Kekeluargaan biasanya dikedepankan bila orang Indonesia akan menyelesaikan sebuah masalah. Sebelum proses hukum berjalan, biasa dipilih dahulu penyelesaian masalah lewat jalur kekeluargaan. Kuncinya ada saling pengertian antara kedua belah pihak. Hasil akhir biasanya antara keluarga yang berperkara muncul persaudaraan dan bagi masyarakat luas semakin dikuatkan rasa kerukunan.
Beberapa bulan lalu saya menghadiri undangan sebuah kelompok petani di kabupaten T untuk memberikan materi soal penguatan lembaga tani. Sembari menuju lokasi, saya menjemput Bapak S, yang secara pribadi sudah menganggap saya sebagai anaknya. Karena motor milik saya yang 160 cc dirasa kurang nyaman, Bapak S menawarkan kepada saya untuk memakai kendaraan roda dua miliknya yang cc nya lebih kecil, alasannya supaya bisa bergantian membawa motor. Tentu saja saya tidak keberatan, lumayan bisa menghemat tenaga.
Masalah tidak muncul saat perjalanan berangkat, tapi dalam perjalanan pulang. Kami diberhentikan polisi sekitar 10 km lagi dari rumah Bapak S. Polisi yang memberhentikan kami cukup sopan menanyakan kelengkapan surat-surat kendaraan. Syukurlah SIM dan STNK lengkap, tapi soal spion yang jadi masalah, karena spion sebelah kanan kacanya memang tidak ada. Ini yang didebat sopan oleh polisi yang merazia kami.
Polisi itu menyampaikan bahwa spion yang kacanya tidak ada termasuk  pelanggaran aturan keselamatan berlalu lintas, wajib ditilang dan mengikuti sidang. Saya yang membawa kendaraan memohon untuk dimaklumi, dan beralasan belum sempat mengganti spion kendaraan. Namun polisi tersebut tetap mengatakan harus ditilang dan menjalani sidang.Â
Sembari mengeluarkan surat tilang, polisi tersebut masih menanyakan banyak hal kepada kami, bapak dari mana, mau kemana, habis acara apa, dan sejumlah nasehat tentang keselamatan berlalu lintas sampai sedikit menekankan apa susahnya mengganti spion yang sudah rusak demi keselamatan diri sendiri.
 Tangannya belum juga menulis di surat tilang. Sebagai orang yang bersalah, kami hanya menjawab sekedarnya. Setelah sejumlah nasehat disampaikan secara fasih, polisi tersebut menawarkan pilihan lain dari sanksi yang harus kami terima.  Penyelesaian masalah ala indonesia, kekeluargaan  Kami boleh memilih apakah menerima tilang dan mengikuti sidang atau  penyelesaian masalah ditempat dengan cara membayar  Rp. 50.000,-.Â
Tentu pilihan kedua lebih ringan, karena terbayang jauhnya tempat sidang yang hampir dua jam dari rumah Bapak S dan lebih hemat biaya mengikuti opsi kedua ketimbang opsi pertama. Â Pilihan rasionalnya adalah kekeluargaan saja, berikan uang Rp. 50.000,- kepada oknum dan selesai masalah.
Namun saya kaget ketika Bapak S meminta surat tilang saja dan bersedia mengikuti sidang. Saya tidak berani memberikan masukan kepada Bapak S soal pilihannya, takut menyinggung rasionalitasnya. Sekarang giliran oknum polisi yang berusaha keras merasionalkan ke Bapak S bahwa opsi kedua lebih mudah dan murah meriah. Tapi Bapak S kekeuh dengan pendiriannya. Perdebatan kembali terjadi antara pak polisi dan Bapak S dan suasananya tidak lagi sopan. Alhasil surat tilang diberikan dan tentu saja sidang harus diikuti Bapak S.
Diperjalanan pulang saya memikirkan soal rasionalitas hukum Bapak S dan rasionalitas  oknum  polisi tadi. Padahal untuk menempuh perjalanan ikut sidang Bapak S bisa mengeluarkan biaya 4 kali lipat dari opsi kekeluargaan yang ditawarkan oknum polisi tadi. Sesampainya di rumah Bapak S, saya dengan terpaksa meninggalkan uang Rp. 300.000,-  dengan alasan untuk mengganti bensin motornya.
Masih soal penegakkan hukum. Kakak ipar yang sudah biasa panik semisal soal kucing masuk rumah pun, sekali ini paniknya luar biasa dengan masalah yang menimpa anaknya. Anaknya mengalami kecelakkaan roda dua. Korbannya mengalami patah tulang kaki. Upaya kekeluargaan sudah diusahakan guna menghindari pasal kelalaian yang menyebabkan orang mengalami luka atau cacat fisik.Â
Hukumannya cukup lumayan maksimal 1 tahun penjara atau denda 2 juta rupiah. Kakak ipar menawarkan membantu biaya pengobatan sebesar 5 juta rupiah kepada korban, namun keluarga korban menolak dan mengajukan syarat kekeluargaan sebesar 25 juta rupiah. Kekeluargaan mengalami jalan buntu.
Proses hukum nampaknya harus dijalani oleh keponakan. Hasil terakhir dari proses sidang, keponakan dikenakan sanksi kurungan selama 1,5 bulan. Cukup ringan memang. Tapi supaya bisa ringan hukumannya, kakak ipar harus menyerahkan uang sebesar 10 juta rupiah kepada oknum kejaksaaan dan 20 juta rupiah kepada keluarga korban.
Ini soal penegakkan hukum dan rasa kekeluargaan. Peristiwa pertama si oknum polisi yang menawarkan kekeluargaan kepada Bapak S. Bapak S kekeuh pada penegakkan hukum meskipun Bapak S menanggung biaya operasional untuk sidang 4 kali lipat dari tawaran damai si oknum polisi. Peristiwa kedua, proses hukum yang dijalani si pelanggar, berasa bukan penegakkan hukum.
Pelajaran yang bisa diambil tentu cukup banyak dari dua peristiwa diatas. Kata kawan aktifis hukum, dalam penegakkan hukum, jangankan korban, pelaku pun mestinya berhak mendapatkan keadilan. Praktik hukum semestinya tidak menjadi momok bagi masyarakat tapi seharusnya jadi proses yang bisa menyadarkan masyarakat luas tidak hanya korban dan pelaku pelanggaran hukum. Masyarakat biasa sulit untuk ikut menegakkan hukum jika berhadapan dengan oknum penegak hukum itu sendiri. Sulit jika sistem penegakkan hukumnya tidak ikut mendukung penegakkan hukum itu sendiri.
Sebagai orang biasa yang awam terhadap hukum, menurut saya  menjalani hidup ini harus lebih berhati-hati,  jangan lakukan pelanggaran hukum. Kalaupun boleh memilih, lebih baik jadi korban saja, karena kalaupun tidak bisa berharap mendapatkan keadilan dari proses penegakkan hukum, kita masih bisa mendapat simpati dari masyarakat banyak.
Berharap tidak ada oknum yang berpraktek memperkaya diri dengan menggunakan kewenangannya rasanya masih sulit. Meskipun namanya hanya oknum, bagaimana kalau banyak oknum di setiap instansi pemerintahan. Meskipun begitu, sikap optimisme kita harus tetap ada pada proses penegakkan hukum, bahwa kedepannya hal ini akan semakin baik.
Kita masih boleh berharap, semakin terbuka kesempatan semua orang dapat ikut menegakan hukum meskipun mereka hanya masyarakat biasa. Kita masih boleh berharap setiap proses penegakkan hukum di negara ini didukung oleh aparat hukumnya. Harapan itu masih bisa kita wujudkan melalui proses pemilihan penguasa lewat pesta demokrasi. Lewat cara ini optimisme itu selalu ada.
Kata kawan, di setiap pesta demokrasi kita seharusnya memilih penguasa atau pimpinan yang isi otaknya lurus. Kalau penguasa atau pimpinan isi otaknya lurus, maka anak buahnya otaknya juga akan lurus. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H