tapi prediksi Syahran kali ini meleset. Tangis Ipang tetap tak tertahankan. Walau kini tak sederas sebelumnya. Syahran pun merujuk. la ingat apa yang dilakukan ibunya, Nyai Nafsiah. 

Sewaktu kecil, ia selalu dihantarkan syiir pendek oleh sang ibu jelang tidur. Ibunya tak tahu siapa yang menciptakan dan yang kali pertama mendendangkan syiir tersebut. Tatkala syiir itu mengalir, ketegangan otak mencair. Kepanikan berasa sirna. Syiir yang amat nyaman sebagai pengantar tidur.

Syahran beberapa kali mendendangkan bila syiir itu untuk mengusir kegelisahan anak-anaknya. Seperti terhadap kedua kakak Ipang, Nanda dan Miska. Ketika Syahran melantunkan syiir itu, batin mereka menjadi tentram Dan, hasilnya selalu baik. Mereka tidak kelewat rewel. Kedua kakak Ipang itu bisa hanyut sampai tidur pulas.

 lyun-iyun susahe ati, badan siji dibetho mati/enten dunyo katha cobo/ enten akhirat katha siksa/babatono rampaso, yen mbabati kelawan muji/Laailla ha illallah almalikul haqqul mubin....

(lyun-iyun sedihnya hati/badan satu dibawa mati/di dunia banyak godaan/ di akhirat banyak siksaan/membabatlah kuasailah, kalau menguasai sambil berdoa /Tiada Tuhan selain Allah penguasa kebenaran yang nyata....

Syahran melagukan syiir itu. Dengan suara lembut. Ipang belum jenak. Napasnya masih bertempur keras. Ipang tertidur jelang imsyak setelah tangis berangsur mereda. Setelah energinya banyak terkuras..

Banyak tetangga Syahran prihatin. Sebagian besar menganggap tangis Ipang di luar aura kewajaran. Banyak yang mempertanyakan, apakah tangis panjang lantaran situasi buruk mendera batin?

"Mungkin ada pengaruh roh halus," begitu beberapa orang menafsir.

"Tangisnya janggal. Biasanya, bayi umur segitu selalu mudah untuk ditempeli makhluk nggak nggenah (iblis). Coba tilik rumahmu, Mas, pasti ada yang nggak beres," tetangga lain, menimpali.

Syahran berusaha tak terpancing. Bagi dia, roh halus, demit, jin atau sejenisnya sudah sering ia dengar. Rumah yang ditempatinya kini, sebelumnya juga disebut menjadi sarang jin. 

Beberapa orang pintar sempat meneropongnya. Mereka memberikan berbagai analisis mistis yang berbeda. Ada yang menyebut rumah Syahran diwarisi jin perjuangan.

Lha, jin perjuangan? "lya, ia seorang revolusioner, Mas. Keinginannya mati ditembak kompeni tak kesampaian. la mati di tangan kawan dekatnya sendiri setelah mencuat fitnah ada penyusupan antek PKI. Dia tak mau meninggalkan rumahmu," sebut Mbah Darmo yang menjadi penasihat spiritual sejumlah pejabat tinggi.

Lha? "Tenang saja, ia bisa pergi kapan pun tanpa kau usir. Perbanyaklah mengaji dan membaca Al Fatihah," ucap Mbah Darmo.

Lain lagi dengan Eyang Kasdolah. Namanya sebenarnya Jarkoni. la teman sekelas Syahran sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Dulu, kawannya itu ia dipanggil Ustad Jarkoni. 

Namun setelah banyak temannya memplesetkan namanya, Jarkoni: isok ujar gak isok ngelakoni (bisa ngomong tapi tidak bisa menjalani), ia pensiunkan nama pemberian orang tuanya itu.

Kasdolah adalah nama kakeknya. Konon, kakeknya itu diyakini sakti dan sering mengobati orang sakit dengan kekuatan doa dan tenaga dalam. Lalu, sapaan eyang dipilih karena uban tumbuh subur di kepalanya. Seperti peran guru di film silat. Sejak muda, Jarkoni dipercaya punya instuisi yang tak wajar. la bisa meneropong gejala alam di luar kemampuan manusia.

Ketika melihat seisi rumah Syahran, Jarkoni bilang, jin itu ada dua: yang baik dan jahat. "Semua tersurat dalam Kitab Suci," ujarnya meyakinkan.

"Dan jin yang nangkring di rumahmu itu adalah golongan pertama. la tak buruk, tapi hanya menganggu. Santai saja," urainya, dengan suara datar.

Sesekali, mata Jarkoni tertumbuk pada dinding  dan pintu rumah Syahran. Dia lantas minta garam dan air putih. Sebagai syarat untuk mengusir roh halus. Garam itu ia tebar di sudut ruangan. Terutama di depan kamar mandi. Sedang air putih setelah ia doai, ia berikan kepada Syahran dan keluarganya agar diminum. Seketika itu juga.

