Aku menoleh sekeliling ruangan. Kulihat wajah teman-temanku yang teramat ceria. Mereka bersemangat mengikuti ajakan sang konsultan.
Tiba waktu azan zuhur, saat jam istirahat, teman-temanku berkumpul di samping musala. Tak satu pun keriangan tersibak di antara wajah mereka. Raut muka mereka tampak tak bertenaga.
Kudengar suara Mas Narto, temanku duduk sempat tak tenang gara-gara letikan asap rokok kretek yang diisapnya menyambar bajunya. Dia bertanya kepadaku, "Kamu sudah buat surat pamitan?"
"Belum, kenapa?"
"Tiap malam aku mencoba menulis surat itu, tapi tak pernah jadi,"
Mas Narto mengaku dengan muka tanpa ekspresi.
Dia mengambil lipatan kertas dari dompetnya, lalu ditunjukkan padaku. Dari empat baris tulisannya, semua ada coretannya. Hanya sepenggal kalimat masih bisa terbaca: "Sampai kapan aku harus memasung wajah seperti kambing congek?" (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H