Yang Keiza tahu, Amar rakus membaca. Membaca buku apa saja. Buku-buku teknologi, sosial, filsafat, biografi, atau yang mendukung pendidikan dia sebagai mahasiswa teknik industri. Hanya itu.
***
Jamaah salat Jumat di masjid kampus pada bubaran. Sebagian mahasiswa bergegas ke ruang kuliah. Yang lain memilih duduk-duduk di foodcourt. Sebagian lagi ke tempat parkir lalu bergegas pergi.
Keiza tak tenang. Marwan, sahabat karib yang duduk di depannya, senyum-senyum sendiri. Hampir sejam mereka duduk di bawah pohon sono yang rimbun. Menatap satu per satu jamaah wajah yang datang dan pergi.
"Hari ini, harus ada penjelasan, Biar gak ada prasangka" begitu tekad Keiza.
Ia terus membayangkan wajah Amar. Segera menemui dia. Setelah beberapa pesan via WA gak pernah dijawab. Amar seolah ingin menjauh darinya.
Dan kali ini, kiraan dia  tepat. Sesosok pria bertubuh kurus berambut ikal dengan tas rangsel hitam dan kaus putih, bersepatu kets merah, berjalan menuju lift. Wajahnya nampak bersih setelah disapu air wudlu.
"Sampai hati kamu tulis coretan kasar itu. Itu bukan cuma tak elok, tapi bikin jantungku teriris. Sadarkah kau dengan perbuatanmu?" suara Keiza seolah memecahkan terik matahari yang menyengat.
"Sudah berapa kali kamu baca surat itu? Amar menimpali tanpa berdosa.
Seutas senyum tiba-tiba hadir di tengah kepanikan Keiza.
"Amar, aku tidak bercanda. Bukan tempat tepat bergurau dengan tingkah nakalmu. Aku punya perasaan."