Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lir Ilir dan Pesan Ibu Jangan Tidur setelah Subuh

23 Desember 2019   18:01 Diperbarui: 24 Desember 2019   16:41 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi foto: Shutterstock 

Mengungkit masa lalu itu berat. Seperti di Hari Ibu. saya selalu mbrebes mili, meneteskan air mata, bila teringat masa-masa indah dan penuh kenangan bersama ibu. Sosok perempuan tangguh yang saya kagumi dan banggakan.  

Hj. Siti Zulaichah, ibuku. Dia meninggal pada Oktober 2015. Di usia 75 tahun. Dia menjadi single mother sejak ayah meninggal, tahun 1986. Dari delapan anaknya, waktu itu, hanya satu orang yang sudah menikah. Tujuh anak lain bersama dia.

Ibu tak punya penghasilan tetap. Karena ayah hanya pegawai di perusahaan swasta. Tidak ada uang pensiun. Hanya uang tali asih. Satu-satunya yang bisa ibu andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami adalah warung kelontong.

Di warung kelontong itu, ibu selalu melibatkan anak-anaknya untuk membantu kulakan. Barang-barang yang dikulak sebagian besar kebutuhan pokok. Pembelinya tentu warga kampung sekitar. Waktu itu, belum ada ritel seperti Indomaret atau Alfamart. Jadi, ibu belum merasakan imbas persaingan yang tajam.  

Dari warung kelontong itu, ibu memenuhi kebutuhan makan, sandang, dan membiayai sekolah anak-anaknya hingga lulus SMA. Jika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, ibu memohon anak-anaknya untuk bekerja dulu. Berpenghasilan dulu. Singkatnya, kalau kepingin kuliah harus membiayai sendiri.

Kakak-kakak menyadari kondisi keluarga saat itu. Tiga kakak yang sudah lulus SMA akhirnya bekerja. Ada yang di pabrik, butik, dan perusahaan asuransi. Setelah beberapa tahun kemudian mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Penghasilan mereka lumayan membantu kebutuhan hidup yang sebelumnya ditanggung ibu sendirian.

Kolom penghasilan yang bertambah dipakai ibu untuk memerbaiki rumah. Menambah kamar untuk dijadikan kos-kosan. Ibu ingin menambah pemasukan tambahan. Istilahnya, menghasilkan passive income  selain dari warung kelontong.

Yang masih saya ingat, di warung kelontong itu, ibu tak hanya jualan. Dia juga mengajar ngaji. Muridnya  anak-anak dan kaum perempuan yang sudah usianya di atas 40 tahun. Kebanyakan mereka yang mengaji karena malu mengaji ke musala maupun masjid.  

Di keluarga kami, membaca Alquran adalah kewajiban yang tak bisa ditawar. Sekolah boleh tidak berprestasi, tapi jangan sampai tak bisa membaca Alquran. Saya, sejak kelas 6 SD, sudah mengkhatamkan Alquran. Dan sampai sekarang, saya masih merasa bodoh dan terus membaca Alquran dan mengaji.

Ibu selalu berdoa agar anak-anaknya mencintai Alquran. Doa khotmil quran yang sering dilagukan dengan suara rada berat:

Allhummarhamna bilquran. Waj'alhu lii imaman wa nuran wa hudan wa rohmah. Allhumma dzakkirni minhu maa nasiitu wa 'allimnii minhu maa jahiltu warzuqnii tilawatahu aana-allaili wa'atrofannahaar waj'alhu li hujatan ya rabbal 'alamin.

"Ya Allah, rahmatilah aku dengan Al-Quran yang agung, jadikanlah ia bagiku sebagai panutan, cahaya, dan petunjuk rahmat. Ya Allah, ingatkanlah aku andai aku lupa akan ayat Al-Quran ajarkan aku dari padanya yang belum aku tahu dan anugrahkan kepadaku kesempatan untuk membacanya tengah malam dan siang hari dan jadikanlah ia hujjah yang kuat bagiku, wahai Tuhan semesta alam."

Selain ngajar ngaji, ibu juga selalu bermurah hati mendengarkan curhat para jomblo. Kebanyakan kaum perempuan. Mereka yang ingin segera menikah namun belum menemukan jodoh. Dari keluhan, ibu berusaha menemukan pasangan hidup. Istilahnya jadi mak comblang. Banyak yang dicomblangin ibu akhirnya menikah. Ada juga yang tidak berjodoh. Setahu saya, mereka yang akhirnya menikah sampai sekarang tidak ada yang bercerai. Alhamdulillah.  

***

Di masa kecil, tiap pagi beranjak pergi, kami selalu mendengarkan ibu menyanyikan lagu Lir Ilir. Lagu karya Sunan Kalijaga. Kami merasakan apa yang dinyanyikan ibu untuk meredam emosi, mengusir kesumpekan, dan menyemangati anak-anaknya.