Jarkoni menyambung. Katanya, kalau mau mengusir jin itu ada syaratnya. Harus dengan pelepasan. Jin yang ada di rumahmu mau pergi asal diberi cinderamata. Apa bentuknya? Batu kecubung merah hati.

"Batu itu hanya simbol dan tetap bisa kau simpan," cetusnya. Sesaat, Jarkoni menyelipkan empat bungkusan dalam kain putih besarnya separo jari kelingking ke sudut rumah Syahran.

Syahran tak berkomentar. la berusaha mengurai kembali semua komentar para orang pintar. Meski hanya dalam hati, tapi Syahran percaya, kekuatan dalam diri manusia jauh lebih dahsyat dibandingkan kekuatan orang lain. Karenanya, ia memilih tak mengamini, tapi juga tak membantahnya.

Tuhan membebankan ujian kepada manusia dengan jalan keluar. Apalagi urusannya barang gaib. Gaib itu ada, tapi bukan untuk ditakuti. Sesungguhnya banyak ketakutan dalam diri manusia yang tak nyata. Karena itu, manusia gampang bersedih. Tatkala menafakuri itu semua, Syahran memilih lebih banyak berdiam diri.

***

Malam ini, Ipang tertidur lebih awal. Pukul delapan malam lewat. Mulutnya menganga. Alis matanya lunglai, menempel rapat. Pipi dan hidungnya nampak kemerahan bak buah jambu. Pulas sekali. Ipang seperti terlepas dari kepenatan yang amat sangat.

Nyai Nafsiah masih memeluk erat tubuh Ipang. Tangan kanannya masih membelai rambut halusnya. Seraya terus menggerakkan tubuh Ipang, Nyai Nafsiah melantunkan syiir yang sama persis seperti dibawakan Syahran. Suaranya tertangkap agak serak. Nyai Nafsiah membungkus ketenangan cucunya itu.

"Syiir itu amat berbekas di hatiku, Bu. Aku merindukannya. Tiap kali syiir itu mengalun, Aku merasa nyaman. Seperti berada dalam taman firdaus," Syahran tak sabar meluapkan isi hatinya.

"Ketika berangkat ke sekolah, aku mengapal syiir itu. Berapa banyak aku tak ingat," Syahran, tiba-tiba merasa nostalgik.

Nyai Nafsiah belum menjawab. la sengaja ingin mendengar curahan hati Syahran. Alih-alih memberi perhatian, Nyai Nafsiah melempar senyum dan anggukan.

Syahran bertutur, beberapa kali anaknya rewel, syiir itu seakan menjadi obat mujarab. Dia tak perlu berlama-lama menggendong anaknya hanya untuk menidurkannya. Cukup dengan membelai kepalanya dan mendendangkan syiir.

"Tapi yang lalu, tidak seperti biasanya, Bu. Hanya dengan tangan dan dekapan ibu, tangis Ipang tak terdengar lagi," Syahran berucap agak nelangsa.

"Ran, syiir itu hanya sarana. Tak perlu kau yakini seperti itu. Sama seperti nyanyian yang lain. Yang punya syair dan lirik yang baik," ucap wanita bersahaja ini.

Kalau pun engkau tak berhasil mengujinya, pahamilah kalau batinmu dan anakmu amat dekat. Karena napas mereka ada dalam aliran darahmu. Setiap perbuatan yang kau timpakan, mereka juga akan merasakan. Itulah kehidupan sesungguhnya.

"Karena itu, Nyai Nafsiah mendekap lembut tangan Syahran, "sudahkah kau memberi arti hidup sesungguhnya buat anak-anakmu? Benarkan kau telah bersikap adil terhadapnya, anakku? Sudah betulkah caramu memeroleh kekayaan yang kau berikan kepada mereka? Apakah kau bisa ikhlas tunaikan kewajibanmu sebagai hamba kepada Sang Khalik?"

"Itu jauh lebih penting anakku. Ketimbang kau hapalkan syiir yang pernah aku ajari sewaktu kau masih bocah," sambung Nyai Nafsiah. Kali ini suaranya terdengar sangat tegas.

Syahran tahu benar ibunya tak gampang membuai. Tapi jawaban itu amat menyentak hati. Syahran paham ibunya selalu berbicara sederhana, dengan bahasa sederhana, dan mudah dimegerti. Namun ia tak pernah berpikir kalau sampai akhimya mampu mematri egonya.

Lama ia tepekur. Pergumulan hidup yang sakit. Berburu kefanaan yang tiada henti. Mata batin yang sulit membedakan antara hak dan batil. Syahran berusaha redakan emosi. 

Dipeluknya sang ibu. Sangat rapat. la ciumi kedua tangan, pipi, dan kening ibunya penuh kehangatan. Syahran tak kuasa menahan desiran batin yang terus meracau. Tanpa sadar, tubuh Nyai Nafsiah pun basah oleh air mata. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun