Mengambil jeda dalam hidup. Menafakuri diri. Di tengah kepanikan banyak orang. Menghadapi bahaya wabah yang mengancam keselamatan jiwa. Kabar dan komentar berseliweran bak bendungan yang pecah. Meluber, semburat tak beraturan. Menancap dalam alam bawah sadar. Â
Kala datang suatu masa. Manusia dipaksa berjarak dengan sesama. Menjauhi saudara, kerabat, maupun sahabat. Menutup pintu-pintu silaturrahim. Membuang kehangatan saat-saat bercengkerama dalam ikatan sedarah. Menyingkirkan keakraban kawan seia sekata. Â Â
Kini, manusia dipaksa mengurung diri dalam ruang-ruang privat. Berhari-hari, berminggu, berbulan-bulan. Menjauhi keramaian. Menghindari kerumunan. Membersihkan semua yang menempel di badan. Mencurigai gelagat setiap orang baru yang datang.
Entah, sudah yang ke berapa kali mendengar keluhan mereka. Sosok-sosok yang diselimuti cemas. Kerisauan melanda setiap saat. Hati yang gelisah tanpa sebab. Bertempur dalam perasaan takut dan harap. Kadang malah mengalpakan adanya qadha dan qadar. Sesuatu yang menjadi ketetapan Sang Khalik.
Sedih. Dan kita tak pernah tahu titik kulminasinya. Sampai di mana ujungnya. Dalam bermunajat terselip doa: Semoga pelangi segera tiba. Menggantikan semua nestapa
***
Tiba-tiba teringat satu momen. Sangat menghibur diri. Bersua kawan-kawan lama. Tertawa dengan cerita-cerita masa silam. Yang konyol, satire, gokil, lucu, dan juga mengharukan.
Seperti diorama kehidupan. Yang bisa diputar berulang-ulang melalui obrolan panjang. Merangsek masuk ke semua lini masa lalu. Hingga kadang hanya bisa tersenyum dan tersipu.
Oh, begitu indah persahabatan.
Seperti oase di tengah padang gersang. Bertemu banyak sahabat yang sungguh melegakan. Menepis dahaga kerinduan dalam satu rentang masa yang panjang.