Lir-ilir, Ilir-Ilir Tandure wus sumilir/ Tak ijo royo-royo/ Tak sengguh temanten anyar 

(Bangunlah, bangunlah/Tanaman sudah bersemi/Demikian menghijau/ Bagaikan pengantin baru)

Cah angon, cah angon/Penekno blimbing kuwi/ Lunyu-lunyu penekno/Kanggo mbasuh dodotiro 

(Anak gembala, anak gembala/panjatlah pohon blimbing itu/walaupun licin tapi panjatlah/Untuk membasuh pakaianmu)

Dodotiro, dodotiro/Kumitir bedah ing pinggir/Dondomono/jlumatono/Kanggo sebo mengko sore 

(Pakaianmu-pakainmu/terkoyak di bagian samping/Jahitlah, benahilah/ Untuk menghadap nanti sore)

Menyediakan sarapan adalah tugas rutin yang masih saya ingat sampai sekarang. Ibu bangun jam tiga. Menunaikan Salat Tahajud. Kemudian nyambung Salat Subuh. Setelah itu ia membaca Alquran.   

Ibu selalu meminta anak-anaknya jangan tidur setelah Subuh. Dia bilang, "Turu mari Subuh iku nggarakno pekir ilmu, Nak. (Tidur setelah Subuh itu menyebabkan fakir ilmu, red)."   

Pesan itu amat bermakna. Beberapa referensi kesehatan bisa dipakai rujukan. Seperti ceramah dr Zaidul Akbar yang saya tonton di Youtube. Dia mengatakan, tidak dianjurkan tidur setelah subuh karena ada anti oksidan yang paling kuat pada waktu itu. Secara sains, pagi itu, antara waktu subuh ke waktu syuruq, ada satu bahan yang Allah keluarkan di udara ini yang namanya nitric oxide yang merupakan salah satu anti oksidan paling kuat. Adanya antara subuh sama syuruq, maka waktu itu jangan tidur. Sebab, kalau itu kita tidur lemah jantung kita. Nabi mencontohkan salah satu tidur yang paling buruk tidur ba'dah subuh. Karena ba'da subuh itu kita harusnya banyak jalan. Banyak gerak habis subuh. Kalau berdiam di masjid kita ambil salat syuruq lebih bagus.

Meski kebiasaan itu sulit dilakukan, sampai sekarang saya selalu berupaya mengingat pesan agar tidak tidur setelah Subuh. Kadang juga memaksakan diri. Bagi saya, untuk melakukan tindakan dan perbuatan baik memang butuh dipaksa agar menjadi kebiasaan.

***

Ketika kami beranjak dewasa, menikah, dan punya rumah, ibu memilih tetap tinggal di rumah induk. Dia selalu menolak diajak tinggal bersama anak-anaknya. Ibu juga kerap minta pulang lebih cepat bila diajak nginap di rumah anak-anaknya. Alasannya sih dia gak bisa meninggalkan warung kelontong dan mengajar ngaji. Tapi kami tahu ibu memang lebih nyaman tinggal di rumah sendiri. Karena harus ada yang merawat, salah seorang kakak perempuan mendampingi ibu di rumah induk.

Saat itu, tiap pekan, kami punya jadwal rutin mengunjungi ibu. Yang utama membawa anak-anak. Dia selalu gak tenang bila belum lihat cucu-cucunya. Mencium kening mereka. Sepekan saja kita absen, pasti ditelepon. "Kamu dan anak-anakmu sehat-sehat, kan?"

Yang tak terlupakan saat Lebaran. Rumah ibu selalu penuh. Saking penuhnya. Ibu selalu bagi-bagi duit. Belakangan, kami tahu ibu sengaja mengumpulkan uang yang kami berikan untuk dibagi-bagikan kepada cucu-cucunya.

Suatu ketika, ibu menyampaikan keinginan untuk bisa naik haji dan umrah. Kami spontan urunan. Kemudian buka tabungan haji di bank. Alhamdulillah, dilancarkan. Dua tahun kemudian, ibu bisa naik haji. Dia berangkat sendiri. Karena kondisi kesehatan, kami menyewa kursi roda untuk memperlancar ibadah ibu di Tanah Suci.

Ada cerita ibu yang masih saya ingat. Di dalam pesawat, dia sempat didatangi lima pramugari. Ibu sama sekali tak kenal. Mereka kemudian menuliskan namanya dalam secarik kertas. "Ibu tolong doakan saya segara ketemu jodoh di Tanah Suci, ya."

"Lha, kamu semua cantik-cantik kok masih cari jodoh."

"Iya, saya mohon bu. Doakan saya." Mereka memberikan kertas itu seraya menggenggam erat tangan ibu.

Beberapa bulan sebelum wafat, saya merekam ibu yang terlihat ceria di pagi hari. Tepatnya di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70. Saat itu, ibu yang lagi sakit, dan biasa tiduran di ranjang, tiba-tiba ingin duduk.

Saya mencoba menghiburnya. "Sekarang Agustusan. Hari Kemerdekaan. Ibu punya lagu kenangan apa?"

Dia lalu menyanyikan lagu lawas, Sampul Surat. Lagu ber-genre keroncong itu sempat hits dinyanyikan Sundari Sukotjo.

Sepuluh tahun yang telah lalu/Di waktu pagi yang cerah/

Datanglah sepucuk surat/Yang telah lama kunantika/

Betapa riang rasa hatiku/Tak dapat kuceritakan/

Segera kubuka sampulnya/Dengan penuh pengharapan.. 

Ah, jadi nostalgik cerita soal ibu. Semoga dia mendapat tempat mulia di sisi Allah SWT. Aamiin ya robbal alamin. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun