Mohon tunggu...
Agustinus Triana
Agustinus Triana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Lampung

Menulis agar ada jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibuisme dan Hari Ibu

18 Desember 2018   15:35 Diperbarui: 18 Desember 2018   20:30 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi garutnews.com

Tanggal 22 Desember kita peringati sebagai Hari Ibu. Pada tanggal itu kita merayakan peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Sejarah mencatat pada tanggal 22 Desember 1928 diselenggarakan kongres perempuan pertama. Merujuk pada peristiwa itu, Presiden Soekarno kemudian menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959.  

Ibu, kata yang sarat makna, tidak segan kita menempatkannya pada posisi yang sakral. Nilai-nilai ibu kita akui sebagai pondasi yang turut membentuk karakter generasi muda dan ikut menentukan seperti apa wajah peradaban bangsa kita.

Gambaran ibu yang cukup ideal pada umumnya adalah ibu yang mampu menjadi teladan dalam pekerjaannya sekaligus dalam mengurus keluarganya. Seorang ibu yang berprofesi sebagai dokter, polwan, tentara, bidan, guru, pilot, tukang ojeg ataupun menteri kita harapkan dapat menjunjung profesionalitasnya dalam melayani masyarakat. 

Pada sisi yang lain, ibu juga diharapkan memiliki self of good parenting. Tidak membentak anak, tidak memukul anak, tidak menelantarkan anak, dan bisa mengarahkan anak pada pilihan masa depan yang baik. Inilah sosok ibu ideal yang selalu kita lihat pada setiap peringatan hari ibu.

Pada lapisan masyarakat yang lain, kita akui bahwa pandangan terhadap kaum ibu masih cukup kental dengan nilai-nilai “Ibuisme”. Biasanya nilai-nilai ini muncul sebagai akibat hegemoni konservatisme agama. 

Cirinya, posisi ibu tetap dipertahankan dalam ruang subordinasi, marginalisasi, dan double burden. Posisi ini tentu akan memperkecil akses politik dan kesejahteraan sosial bagi kaum ibu.

Era pemerintahan saat ini, kaum ibu gencar dilibatkan dalam membuat dan melaksanakan skema pembangunanan dari tingkat dusun, desa, bahkan sampai pusat. Istilahyang digunakan adalah pemberdayaan kaum ibu atau perempuan. 

Tujuannya adalah membuka kesempatan yang lebih besar bagi kaum ibu dalam mengakses kesempatan politik dan kesejahteraan sosial di lingkupnya masing-masing.

Bagi lembaga-lembaga donor yang juga fokus pada perjuangan isu persamaan gender dalam pembangunan, kegiatan pemberdayaan kaum ibu juga gencar dilakukan.

Usaha pemerintah dan lembaga-lembaga donor ini bukan tanpa kritik. Kita akui kegiatan pelatihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan yang melibatkan kaum ibu di banyak bidang dan tempat masih berkutat pada target ouput. 

Cirinya masih sebatas pada parameter seberapa banyak kegiatan kaum ibu atau perempuan direncanakan, seberapa banyak kegiatan tersebut sudah dilaksanakan dan berapa tingkat kehadiran kaum ibu atau perempuan dalam kegiatan tersebut. 

Angka 30% masih menjadi sesuatu yang berusaha dipenuhi. Bahkan angka Rp. 25.000,- sebagai pengganti bensin masih menjadi daya tarik kehadiran ibu-ibu di kegiatan desa.  Pada segi kualitas himbauan dan usulan dari kaum ibu-ibu masih belum menjadi ukuran.

Di bidang politik, masih sangat sulit bagi partai politik memenuhi kuota 30% calon anggota legislatif perempuan yang mereka usung. Kata para ahli ini akibat dari proses pengkaderan yang tidak berjalan di partai.  

Hal lain yang bisa menjadi kritik bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada persamaan gender baik yang difasilitasi negara maupun pihak ketiga, masih menempatkan kaum ibu sebagai objek bukan subjek dalam gerakan itu sendiri. Kegiatan pemberdayaan berjalan tidak dalam proses penyadaran bahwa kaum ibu adalah pelaku.

Pada sisi lain, keterlibatan kaum laki-laki dalam kegiatan pemberdayaan kaum ibu yang bertumpu pada persamaam gender, masih sangat minim. Cenderung terpisah, entah sengaja atau tidak. 

Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada kesadaran persamaan gender menempatkan laki-laki dan perempuan tidak sebagai subjek yang sama. Akibatnya pada ranah private, kaum ibu tidak kuat menghadapi serangan hegemoni konservatisme agama.

Kepentingan modal juga banyak mewarnai kegiatan pemberdayaan ibu-ibu di Indonesia. Pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang didanai oleh lembaga donor tertentu bias dengan kepentingan. Tujuannya adalah mengamankan suplay chain dan arus modal. 

Kaum ibu akan diusahakan secara kuantitas dan kualitas berani menyampaikan usul di depan umum namun tidak lepas dari kepentingan modal. 

Targetnya adalah kepentingan modal masuk dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan baik di level desa sampai dengan kabupaten. Pada kasus ini, potensi desa tidak sepenuhnya muncul sehingga demokrasi desa tetap dibatasi pada skema modal.

Dari sekian kritik yang ada terhadap upaya membuka akses politik dan kesejahteraan sosial bagi kaum ibu sebagai upaya mengikis nilai-nilai “ibuisme”, maka hasil kegiatan pemberdayaan kaum ibu harus dinaikan level kualitasnya. 

Impact harus menjadi target hasilnya. Impact menyatakan perubahan kehidupan kaum perempuan dan laki-laki berdasarkan pada level kesadarannya. Inilah yang akan melawan kesadaran “ibuisme”.

Semoga peringatan Hari Ibu tahun ini menjadi momentum perlawanan kembali terhadap nilai-nilai ibuisme. Selamat Hari Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun