Mohon tunggu...
Agustinus Triana
Agustinus Triana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Lampung

Menulis agar ada jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Kerajaan Baru; Antara Krisis Emosional, Kekuatan Luar, dan Negara yang Lalai

23 Januari 2020   15:00 Diperbarui: 23 Januari 2020   18:21 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : tribunnews.com

Kemunculan Kerajaan Agung Sejagat dan beberapa kerajaan baru lainnya memberikan hiburan tersendiri dalam masyarakat. Setelah polisi menggulung Kerajaan Agung Sejagat beserta raja dan ratunya, segera masyarakat menjadikan fenomena ini sebagai bahan olok-olokan di jagat maya.

Ketika berbagai media massa ramai memberitakan fenomena kemunculan kerajaan-kerajaan baru ini, saya jadi teringat pada peritiwa di Yogyakarta beberapa tahun yang lalu.

Pasca bencana gempa bumi meluluhlantakan Yogyakarta pada 2010, terjadi ketegangan politik antara pemerintah pusat dan masyarakat Yogyakarta. Ketegangan politik ini bahkan sampai menjadi masalah nasional.

Waktu itu Presiden SBY bermaksud menghapus hak istimewa Yogyakarta. SBY berencana akan mengeluarkan undang-undang khusus tentang keistimewaan Provinsi Yogyakarta, yang salah satu pasalnya bakal menghapus hak otonomi sorang Sultan Yogya menjadi gubernur, selanjutnya gubernur Yogyakarta akan dipilih lewat pemilihan kepala daerah atau Pilkada.

Sontak saja, rencana SBY ini ditanggapi masyarakat Yogyakarta dengan perlawanan yang masief. Masyarakat Yogya menggelar aksi-aksi demonstrasi menentang SBY. Dari kalangan bawah, sampai para seniman, dan tokoh budaya Yogyakarta bergabung menentang rencana kebijakan ini. Lagu "Yogya Istimewa" DJ Marzuki ikut menyemarakkan perlawanan rakyat Yogya dan berhasil menjadi jargon bersama masyarakat.

Media lokal dan nasional ramai memberitakan aksi penolakan tersebut. Stabilitas dalam negeri sempat terganggu akibat aksi demostrasi masyarakat Yogya melawan kebijakan SBY.

Masyarakat Yogyakarta menganggap rencana Pemerintah tersebut adalah pelecehan terhadap nilai-nilai sakral yang mereka anut terhadap rajanya. Masyarakat Yogyakarta dan Jawa umumnya memang sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya dan kebhatinan yang sudah tertanam sejak zaman Kerajaan Mataram berdiri. Sejak zaman itu sampai dengan sekarang masyarakat Jawa menganggap bahwa sosok Sultan adalah sosok penting dalam kepercayaan magis mereka.

Bagi masyarakat Yogyakarta dan Jawa pada umumnya, ada tiga pusat kekuasaan yang bertahta di bumi ini. Ketiga pusat kekuasaan itu adalah keraton di Laut Selatan yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya Nyi Ratu Kidul sang pemimpin para mahluk halus dan jin, yang kedua adalah Keraton Yogyakarta Hadininingrat tempat bertahtanya Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai pemimpin manusia, dan semua mahluk yang kasat mata di atas bumi ini, serta yang ketiga adalah keraton Gunung Merapi sebagai tempat bertahtanya penguasa alam gaib.

Oleh karena itu, keberadaan Sri Sultan di Keraton Yogyakarta sebagai seorang pemimpin dianggap sangat sakral dalam kebhatinan masyarakat Jawa. Sri Sultan diyakini sebagai orang yang memiliki kemampuan menjaga keharmonisan kehidupan diantara 3 pusat kekuasaan tersebut.

Maka ketika SBY berencana menghapuskan keistimewaan Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai pemimpin mutlak di Yogyakarta, dapat dimaklumi jika masyarakat Yogyakarta dan Jawa pada umumnya meluapkan kemarahannya karena merasa tidak dihargai dengan rencana kebijakan Pemerintah saat itu.

Untunglah Pemerintah batal mencabut hak istimewa Sultan untuk otomatis menjadi gubernur di Yogyakarta, sehingga gesekan antara masyarakat Jawa dan Pemerintah dapat mereda. Namun gesekan tersebut terlanjur mengguncang suasana kebhatinan masyarakat Jawa di Negara ini.

Cerita lainnya adalah ketika terjadi gesekan antara masyarakat Sunda dengan kelompok lain yang mengklaim dirinya sebagai pejuang kemurnian agama. Gesekan tersebut terjadi ketika Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta bermaksud menghidupkan kembali budaya salam "sampurasun-rampes". Salam ini adalah budaya masyarakat Sunda yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Namun, kelompok FPI menentang kebijakan Dedi Mulyadi. Dalam sebuah pertemuan kelompok Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq mengeluarkan pernyataan menyindir dengan mengubah kata-kata salam tersebut menjadi "campur racun-mampus".

Segera saja terjadi gesekan panas antara masyarakat Sunda dan FPI. Terjadi penghancuran patung-patung tokoh wayang oleh orang-orang tidak dikenal. Peristiwa tersebut cukup membuat heboh masyarakat.

Gesekan budaya antara kelompok pemegang teguh kearifan lokal dengan kelompok lain yang mengklaim dirinya pejuang kemurnian agama, juga memberikan dampak tersendiri pada suasana kebathinan masyarakat Sunda. Tidak hanya yang berada di Jawa Barat, masyarakat Sunda yang berada di perantauan pun merasa terancam suasana kebhatinannya.

Suasana kebhatinan yang timbul akibat romantisme kejayaan masa lampau masih bisa kita jumpai pada sebagian masyarakat kita. Romantisme kejayaan masa lalu ini muncul dalam bentuk kepercayaan masyarakat bahwa harta karun kerajaan-kerajaan zaman dahulu masih tersimpan baik terselubung alam ghaib. Harta karun tersebut dipercaya akan menjadi solusi perbaikan nasib masyarakat dan solusi masalah ekonomi Negara. Suasana kebhatinan ini muncul karena dorongan faktor ekonomi dan halusinasi pada hal-hal ghaib.

Bahkan masyarakat yang meyakini tentang keberadaan harta ini, secara individu dan berkelompok berusaha keras melengkapi dirinya dengan tradisi-tradisi berbau klenik dan tahayul. Mereka terobsesi menjadi pembuka keberadaan harta yang dimaksud.

Jika dipelajari dengan seksama, mereka ini adalah orang-orang atau kelompok masyarakat yang mengalami kegelisahan. Mereka terjebak antara khayalan sumber harta terpendam yang bisa menjadi hak mereka dan kehidupan ekonomi mereka saat ini. Kecenderungan berpikir dan tingkah laku mereka tidak lagi masuk akal. Mitos dan halusinasi sudah menjadi realita bagi mereka akibat dorongan pada perubahan kesejahteraan.

Harus kita akui dan maklumi, bahwa bayang-bayang masa lampau tentang kejayaan dan kemakmuran zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara telah memberikan bekas yang abadi dalam masyarakat kita. Meskipun suasana kebhatinan yang dimunculkan berbeda-beda. Ada yang menjelma menjadi sebuah tradisi budaya yang harus dijaga sebagai kearifan lokal dan warisan luhur, namun ada juga yang menjelma menjadi perilaku yang sulit diterima nalar dan dianggap mitos belaka. Bekas abadi kejayaan masa lampau tersebut memang tidak berlaku pada semua masyarakat kita, sehingga penilaian dan penerimaannya juga berbeda-beda di tengah-tengah masyarakat.

Perbedaan penerimaan dan penilaian inilah yang menyebabkan terjadinya gesekan-gesekan di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, muncul krisis emosional dan stres mental yang mengendap di tengah-tengah masyarakat, bahkan siap berekasi sewaktu-waktu sebagai mekanisme pertahanan diri menghadapi ancaman terhadap suasana kebhatinan mereka.

Perubahan Nusantara dari zaman kerajaan ke zaman era Republik sekarang dianggap belum mampu memberikan tempat pada eksistensi tradisi dan bentuk-bentuk peninggalan luhur. Negara kemudian dicurigai sebagai oknum yang akan menggilas suasana kebhatinan yang mereka miliki.

Kelalaian Negara pada penghargaan nilai luhur budaya, acapkali memperparah anggapan masyarakat bahwa demokrasi adalah biang keladi hilangnya nilai-nilai luhur budaya mereka.

Pada sisi lain, Negara juga dianggap belum begitu hadir untuk memberikan perlindungan terhadap eksistensi simbol-simbol budaya Nusantara yang terancam oleh upaya-upaya pemurnian agama.

Demikian juga dengan penyelesaian masalah ekonomi oleh Negara. Usaha-usaha modern yang dilakukan Pemerintah dinilai oleh sebagian masyarakat tidak mampu memberikan solusi yang berkeadilan. Hal ini juga yang mendorong semakin klimaksnya kepercayaan semu masyarakat pada keberadaan harta karun zaman kerajaan dahulu yang bisa dijadikan jalan singkat penyelesaian masalah ekonomi mereka.  

Fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari krisis emosional dan stres mental yang melanda masyarakat kita akibat gesekan kepentingan budaya dan masalah ekonomi.

Krisis emosional dan stres mental ini kemudian bertemu dengan kekuatan dari luar. Kekuatan dari luar dengan segala motifnya memanfaatkan krisis emosional dan stres mental masyarakat. Kekuatan ini kemudian menghimpun masyarakat tersebut, mewadahi, dan menghadirkan simbol-simbol seperti apa yang dikhayalkan masyarakat. Maka muncullah kerajaan-kerajaan baru sebagai bentuk yang paling sesuai dengan dahaga dan romantisme masyarakat.     

Oleh karena itu, kurang bijak rasanya jika kita melihat fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru ini sebagai fenomena biasa. Atau sebatas fenomena pelanggaran hukum dengan motif ekonomi. Karena jika ditelisik lebih jauh, kemunculan fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari faktor ancaman terhadap nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah menjadi suasana kebhatinan masyarakat kita.

Pemerintah harus mensikapinya sebagai sebuah gejala sosial akibat perubahan-perubahan yang tidak seimbang dalam masyarakat. Salah satu cara mensikapinya dengan memberikan penghargaan pada suasana kebhatinan masyarakat terhadap keyakinan tradisi dan warisan budaya luhur Nusantara tersebut. Namun usaha tersebut harus tetap mengindahkan ancaman munculnya nilai-nilai feodal, sehingga perubahan-perubahan sosial terjaga keseimbangannya.  

Kita tentu tidak menghendaki kerajaan-kerajaan yang memiliki kekuasaan politik seperti masa lampau. Tetapi, menghargainya sebagai bagian dari peradaban yang membentuk berdirinya Republik ini adalah langkah yang tepat agar tidak muncul lagi letupan-letupan ketidakpuasan masyarakat dalam rupa-rupa baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun