Setelah tim Argentina dikalahkan oleh tim Jerman di piala dunia, kita menyaksikan secara langsung apa yang dirasakan mereka, sangat terpukul, air mata kekecewaan dan kesedihan mengalir. Mereka telah dikalahkan dan harus menerima kekalahan dan sekaligus mengakui kehebatan kesebelasan Jerman, kemudian mereka saling berpelukan saling menghargai satu sama lain secara sportif. Sayang hal seperti itu hanya terjadi didunia olah raga, dalam hal ini sepak bola.
Berbeda dengan dunia politik, mereka bersaing dan bertarung demi kekuasaan, hegemoni, dan oligarki. Ya memang benar, mereka bersalaman bahkan cium pipi kiri dan kanan, namun semua itu hanya untuk formalitas, media massa menyebutnya foto-op. Setelah salah satu tersingkir dari medan laga, Si tersingkirpun akan terus melancarkan serangan untuk mendelegitimasi pemerintahan baru, dibantu oleh para media mogul dan organisasi-organisasi masyarakat yang didanainya. Serangan dilontarkan berupa isu tertentu yang tidak memberikan kemaslahatan apapun bagi konstituen, tapi hanya untuk memenuhi ambisi dan menunjukan kepada masyarakat luas, bahwa ia adalah orang yang tidak patut dikalahkan. Karena, kekalahan bagi elit tertentu serupa dengan penghinaan dan kejatuhan harga diri mereka. Untuk menghilangkan dan pengalihan kesan buruk dan balas dendam yang mungkin akan muncul, maka diciptakan sebuah skenario “Weapon of Mass Distraction” (WMD); Dengan melontarkan isu baru yang terkesan legitimate dan sangat rational, diharapkan terjadi pergeseran perhatian masyarakat dari masalah besar yang akan merusak citra diri dan kelompok oligarkinya; “Wag the Dog”.
Seperti itulah yang terjadi diseluruh dunia, mereka memanfaatkan kelenturan sistem demokrasi, dengan kata lain, apapun aktivitas yang dilakukan masih berada dalam koridor sistem. Tidak ada terkecuali, sekalipun negara perintis demokrasi modern sekaliber Amerika Serikat. Sampai detik ini Presiden Obama masih terus diserang dari berbagai arah oleh lawan politiknya. Mulai dari kebijakan dalam dan luar negeri, anggaran, hingga isu-isu miring kehidupan keluarga, bahkan sampai pada usulan Impeachment.
Bagaimana dengan proses pemilihan Presiden di Negeri ini...?
Rakyat Indonesia telah membuktikan pada seluruh penduduk dibumi ini, bahwa kita adalah orang-orang yang beradab dan bermartabat dalam berdemokrasi. Walaupun di hujani oleh berbagai propaganda dan taktik berkampanye yang tidak bermoral, tidak beradab, “Devide et Impera”, manipulasi suara, intimidasi, “fearmongering”, dan masih banyak lagi cara-cara licik yang digunakan. Faktanya, mereka tetap datang dengan perasaan antusias ke bilik pencoblosan, dan memberikan suaranya kesalah satu pasangan calon dari dua pasang capres dan cawapres, SECARA DAMAI DAN AMAN.
Namun seperti ulasan di atas, virus yang meracuni para politisi dunia ternyata juga menghinggapi para politisi kita. Salah satu pasangan, yang sejatinya mereka sudah mengetahui hasil akhir perhitungan, bahwa mereka akan kalah. Kemudian menggunakan “Weapon of Mass Distraction” sebagai pertaruhannya, dengan mengeluarkan pernyataan “Menolak Pelaksanaan Pilpres 2014” dan “Menarik diri dari proses yang sedang berlangsung” saat perhitungan suara masih berjalan. Pernyataan tersebut pada dasarnya Illegitimate, namun dengan diselimuti lima poin sebelumnya sebagaj penyebab, memberi kesan Legitimate. Lima poin penyebab ini akan menjadi “WMD” dikemudian hari ( jangan salah tafsir, “WMD” bukan kependekan dari “Weapon of Mass Destruction” seperti pernyataan Presiden Bush yang menggunakannya sebagai “Weapon of Mass Distraction” dari peristiwa Tragedy 9/11, yang berujung pada invasi ke Iraq).
