"Perempuan lembut itu ternyata kasar dalam menentukan pilihan."
Kalimat itu tergores dalam selembar kertas putih yang terlipat. Tidak ada lanjutan. Cuma ada nama sang pengirim: Amar. Surat itu terselip dalam lipatan Tafsir Al-Misbah volume 9 karya M Quraish Shihab. Salah satu buku berseri favorit Keiza.
Bagi dia, ceramah Quraish Shihab enak didengar. Menyejukkan hati. Ulasannya ringan. Mudah dicerna. Saban bulan puasa, Keiza nyaris tak pernah absen mengikuti ceramah ulama kondang tersebut di televisi.
Keiza lantas mengingat. Mereka-reka. Bagaimana surat itu bisa terselip di bukunya? Dia tak melihat kedatangan Amar. Sepanjang hari. Dua jam lebih, Keiza duduk bersama temannya di taman kampus. Berdiskusi, membahas topik-topik aktual.
Keiza kemudian sadar, dua pekan lalu, Amar meminjam tafsir itu. Petang, sepulang dari kampus. Amar beralasan ingin menelaah Surah Al-Furqon. Hanya tak jelaskan detailnya. Keiza pun tak banyak tanya, selain segera memberikan tafsir tersebut. Amar lalu bergegas pergi.
Keiza membaca surat itu lagi. Dia kemudian membaliknya. Barangkali ada lanjutan atau tulisan yang tak sempat terbaca. Namun tak didapatinya.
Kenapa dengan diriku? Betapa teganya bila benar Amar menuduhku seperti itu? Keiza membatin pilu. Tiba-tiba, ia merasa seperti seorang terhujat. Tertuduh. Yang duduk menepi sendiri di kursi, lalu memadang sesosok pria yang mencaci maki dirinya. Menohok pernyataan keras padanya, dan ia hanya terpaku malu.
Pria yang dulu selalu mengaduk-aduk emosinya. Di antara kepastian dan derita. Kerinduan dan benci yang acap datang dan pergi. Seperti melihat kendaraan umum di halte. Â Datang, lalu menghilang.
"Amar, setega itukah dirimu?" Keiza masih membatin.
Diulanginya membaca kalimat singkat dalam surat itu. Apa artinya? Ia mencoba mengurai kejadian yang mungkin jadi penyebab Amar menulis surat tersebut.
Setahu dia, Amar bukan sastrawan. Bukan pujangga yang getol merangkai kata. Yang selalu mengirim bunga menandai kekaguman dan cinta. Yang menyajikan puisi-puisi dengan tarian indah. Kalau pun bertutur, tak ada kalimat-kalimat sastrawi keluar dari mulut Amar. Sederhana dan terkesan biasa-biasa saja.
Yang Keiza tahu, Amar rakus membaca. Membaca buku apa saja. Buku-buku teknologi, sosial, filsafat, biografi, atau yang mendukung pendidikan dia sebagai mahasiswa teknik industri. Hanya itu.
***
Jamaah salat Jumat di masjid kampus pada bubaran. Sebagian mahasiswa bergegas ke ruang kuliah. Yang lain memilih duduk-duduk di foodcourt. Sebagian lagi ke tempat parkir lalu bergegas pergi.
Keiza tak tenang. Marwan, sahabat karib yang duduk di depannya, senyum-senyum sendiri. Hampir sejam mereka duduk di bawah pohon sono yang rimbun. Menatap satu per satu jamaah wajah yang datang dan pergi.
"Hari ini, harus ada penjelasan, Biar gak ada prasangka" begitu tekad Keiza.
Ia terus membayangkan wajah Amar. Segera menemui dia. Setelah beberapa pesan via WA gak pernah dijawab. Amar seolah ingin menjauh darinya.
Dan kali ini, kiraan dia  tepat. Sesosok pria bertubuh kurus berambut ikal dengan tas rangsel hitam dan kaus putih, bersepatu kets merah, berjalan menuju lift. Wajahnya nampak bersih setelah disapu air wudlu.
"Sampai hati kamu tulis coretan kasar itu. Itu bukan cuma tak elok, tapi bikin jantungku teriris. Sadarkah kau dengan perbuatanmu?" suara Keiza seolah memecahkan terik matahari yang menyengat.
"Sudah berapa kali kamu baca surat itu? Amar menimpali tanpa berdosa.
Seutas senyum tiba-tiba hadir di tengah kepanikan Keiza.
"Amar, aku tidak bercanda. Bukan tempat tepat bergurau dengan tingkah nakalmu. Aku punya perasaan."
Amar, Keiza menyebut dengan nada meninggi. Hubunganku serius, Amar. Aku merajut helai demi helai cintaku dan selalu memupuknya. Menghantarnya lewat mimpi ke padang sahara nan indah. Melagukannya setiap saat sebelum aku terlelap. Inilah balasanmu? Keiza makin emosi. Tanpa sadar, air matanya pun tumpah.
Kedua telapak tangan Amar mendekap dada. Kepalanya menunduk. Senyumnya terurai renyah. Giginya tergerai rapi dan bersih. Ia seakan memberi isyarat agar Keiza berhenti berbicara. Tidak lagi mengumbar gejolak batinnya.
"Keiz, aku memang sengaja menulis surat itu, kalau.."
"Kalau apa, untuk menghina aku. Menilai diriku tolol."
"Saya yakin kamu marah, Keiz. Tapi ini memang aku sengaja. Aku juga senang kamu marah. So please, beri aku ruang untuk menjelaskannya'" ucap Amar masih dengan mimik tak berdosa.
Keiza terdiam, sesunggukan. Hatinya bergumam. Pembelaan apalagi yang bakal terlontar. Atau hanya alasan klasik seperti cerita-cerita roman picisan. Kalau itu, sungguh ia tak mau dengarkan.
Amar lalu memulai ceritanya. Suatu ketika, ia pernah dikejutkan sikap pimpinannya. Amar yang bekerja di sebuah publishing house sejak semester satu, terkaget-kaget manakala pimpinannya yang pendiam mengambil kebijakan frontal. Usai pulang dari lawatan ke Eropa dan Afrika, ia buat keputusan penting. Me-rolling semua karyawan. Hampir semua personel direposisi. Komposisinya berubah 80 persen. Sang pimpinan membacakan pergeseran posisi dengan catatan yang telah dibuatnya. Dengan coretan posisi baru dan lama.
Keputusan itu, katanya, harus dibuat super cepat. Tak perlu ada komentar atau tanggapan. Ia juga meminta sekretaris membuat SK. Hari itu juga.
Semua karyawan terbengong. Bertanya-tanya. Mayoritas karyawan meraba-raba, kesalahan apa yang dibuat? Tindakan apa yang dianggap keliru? Kalau pun ada, bukankah ada kriteria dan bobot kesalahan juga pantas dinilai? Kenapa sang pimpinan yang dikenal santun, murah hati, dan pemaaf, tiba-tiba bersikap radikal seperti itu?
Sang pimpinan tak menjawab. Ia hanya minta tugas-tugas baru dikerjakan sesuai desk yang telah dipilih.
"Sekarang saatnya bukan untuk berdebat. Pintu itu masih terbuka lebar buat Anda-Anda yang tidak sepakat," ujar sang pimpinan.
Keiza makin tak mengerti arah pembicaraan Amar. Namun, seperti permintaan Amar, ia relakan untuk mendengar lanjutan ceritanya. Hampir sebulan berjalan, pimpinan Amar mengumpulkan seluruh anak buahnya lagi. Ia duduk membaur. Seolah tak ada jarak.
"Hari ini, saya akan sampaikan kenapa saya membuat keputusan cepat waktu lalu."
"Saya tak ingin perusahaan ini seperti air yang tergenang. Tidak ada gerakan. Tak ada saluran."
Ia menyebut perusahaan harus terus bergerak. Ketika kita merasa tak ada kompetitor yang mampu menandingi, itu salah. Mereka tak sadar telah menggali inci demi inci lubang kuburnya. Karena perubahan itu tak kenal waktu dan tempat.
"Perubahan bisa secepat kilat menggerus kita jika kita merasa dalam kemapanan."
"Saya sadar pilihan itu akan pelik, tapi harus saya lakukan," imbuh sang pimpinan.
Ia lantas mengutip watak militer. Yang tegas, lugas, dan selalu waspada. Jangan heran bila pimpinan militer setiap saat menampar pipi anak buahnya. Ini semata-mata agar anak buahnya tidak terlelap, sehingga tak sadar musuh telah membidiknya.
Itu sebabnya perusahaan ini harus waspada. "Saya terima bila kalian di sini, tapi dengan syarat tidak sakit hati oleh tamparan saya. Atau memang kalian sudah capek berkompetisi dan ingin mandiri. Saya bangga kalian bisa membangun imperium baru. Jauh lebih besar dibanding perusahaan ini."
Peristiwa itu amat berbekas di hati Amar. Juga teman-temannya. Mereka pun tak kuasa membendung kesedihan ketika sang pimpinan akhirnya berpulang setelah begulat dengan sakit liver akut yang dideritanya.
"Keiz, ini bukti perasaanku. Aku tak ingin kau terlena. Menganggap semuanya telah sempurna. Maafkan bila aku telah menggodamu. Hubungan kita teramat tenang. Perlu kejutan agar aku selalu mengingat kemarahanmu. Perhatianmu," Amar meredahkan suaranya.
Keiza tersipu. Diraihnya sapu tangan pink dalam tasnya. Lalu menutup matanya.
Keiza beranjak pergi, sambil berucap, "Lain kali, menulislah lebih dahsyat lagi, matahariku..!" (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H