"Ketika berangkat ke sekolah, aku mengapal syiir itu. Berapa banyak aku tak ingat," Syahran, tiba-tiba merasa nostalgik.
Nyai Nafsiah belum menjawab. la sengaja ingin mendengar curahan hati Syahran. Alih-alih memberi perhatian, Nyai Nafsiah melempar senyum dan anggukan.
Syahran bertutur, beberapa kali anaknya rewel, syiir itu seakan menjadi obat mujarab. Dia tak perlu berlama-lama menggendong anaknya hanya untuk menidurkannya. Cukup dengan membelai kepalanya dan mendendangkan syiir.
"Tapi yang lalu, tidak seperti biasanya, Bu. Hanya dengan tangan dan dekapan ibu, tangis Ipang tak terdengar lagi," Syahran berucap agak nelangsa.
"Ran, syiir itu hanya sarana. Tak perlu kau yakini seperti itu. Sama seperti nyanyian yang lain. Yang punya syair dan lirik yang baik," ucap wanita bersahaja ini.
Kalau pun engkau tak berhasil mengujinya, pahamilah kalau batinmu dan anakmu amat dekat. Karena napas mereka ada dalam aliran darahmu. Setiap perbuatan yang kau timpakan, mereka juga akan merasakan. Itulah kehidupan sesungguhnya.
"Karena itu, Nyai Nafsiah mendekap lembut tangan Syahran, "sudahkah kau memberi arti hidup sesungguhnya buat anak-anakmu? Benarkan kau telah bersikap adil terhadapnya, anakku? Sudah betulkah caramu memeroleh kekayaan yang kau berikan kepada mereka? Apakah kau bisa ikhlas tunaikan kewajibanmu sebagai hamba kepada Sang Khalik?"
"Itu jauh lebih penting anakku. Ketimbang kau hapalkan syiir yang pernah aku ajari sewaktu kau masih bocah," sambung Nyai Nafsiah. Kali ini suaranya terdengar sangat tegas.
Syahran tahu benar ibunya tak gampang membuai. Tapi jawaban itu amat menyentak hati. Syahran paham ibunya selalu berbicara sederhana, dengan bahasa sederhana, dan mudah dimegerti. Namun ia tak pernah berpikir kalau sampai akhimya mampu mematri egonya.
Lama ia tepekur. Pergumulan hidup yang sakit. Berburu kefanaan yang tiada henti. Mata batin yang sulit membedakan antara hak dan batil. Syahran berusaha redakan emosi.Â
Dipeluknya sang ibu. Sangat rapat. la ciumi kedua tangan, pipi, dan kening ibunya penuh kehangatan. Syahran tak kuasa menahan desiran batin yang terus meracau. Tanpa sadar, tubuh Nyai Nafsiah pun basah oleh air mata. (*)