“WMD” lanjutan yang paling poluler saat ini adalah “Hasil perhitungan suara pilpres oleh KPU digelembungkan oleh para Hacker luar negeri sebanyak 4 juta suara”, ini adalah manifestasi dari butir No.5 dari pernyataan yang dikeluarkan. Whoaa...!!!
Mari kita cermati kalimat dalam pernyataan di atas:
Pertama, “Menolak pelaksanaan Pilpress 2014”, kalimat ini menyiratkan atau bermakna ketegasan seseorang dalam mengambil keputusan dan tidak bisa ditawar-tawar. Kedua, dilanjutkan dengan ”Menarik diri...”, kalimat ini mengandung makna, tidak secara tegas menolak dan mengandung unsur pelemahan pernyataan pertama.
Terjadi konflik antara kalimat pertama dan kedua, pasangan ini membuat pernyataan “Menolak pelaksanaan...” yang berarti sudah dengan sendirinya atau secara otomatis “Menarik diri...”. Entah apa maksudnya, pernyataan kedua mempertegas yang pertama, atau hanya sekedar untuk membangun opini. Pada prinsipnya, pernyataan dibuat sebagai senjata pengalihan (“Distraction”) dari masalah sebenarnya dan memecah perhatian masyarakat (“Wag the Dog”), dan memberi kesan penganiayaan. Selain daripada itu, pernyataan dikeluarkan pada saat “Injury time” penghitungan suara di KPU, tidak dari hasil perhitungan awal, disinilah pertanyaan besar muncul.
“WMD” lanjutan menggunakan Isu penggelembungan suara oleh Hacker asing; “Gopshites!!!”, mari kita cermati:
Pertama, kalau para Hacker asing tersebut menggelembungkan hasil pemungutan suara sebanyak 4 juta suara, apa gunanya? Seluruh rakyat Indonesia tahu, bahwa perbedaan suara diantara kedua pasangan adalah 8 juta suara lebih. Pernyataan ini akhirnya akan berakibat buruk terhadap citrai mereka dimata masyarakat. Yang paling menyedihkan adalah pernyataan, “Hackers menggelembungkan suara”, kontradiktif dengan pernyataan Bareskrim Polri, bahwa para Hackers hanya melakukan kejahatan kriminal biasa (Common Cyber Crime) yang tidak berhubungan dengan Pilpres.
Kedua, Hackers Indonesia adalah salah satu Hackers yang paling disegani didunia, jadi hanya orang “Bodoh” yang menggunakan Hackers asing, dengan “membayar mahal”. Memang, adanya Hackers asing patut dipertanyakan, mungkin saja ada agenda tertentu, tapi itu semua sudah disanggah oleh Bareskrim Polri.
Ketiga, apabila para Hackers (terutama Indonesia) tidak terima dengan pernyataan dan merasa direndahkan atau difitnah, tentu mereka tidak segan-segan menyerang balik. Dalam kutur mereka tidak ada rumusan politik, kecuali dalam kondisi tertentu, sebagai contoh, mereka meretas website pemerintah Israel dengan alasan yang sangat khusus.
Pada dasarnya, kultur bangsa ini tidak memberikan kesempatan berkompetisi dengan cara-cara tersebut di atas. Kultur bangsa ini adalah kultur yang menjunjung tinggi nilai dan harkat kemanusiaan, kesopanan dan keramahan. Yang terjadi adalah fenomena baru yang diciptakan dan dibawa oleh orang-orang tertentu, untuk menghancurkan Tata Nilai Kehidupan Bangsa. Sebaiknya para politisi sadar dan mengevaluasi diri, jangan terus menerus menyakiti hati rakyat dan bangsa. Sebagian besar rakyat negeri masih berjuang keras untuk mengentaskan diri dari kemiskinan, sebagian lagi dibawah garis kemiskinan. Sadarlah!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H