Di bagian akhir, Bagas tak bisa melanjutkan. Dia merasakan tubuhnya lemah. Bagas muntah darah, sebelum ditolong beberapa nelayan. Â Hingga, ia putuskan pulang dengan membawa lukisan setengah jadi itu.
***
Bagas menjawab telepon. Suara seorang perempuan menyapanya. Dia teman dekatnya saat SMA. Namanya Dewi Ambarwati. Â
"Singkatnya gini, Gas. Aku tahu kamu pelukis hebat. Aku boleh minta bantuan, ya. Ngedukung pameran di galeri milik ayahku. "
"Aku yang nanggung semua akamodasi dan transportasimu," rayu Dewi.
Bagas tersenyum. Penghargaan yang tak pernah ia dengar. Terlebih dari perempuan yang pernah mencuri hatinya. Â
"Wi, aku senang. Tapi aku gak bisa ikut. Tapi aku punya satu lukisan yang bisa kamu bawa. Anggap sebagai hadiah. Aku cuma minta satu syarat, jangan kau tulis namaku."
"Bener, Gas. Kamu baik sekali. Eee.."
"Kamu gak usah ngambil. Aku yang kirim, Minta alamatmu, ya."
 Hati Dewi berbunga-bunga saat membuka lukisan kiriman Bagas, sehari setelah ia menelpon dia. Di ruang pameran, lukisan itu dipajang dekat selasar.  Beberapa kolektor tertaik ingin memiliki . Tawarannya lumayan tinggi. Namun Dewi belum mau melepaskan.  Â
Yang bikin Dewi girang, banyak pengunjung bilang lukisan itu mirip dirinya. Oh, my god, begitu batinnya berguman.