Amar, Keiza menyebut dengan nada meninggi. Hubunganku serius, Amar. Aku merajut helai demi helai cintaku dan selalu memupuknya. Menghantarnya lewat mimpi ke padang sahara nan indah. Melagukannya setiap saat sebelum aku terlelap. Inilah balasanmu? Keiza makin emosi. Tanpa sadar, air matanya pun tumpah.
Kedua telapak tangan Amar mendekap dada. Kepalanya menunduk. Senyumnya terurai renyah. Giginya tergerai rapi dan bersih. Ia seakan memberi isyarat agar Keiza berhenti berbicara. Tidak lagi mengumbar gejolak batinnya.
"Keiz, aku memang sengaja menulis surat itu, kalau.."
"Kalau apa, untuk menghina aku. Menilai diriku tolol."
"Saya yakin kamu marah, Keiz. Tapi ini memang aku sengaja. Aku juga senang kamu marah. So please, beri aku ruang untuk menjelaskannya'" ucap Amar masih dengan mimik tak berdosa.
Keiza terdiam, sesunggukan. Hatinya bergumam. Pembelaan apalagi yang bakal terlontar. Atau hanya alasan klasik seperti cerita-cerita roman picisan. Kalau itu, sungguh ia tak mau dengarkan.
Amar lalu memulai ceritanya. Suatu ketika, ia pernah dikejutkan sikap pimpinannya. Amar yang bekerja di sebuah publishing house sejak semester satu, terkaget-kaget manakala pimpinannya yang pendiam mengambil kebijakan frontal. Usai pulang dari lawatan ke Eropa dan Afrika, ia buat keputusan penting. Me-rolling semua karyawan. Hampir semua personel direposisi. Komposisinya berubah 80 persen. Sang pimpinan membacakan pergeseran posisi dengan catatan yang telah dibuatnya. Dengan coretan posisi baru dan lama.
Keputusan itu, katanya, harus dibuat super cepat. Tak perlu ada komentar atau tanggapan. Ia juga meminta sekretaris membuat SK. Hari itu juga.
Semua karyawan terbengong. Bertanya-tanya. Mayoritas karyawan meraba-raba, kesalahan apa yang dibuat? Tindakan apa yang dianggap keliru? Kalau pun ada, bukankah ada kriteria dan bobot kesalahan juga pantas dinilai? Kenapa sang pimpinan yang dikenal santun, murah hati, dan pemaaf, tiba-tiba bersikap radikal seperti itu?
Sang pimpinan tak menjawab. Ia hanya minta tugas-tugas baru dikerjakan sesuai desk yang telah dipilih.
"Sekarang saatnya bukan untuk berdebat. Pintu itu masih terbuka lebar buat Anda-Anda yang tidak sepakat," ujar sang pimpinan.