"Kamu tahu dari mana, Man?" sergah beberapa orang penuh kecurigaan.
Komentar warga terus bersahut-sahutan. Riuh sekali. Sungguh, tak terkendali.
"Itu, Pak polisi yang pakek jaket hitam. Dia itu polisi, tapi pakaian preman."
Lukman menunjuk seorang pria berbadan subur, berkumis. Pria itu sejak dua hari lalu mengorek keterangan dari kita-kita ini, ujarnya.
Semula, imbuh Lukman, tak ada yang curiga. Namun dari pertanyaan demi pertanyaan yang terlontar, beberapa orang mulai tak tenang.
Lukman sangat karib dengan kata-kata sandi yang biasa dipakai polisi. Dia tahu dari para alap-alap (pencuri) motor, teman-temannya. Para alap-alap dulunya banyak yang tinggal kampung itu. Mereka kini banyak raib. Sebagian ditembak polisi hingga tewas.
Entah disengaja atau tidak, lewat telepon selulernya, pria itu
beberapa kata berucap kata-kata sandi-nya. Seperti taruna (kejadian) dan Solo-Bandung (menunggu), delapan enam (dimegerti).
***
Di atas mobil patroli, Mbok Parli tak bisa berucap kata-kata. Matanya menerawang. Berkaca-kaca. Mulutnya terus komat-kamit. Berzikir dan beristighfar. Dua orang polisi berperawakan kekar berpangkat sersan satu, mengimpitnya. Rapat sekali. Bau apek ketiak kedua polisi sungguh menyengat hidung.
"Pak, saya ndak pernah membunuh. Itu fitnah. Fitnah, Pak!" Mbok
Parli merintih, menatap melas dua polisi yang berada di samping
kirinya.
Kedua tangan Mbok Parli yang diborgol ikut meremas paha kanan polisi itu. Sang polisi hanya membisu, menoleh, lalu berpaling lagi.