Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pers yang Membuka Harapan, Bukan Bikin Frustasi

14 Februari 2020   14:16 Diperbarui: 14 Februari 2020   18:29 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agak terlambat. Tapi tak apalah. Sekadar catatan memeringati Hari Pers Nasional (HPN). Yang secara periodik diperingati insan pers se-Indonesia. Dari sejumlah organisasi pers. Baik organisasi yang diakui Dewan Pers, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Serikat Perusahan Pers (SPS), dan lainnya. Juga organisasi pers yang dianggap "ilegal". Yang nama dan jumlahnya saya tidak hapal.

Tahun ini, puncak peringatan Hari Pers Nasional 2020 dipusatkan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Presiden Jokowi bersama pejabat negara menghadiri acara tersebut. Jokowi mengatakan, insan pers merupakan pihak yang selalu ada dalam kesehariannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Wartawan selalu mengikutinya selama bepergian. Padahal, para menteri yang notabene bawahannya kadang-kadang tidak mengikuti kegiatannya selaku presiden.

"Jadi berhadapan dengan insan pers, saya itu bukan benci tapi rindu, tetapi selalu di hati dan selalu rindu," ujar Jokowi seperti dilansir Kompas.com (8/2/2020).

Saya memulai karir jurnalistik akhir tahun 1997. Di harian Suara Indonesia. Koran grup Jawa Pos yang kemudian berubah nama menjadi Radar Surabaya. Masa itu, Indonesia dilanda krisis ekonomi. Beberapa bulan jelang Soeharto menyatakan mundur dari jabatan Presiden Indonesia. Masa-masa yang keruh. Unjuk rasa terjadi di mana-mana. Kekerasan, kerusuhan, dan baku pukul yang terus meluas. Hampir setiap hari saya merekam kejadian-kejadian tersebut.

Di tengah badai ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Protes, umpatan, caci maki, dan hujatan meluap bak air bah. Massa akar rumput yang mudah tersulut emosi. Masa itu, membidik berita dengan angle protes masyarakat "lebih laku" ketimbang menulis statement pejabat publik. Tak heran bila framing media kerap kali memosisikan untuk menyajikan pemberitaan yang melibatkan "gugatan" masyarakat.

Ketika itu, dalam sehari, saya biasa menulis 6-7 berita. Dari jumlah itu, cuma satu berita yang bukan terkait unjuk rasa. Saking seringnya meliput unjuk rasa, banyak korlap yang saya kenal. Berikut background pendidikan dan organisasinya. Kadang kalau saya tidak datang, mereka mengantarkan rilis dan foto-foto ke kantor. Walau pun pada akhirnya juga tidak ditayangkan.

Liputan-liputan berbau gugatan memang menjadi primadona. Lantaran menjadi asupan informasi yang ditunggu-tunggu masyarakat. Apalagi ketika itu gerakan reformasi menjadi tagline-nya. Masyarakat bisa sangat gampang menyebut,"harus direformasi" terhadap semua yang dianggap tidak beres. Terlebih setelah Soeharto lengser, hampir semua instutusi pemerintah yang menjalankan roda birokrasi jadi cemooh. Jadi gunjingan dan sorotan. Aparat pun dibuat kedodoran menjawab banyak hal jika menyangkut kepentingan masyarakat.

*** 

Ketika rezim berganti, saya merasakan adanya titik balik. Hal yang sama juga dirasakan banyak rekan seprofesi. Bukan lagi soal unjuk rasa, kekerasan aparat, tapi merebaknnya banyak kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Terjadi hampir di semua daerah. Sampai ada istilah jika otonomi daerah seperti mengusung korupsi dari pusat ke daerah.  

Saban hari, media menyajikan tindak kejahatan KKN. Berikut modus dan aktornya. Bagi yang sinis menyebut, era reformasi telah melahirkan situasi lebih buruk karena banyak orang ditangkap lantaran KKN. Menjawab logika itu, pers berupaya membeberkan begitu banyak kasus KKN di era Orde Baru yang aman-aman saja.

Pers tentu melihat KKN itu sebagai fakta empirik yang harss terus diawasi. Pers harus bisa jadi watchdog, begitu ungkapannya.  Namun pers juga tak salah mengupas sisi lain dari fenomena penegakan hukum. Paling tidak, ada sosok yang bisa ditampilkan sebagai harapan jika keadilan itu masih bisa ditegakkan.

Pengalaman saya menemukan sosok hakim termiskin ini mungkin bisa jadi salah satu alternatif. Namanya Zainal Arifin. Jabatan terakhir sebagai anggota Komisi Yudisial (2005-2010). Mantan hakim peradilan umum. Cerita tentang dia menggugah publik. Di antaranya yang terekam, meski sebagai hakim, dia mau bekerja mencari tambahan finansial sebagai sopir angkot dan penjual bunga di Pasar Kayoon Surabaya. Saya mengunjungi rumah dia di Sidoarjo. Rumah itu pemberian anaknya. Berukuran 8 x 15 meter persegi. Saat itu hari Jumat. Wawancara saya harus selesai sebelum pukul 10.30. Belakangan saya tahu, sebelum Jumatan,  Zainal selalu ikut bersih-bersih masjid yang lokasinya beberapa meter dari rumahnya.

Ada lagi yang terkait bencana, peristiwa, dan insiden yang memakan korban jiwa. Biasanya, pers selalu menempatkan jumlah korban tewas sebagai judul utama. Kenapa pers tidak mencoba membaliknya. Mengambil angle korban yang selamat sebagai headline. Judulnya semisal bisa begini: "Tujuh Orang Selamat dalam Kecelakaan Bus di Situbondo." Sementara korban meninggal dan dirawat di rumah sakit masuk dalam sub judul . Fakta sama, namun ada perspektif harapan.  

Yang mutakhir saya ikuti kasus virus corona. Yang berdampak luas dan kini menjadi kepanikan dan kekacauan dunia. Pers tentu berkewajiban memberi update korban terinfeksi dan korban meninggal. Namun menyajikan fakta lain di mana penderita sembuh jumlahnya mulai lebih besar dari yang meninggal, tentu bisa memberi perspektif harapan. Atau mengeksplorasi fakta bagaimana kemampuan China mampu mewujudkan rumah sakit darurat khusus pasien corona, Huoshensan, di Wuhan, Provinsi Hubei, hanya dalam 8 hari.

Saya kira masih banyak perspektif lain yang bisa disajikan pers untuk ikut memberi informasi dan guidance baik bagi masyarakat. Jika dalam kasus bencana pasti ada cara dan upaya untuk mengatasinya. Seperti halnya adanya penyakit selalu ada obatnya.

Perspektif harapan bisa dijalankan oleh insan pers yang punya kepekaan dan kepedulian ikut mencerdaskan bangsa. Bukan mereka yang cuma berpikir oplah dan menggaet pembaca (viewer) sebanyak-banyaknya. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun