Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Dahlan Iskan dan Seminar Kegagalan

5 November 2019   16:29 Diperbarui: 5 November 2019   21:35 2904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dahlan Iskan(KOMPAS.com/ESTU SURYOWATI)

Suatu malam, saya pernah semobil dengan Dahlan Iskan. Saat dia masih menjadi bos Jawa Pos. Dahlan meminta saya menemani ke pabrik kertas di Semengko, Kabupaten Gresik. Pabrik kertas milik Jawa Pos itu dibangun tahun 2002. Di bawah manajemen PT Adiprima Suraprinta.

Malam itu, Dahlan mengenakan baju putih, celana warna gelap. Bajunya dibiarkan di luar celana. Memakai sepatu kets putih yang terlihat agak kumal. Di wajah dan rambutnya masih menempel bulir-bulir air. Dia terlihat segar. Kumisnya tercukur bersih.

Dalam berpenampilan, Dahlan memang terkesan apa adanya. Pernah, pada 2002, Dahlan kebingungan cari pakaian resmi. Ini setelah ia terpilih menjadi duta Indonesia dalam pemilihan wirausahawan sedunia di Prancis. 

Dahlan harus menyiapkan pakaian resmi lengkap (jas, dasi, dan sepatu tertutup). Lantaran tak punya, ia buru-buru mencari 10 set pakaian lengkap dari sejumlah perancang kondang di Surabaya. Tapi dia tetap tidak nyaman. Dahlan mengaku lebih senang pakai baju yang dikeluarkan, jaket parasit, dan sepatu kets.

Kami berangkat dari Graha Pena yang berlokasi di Jalan A Yani, Surabaya. "Sudah, tas kamu biar di sini. Nanti juga kembali," ucap Dahlan, sesaat setelah melihat saya mau mengambil tas ransel yang biasa saya pakai liputan.

Kami lalu turun menuju basement. Menuju parkiran. Dahlan membuka pintu mobil Mercy hitam bernopol L 1 JP. Saya bergegas masuk. Sebelum berangkat, Dahlan menyilakan saya yang menyopir. Saya pun tersenyum, seraya menjawab, "Saya gak bisa nyetir, bos."

Dahlan membalas senyum. Dia lalu minta saya menemui Pak Imam, staf di bagian umum. Saya diminta segera belajar mengemudi mobil. Saya mengangguk. Meski pada sampai saya resign tak pernah memenuhi permintaan Dahlan tersebut.

Jarum spidometer menunjuk 95 km/jam. Saat menyetir, tangan kiri Dahlan mengutak-atik tuning radio. Kebiasaan yang selalu dia lakukan setiap nyetir mobil. Yang paling dia suka mendengarkan dialog interaktif.

Saya berusaha menjadi teman dan pendengar yang baik. Seperti halnya Dahlan mengajari saya menulis awal menjadi jurnalis di Suara Indonesia.

Saya ingat benar, ketika masa kampanye 1998, Dahlan punya kebiasaan datang tiba-tiba. Dia pernah menghadiri kampanye Partai Keadilan (kini Partai Keadilan Sejahtera).

Saat itu, PK menggelar kampanye di Gelora Pantjasila. Dahlan datang sendirian. Duduk di barisan paling belakang, dekat tribun selatan. Saya juga meliput kampanye PK tersebut.

Di kantor, saya menulis berita kampanye PK berlangsung meriah. Tentu saja dengan standar yang diterapkan Suara Indonesia. Ketika hampir selesai, saya kaget ada suara yang menegur saya. Setelah saya toleh, eh, Dahlan berdiri di belakang meja.

"Boleh saya mengedit tulisanmu?" pinta Dahlan.

Bagaimana mungkin saya menolak. Saya cuma heran, sebagai pimpinan, Dahlan masih minta izin mengedit tulisan saya. Ah, saya pun tersipu. Saya merasa tersanjung dengan perlakukan Dahlan itu/

Dia kemudian mau duduk di kursi saya. Dahlan menyilakan saya duduk di sebelahnya. Dahlan sempat bertanya beberapa fakta di lapangan kepada saya. Sekitar setengah jam dia mengedit tulisan saya. Saya deg-degan lihat hasil akhir sebelum dikirim ke redaktur. Karena Dahlan benar-benar merombak tulisan saya. Yang menurut saya jauh lebih "hidup", lincah, dan dialogis.

Pun Dahlan juga memberi catatan pada angle kedua. Intinya, dia salut dengan kampanye PK. Baru kali ini dia menyaksikan massa PK yang santun, damai, dan tertib berkampanye. Bahkan tak ada sampah berceceran di venue kampanye.

Kedatangan diam-diam Dahlan juga pernah dilakukan pada masa kampanye PDIP di Surabaya, 1998. Waktu itu, Dahlan yang menumpangi Mercy-nya, berada di tengah-tengah massa yang menyemut. Massa yang berkonvoi dari Tugu Pahlawan sampai Bundaran Waru. Dahlan sengaja datang untuk melihat euforia massa pendukung partai berlogo banteng moncong putih.

Dahlan menulis sendiri kejadian itu. Dengan gaya bahasa yang khas, kalimat pendek, dan deskriptif. "Saya ikuti kampanye itu. Luar biasa. Ternyata tidak terjadi apa-apa tuh. Aman-aman saja." 

***

Di kalangan orang terdekat, Dahlan Iskan disebut jurnalis dan pebisnis yang ulet, gesit, dan nggak pedulian. Slamet Oerip Pribadi, teman dekat Dahlan Iskan semasa babat alas di Tempo Biro Jatim, menuturkan, kelebihan Dahlan membaca situasi dan kecermatan menulis berita, sangat memengaruhi kesuksesan dia.

"Sense of news, keberanian dia melakukan terobosan nilainya bisa dibilang di atas rata-rata," katanya.

Kali pertama datang ke Surabaya tahun 1977, Dahlan hanya membawa tas kumal berisi pakaian. Ketika itu, selain menjabat kepala biro Majalah Tempo Jatim, Dahlan juga membantu Mingguan Ekonomi Indonesia. Berkantor di Jl Raya Gubeng 41, Surabaya. Dari tinggal di losmen kecil di Jalan Genteng, Surabaya, beberapa bulan kemudian, Dahlan mengontrak rumah kecil di Kampung Kertajaya.

Dahlan hidup bersama istrinya, Siti Nafsiah. Anak pertama mereka, Azrul Ananda (kini Presiden Persebaya), masih bayi. Rumah itu juga dijadikan kantor. Ada empat awak Tempo yang tiap hari melakukan tugas-tugas jurnalistik di sana. Mereka Ibrahim Husni, Dharma Dewangga, M Bahrun, dan Slamet Oerip Pribadi.

Belum banyak fasilitas yang diterima dari Tempo. Hanya satu mesin ketik dan satu unit motor Honda CG yang dipakai secara bergiliran. Pun dengan kamera, mereka gantian menggunakan. Untuk berita plus foto, dikirim via pos di Kantor Pos Besar Jalan Kebon Rojo, Surabaya.

"Kami sangat guyub. Dalam soal makan, kami biasanya memasak dua telur ayam dicampur ampas kelapa. Itu biasa dimakan delapan orang. Kalau pun ada sayur, yang sering sayur bobor (bayam dicampur santan)," cerita Slamet Oerip.

Meski serba terbatas, semangat Dahlan untuk maju sangat tinggi. Dahlan tak pernah bosan mengajukan usulan laporan utama buat Tempo. Selalu saja ada ide-ide segar tentang pemuatan berita-berita daerah. Dia ingin daerah bisa berdaya. Jangan sampai daerah memberi kontribusi besar kepada pusat, tapi peluang berkembang dikebiri.

Prinsip itu terus diusung Dahlan hingga ke rapat akbar Majalah Tempo di Jakarta. "Yang pasti, kali pertama Majalah Tempo mengangkat laporan utama dari daerah, itu ide Pak Dahlan," ungkap Slamet Oerip. Dia menyebut laporan tentang beras dan lingkungan hidup di Jatim pernah menghiasi laporan utama di Majalah Tempo.

Dari laporan daerah, Dahlan melebarkan gagasan untuk memberdayakan wartawan Tempo di daerah. Pada 1977-1979, gaji yang diterima wartawan Tempo di daerah tergolong kecil. Berkisar Rp 100-200 ribu sebulan. Untuk mengontrak rumah kecil di kampung saat itu besarnya mencapai Rp 250 ribu setahun.

