Mohon tunggu...
Agustinus Triana
Agustinus Triana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Lampung

Menulis agar ada jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilihan dalam Menegakkan Hukum

17 Desember 2018   08:00 Diperbarui: 17 Desember 2018   08:02 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses hukum nampaknya harus dijalani oleh keponakan. Hasil terakhir dari proses sidang, keponakan dikenakan sanksi kurungan selama 1,5 bulan. Cukup ringan memang. Tapi supaya bisa ringan hukumannya, kakak ipar harus menyerahkan uang sebesar 10 juta rupiah kepada oknum kejaksaaan dan 20 juta rupiah kepada keluarga korban.

Ini soal penegakkan hukum dan rasa kekeluargaan. Peristiwa pertama si oknum polisi yang menawarkan kekeluargaan kepada Bapak S. Bapak S kekeuh pada penegakkan hukum meskipun Bapak S menanggung biaya operasional untuk sidang 4 kali lipat dari tawaran damai si oknum polisi. Peristiwa kedua, proses hukum yang dijalani si pelanggar, berasa bukan penegakkan hukum.

Pelajaran yang bisa diambil tentu cukup banyak dari dua peristiwa diatas. Kata kawan aktifis hukum, dalam penegakkan hukum, jangankan korban, pelaku pun mestinya berhak mendapatkan keadilan. Praktik hukum semestinya tidak menjadi momok bagi masyarakat tapi seharusnya jadi proses yang bisa menyadarkan masyarakat luas tidak hanya korban dan pelaku pelanggaran hukum. Masyarakat biasa sulit untuk ikut menegakkan hukum jika berhadapan dengan oknum penegak hukum itu sendiri. Sulit jika sistem penegakkan hukumnya tidak ikut mendukung penegakkan hukum itu sendiri.

Sebagai orang biasa yang awam terhadap hukum, menurut saya  menjalani hidup ini harus lebih berhati-hati,  jangan lakukan pelanggaran hukum. Kalaupun boleh memilih, lebih baik jadi korban saja, karena kalaupun tidak bisa berharap mendapatkan keadilan dari proses penegakkan hukum, kita masih bisa mendapat simpati dari masyarakat banyak.

Berharap tidak ada oknum yang berpraktek memperkaya diri dengan menggunakan kewenangannya rasanya masih sulit. Meskipun namanya hanya oknum, bagaimana kalau banyak oknum di setiap instansi pemerintahan. Meskipun begitu, sikap optimisme kita harus tetap ada pada proses penegakkan hukum, bahwa kedepannya hal ini akan semakin baik.

Kita masih boleh berharap, semakin terbuka kesempatan semua orang dapat ikut menegakan hukum meskipun mereka hanya masyarakat biasa. Kita masih boleh berharap setiap proses penegakkan hukum di negara ini didukung oleh aparat hukumnya. Harapan itu masih bisa kita wujudkan melalui proses pemilihan penguasa lewat pesta demokrasi. Lewat cara ini optimisme itu selalu ada.

Kata kawan, di setiap pesta demokrasi kita seharusnya memilih penguasa atau pimpinan yang isi otaknya lurus. Kalau penguasa atau pimpinan isi otaknya lurus, maka anak buahnya otaknya juga akan lurus. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun