Rona Prof Dr Eko Sugitario SH CN Mhum terlihat serius, siang itu. Sejumlah berkas ia periksa. Satu per satu. Bila ada yang penting, ia ambil stabilo, lalu digoreskan sebagai pengingat. Beberapa saat, ia memilah bendelan berisi foto kopian peraturan perundang-undangan.
"Maaf ya, kemarin saya belum bisa menemui Anda. Ada rapat panmus (panitia musyarawah, red) sampai sore," katanya, ketika saya ditemui di Gedung DPRD Kota Surabaya.
Kesibukan Eko sangat padat. Selain menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Surabaya (Ubaya), dia juga dipercaya sebagai staf ahli DPRD Kota Surabaya. Tugas ini tidaklah mudah. Karena Eko harus mengkaji masalah hukum dan pernak-perniknya.
Tak lama, dia mencoba melepas kepenatan. Posisi duduknya di belakang meja ia tinggalkan. Bergeser ke sofa. Eko merebahkan diri.
Saya mulai mengajukan pertanyaan. Seputar kisah panjang dan pengalaman hidupnya. Dari perjalanan spiritualnya hingga dia melabuhkan dirinya memeluk Islam.
Eko tersenyum. Dia mengaku ingat benar, tatkala ia diuji sakit. Saat ia divonis mengidap tumor dan kanker ganas. Ceritanya di tahun 1994. Ketika itu, Eko merasakan tubuhnya kepayang. Mudah lelah. Acapkali ia limbung. Saban hari ia selalu merasakan perutnya sakit. Ususnya seperti memluntir-mluntir.
Awalnya, dia berharap bisa kelar setelah minum obat antiradang, penghilang rasa sakit, dan antibiotik. Namun, obat-obatan itu tak menghilangkan keluhannya. Sakit perut itu berulang dan berulang. Hingga suatu ketika, ia merasakan sakit perut teramat hebat.
Eko pun tak sabar. Dia pergi ke dokter. Memeriksakan diri. Pikir Eko saat itu hanya sakit perut biasa. Dan, obat dari dokter cukup buta mengatasinya. Tapi, hasil pemeriksaan medis berkata lain. Di perut Eko tumbuh segumpal daging. Yang dipastikan akan terus membesar.
"Di perut saya tumbuh tomor. Sudah menjalar ke usus," katanya, mengenang.
Sakit, pedih, dan nyaris putus asa. Begitu yang dirasakan. Terlebih tumor tersebut sangat berbahaya. Dari hasil patologi, Eko harus menjalani operasi besar. Yang lebih menyiksa, operasi itu harus mengamputasi organ tubuhnya. "Usus saya harus dipotong 40 centimeter," tutur Eko.