Setelah dua tahun berjalan, Dahlan memertanyakan ke manajemen Tempo. Kenapa 50 persen berita di Tempo dipasok dari wartawan daerah, tapi gaji yang diterima wartawannya jauh lebih kecil dibanding wartawan Tempo di Jakarta? Protes Dahlan itu ditanggapi pimpinan Tempo. Pada 1980, gaji wartawan Tempo di daerah mulai membaik.

Kemauannya yang keras itu juga diterapkan saat Dahlan memimpin Jawa Pos, 1982. Dahlan merombak total isi pemberitaan koran tersebut. Lebih renyah dan menghibur.

***

Sebelum menjabat Dirut PLN dan Meneg BUMN, Dahlan Iskan masih sering ditemui di Graha Pena. Meski hanya sekadar duduk, ngobrol, dan membaca buku.

Dahlan juga selalu akrab dengan anak buahnya. Dia kerap bertanya banyak hal soal kejadian di lapangan. Tidak peduli di mana tempatnya. Kadang di pujasera, di lorong tangga, maupun di parkiran.

Suatu ketika, saya pernah bertanya soal kesuksesan Jawa Pos menjadi market leader di Jawa Timur. Dari koran kecil bertiras 6 ribu eksemplar dengan 8 halaman. Dalam waktu lima tahun, saat dipegang Dahlan, oplah Jawa Pos menjadi 300 ribu eksemplar. 

Lima tahun berikutnya terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN) satu jaringan surat kabar terluas di Indonesia. Waktu itu, JPNN punya 80 surat kabar dan 40 jaringan percetakan se-Indonesia.

Lima tahun berikutnya, Jawa Pos punya pabrik kertas. Pada tahun 1997, Dahlan me-launching Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya. Disusul gedung serupa di Jakarta.

Pertanyaan saya ini sering ditayakan banyak orang. Dan Dahlan selalu menjawab singkat, "Itu takdir!"

Dahlan menuturkan, banyak orang hanya tahu Jawa Pos punya gedung besar, pabrik kertas, mesin percetakan, dan sebagainya. Tapi tak banyak yang tahu prosesnya. Berapa kali dia mengalami kegagalan. Berapa kali dibohongi klien. Berapa banyak uang yang hilang karena rugi.

"Banyak sekali. Itu kenapa saya selalu menantang supaya ada yang mau bikin seminar kegagalan. Jangan hanya melihat suksesnya saja." 

Seminar kegagalan itu dianggap sangat penting. Biar orang tahu bagaimana membaca dan melihat keinginan pasar. Mengeksekusi peluang. Menciptakan peluang namun yang tak kunjung closing. Berikut trik dan modus penipuan dalam bisnis.

Dalam bisnis, Dahlan dikenal pemimpin yang mengetahui makro, mendalami mikronya, dan mau mengurus detailnya. Dahlan tak pernah percaya asumsi. Karena hal itu menjadi dasar kegagalan dalam bisnis.

Bukan hanya dalam liputan, Dahlan kerap diam-diam turun ke lapangan melihat distribusi dan penjualan koran. Tak jarang dia "menyamar" pembeli koran. Bertanya banyak hal dengan loper dan agen. Aktivitas itu dilakukan berulang-ulang. Makanya, Dahlan tahu jika ada yang berbuat nakal.

Saya bersyukur mendapat banyak insight dari Dahlan Iskan. Terlebih, setelah sekarang saya terlibat di Pahlawan Ekonomi dan Pejuang Muda Surabaya. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis komunitas. Saya berhadapan dengan mereka yang bergiat di dunia usaha. Menjadi entrepreneur. 

Selain harapan, banyak di antara mereka "silau" dengan kesuksesan orang lain. Mereka kerap lupa dengan proses merintis usaha. Berapa kali mengalami kegagalan, ditipu orang, dan lain sebagainya. Hingga di setiap testimoni pelaku usaha sekarang, pengalaman pahit menjadi wajib diceritakan.

Semoga dalam waktu dekat saya pun bisa mewujudkan ide Dahlan Iskan: menggelar seminar kegagalan. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun