Mohon tunggu...
Agus Trisa
Agus Trisa Mohon Tunggu... -

Seorang ayah dengan dua orang anak dan seorang istri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hanya Ada Satu Islam

10 Juli 2015   14:38 Diperbarui: 10 Juli 2015   14:38 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”, yang kini digembar-gemborkan kalangan elit intelektual, birokrat Kemenag, politisi dan sejumlah tokoh ormas Islam sesungguhnya dibangun oleh paradigma Barat dalam melihat Islam, namun dibuat seolah-olah pemikiran orisinil Indonesia.

Oleh Azyumardi Azra, Islam Nusantara didefinisikan sebagai Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia (http://fah.uinjkt.ac.id).

Sederhananya, menurut Ketum PBNU KH Said Aqil Siraj, Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan adat-istiadat di Tanah Air. Konsep Islam Nusantara mensinergikan ajaran Islam dengan adat-istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia (Republika Online, 10/3/2015).

Agar bisa diterima,  konsep Islam Nusantara sering dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah, para wali tersebut melakukan islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi Slametan, Kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali, khususnya Sunan berdarah Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Namun, hal itu hanya kedok untuk menutupi wajah sekular yang sesungguhnya. Tampak dari luar memang indah, apalagi dibumbui dengan semangat menampilkan wajah Islam yang indah. Padahal faktanya tidak demikian. Yang menjiwai konsep ini sesungguhnya adalah  nilai-nilai Barat yang begitu saja disematkan pada Islam seperti moderatisme, inklusivisme, pluralisme, multikultralisme, nasionalisme, toleransi, sinkretisme, relasi jender (feminisme), dll.

Hal ini diakui sendiri oleh Azra, bahwa ciri Islam Nusantara adalah wasathiyyah yang moderat dan toleran. “Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafii dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran,” tegasnya.

Hal ini tentu patut diwaspadai karena istilah moderat, inklusif dan  pluralis yang  dihiasi dengan kata damai dan toleran sangat kental dengan aroma liberal. Mungkin di kalangan pesantren bisa jadi ini perkara baru. Namun, di dunia pendidikan tinggi ini sudah menjadi perkara lumrah. Corak Islam yang liberal berulang disampaikan tanpa rasa penyesalan, malah justru dengan nada kebanggaan. Bisa kita lihat, misalnya, dalam pernyataan Prof. Azyumardi sendiri sebagaimana dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hlm. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Di sana dinyatakan: “Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal.”

Oleh sebab itu tidak aneh, dengan jurus asal-asalan bernama “kontekstualisasi”, hukum-hukum yang didasarkan pada nash yang qath’i bisa dirombak begitu saja. Jilbab kemudian disebut sebagai budaya Arab, budaya padang pasir, yang tidak cocok dengan bangsa maritim. Demikian dikatakan Komarudin Hidayat, saat mencontohkan bentuk “Pribumisasi Islam” dalam relasi jender (http://nasional.sindonews.com).

Oleh sebab itu, kita tak boleh terpedaya dengan istilah-istilah manis nan indah didengar, padahal sesungguhnya racun peradaban Barat yang sengaja disuntikan pada umat Islam. Islam kemudian diposisikan sebagai objek yang bisa diubah-ubah untuk menyesuaikan dengan keadaan. Dalam konteks wacana Islam Nusantara, ‘corak keindonesiaan’ ternyata  bukan hanya berciri khas batik, misalnya, namun kewajiban menutup aurat pun bisa diubah, bila dipandang tidak sesuai dengan adat dan budaya lokal. Jilbab dan kerudung akhirnya menjadi tidak wajib.

Padahal seharusnya Islam menjadi standar (subjek), yakni dengan menjadi al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan.

Upaya Menjauhkan Islam yang Sesungguhnya

Sekali lagi, perlu diwaspadai bahwa wacana “Islam Nusantara” adalah bagian  dari gagasan “mederatisme Islam”. Para pengusungnya memakai kacamata yang berbeda dalam melihat Islam. Kacamata yang digunakan adalah kacamata penjajah yang melihat Islam sebagai ancaman. Hal itu bisa kita lihat sejak munculnya pengkajian orientalisme. Barat-penjajah sadar bahwa Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, melainkan ideologi yang memiliki pandangan hidup  yang khas. Lebih dari itu, Islam adalah ajaran yang universal yang mampu menghimpun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Pada masa lalu, kekuatan ideologi ini terbukti membuat kaum Muslim bisa bertahan di tengah gempuran musuh-musuhnya. Umat Islam diakui sebagai umat yang paling agung yang sejarahnya membentang selama belasan abad. Demikian juga saat ini, Islam telah menjadi ancaman paling potensial bagi kekuatan politik dan ideologi kapitalis-Barat.

Oleh sebab itu, Barat memandang bahwa kekuatan ideologi Islam harus segera dimatikan. Di antara caranya adalah menjadikan umat Islam sebagai umat yang moderat (versi mereka), yaitu umat yang tidak meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jadilah Islam yang ‘jinak’, Islam yang tidak peduli dengan penderitaan dan penindasan yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama Muslim, bahkan  tidak peduli agama mereka diotak-atik. Pada gilirannya, potensi Islam sebagai sebuah idiologi yang mengancam Barat bisa dilenyapkan.

Memecah-Belah Umat

Gejolak berkepanjangan yang terjadi di Timur Tengah hingga saat ini tak luput menjadi salah satu justifikasi bagi pentingnya menampilkan “Islam Indonesia”.  Namun kenyataanya, alih-alih memberikan kedamaian, malah memunculkan kegaduhan. Pasalnya, secara kasatmata para pengusung gagsan Islam Indonesia justru telah menebar kebencian terhadap apa yang mereka sebut sebagai “Islam radikal”, “Islam militan’’  dan “Islam fundamentalis’’.  Umat sengaja dipecah-belah dengan label yang indah dan yang buruk. Bahkan istilah-istilah itu kemudian dipropagandakan sebelum maknanya didefinisikan dengan jelas.  Dikotomi seperti ini sebenarnya merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam sebagaimana yang dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Rand Corporation adalah lembaga think-tank neo-konservatif Amerika Serikat yang banyak mendukung berbagai kebijakan Gedung Putih. Dalam rekomendasi yang disampaikan oleh Cheryl Benard yang berjudul ”Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies” secara detil diungkapkan upaya untuk memecah-belah umat Islam melalui strategi penghancuran yang dibangun dengan basis filosi “devide et impera”, atau politik belah bambu. Tulisan dari Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan Direktur CIA yang berjudul ”A Plan to Divide and Destroy the Theology”, pun menunjukkan bagaimana CIA sampai mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk memecah-belah umat Islam.

Karena itu kita tidak boleh ikut-ikutan menambah daftar panjang predikat Islam seperti “Islam Nusantara”, “Islam Indonesia”, “Islam Timur Tengah”, “Islam modernis”, “Islam tradisionalis”, “Islam liberal”, “Islam fundamentalis”, “Islam moderat, “Islam radikal” “Islam inklusif”, “Islam ekslusif”, “Islam rasional”, “Islam salafi”, “Islam militan”, “Islam konservatif”, “Islam kanan”, “Islam kiri”, “Islam garis keras”, “Islam kultural”, “Islam struktural”, dan sebagainya. Lebih baik kita menyebut “Islam” saja. Islam itu satu. Islam tidak dipecah-belah menjadi berbagai jenis Islam—yang maknanya kabur dan tidak jelas—sebagaimana dikehendaki oleh Barat-penjajah.

Membangkitkan ‘Ashabiyah

Semangat “Islam Indonesia” juga lahir dari sentimen nasionalisme yang jelas berbahaya. Nasionalisme merupakan ikatan yang dilandasi pada perasaan emosional. Ia lahir dari naluri untuk survive (mempertahankan diri) yang salah satu bentuknya adalah cinta terhadap kekuasaan diri dan kaumnya. Ikatan ini tidaklah dipegang kecuali oleh masyarakat yang mundur.

Secara politik, penyebaran dan penguatan nasionalisme di Dunia Islam tiada lain untuk melemahkan dan mengkerdilkan mereka. Bila kita menengok sejarah, tampak jelas bahwa kafir penjajah berhasil meruntuhkan Khilafah Islamiyah lalu menjajah negeri-negeri kaum Muslimmelalui propaganda kebangsaan atau nasionalisme. Merekalah yang menyerukan rasa bangga akan negeri Mesir dan peradaban Fir’aun sehingga diikuti oleh kaum Muslim Mesir. Mereka juga yang mempropagandakan sentimen ke-Melayu-an, ke-India-an, ke-Pakistan-an, ke-Indonesia-an, dan lain-lain.

Kaum penjajah juga berada di belakang tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan nasionalisme di Dunia Islam. Akibatnya, Daulah Islam runtuh dan negeri Islam menjadi terpecah belah menjadi puluhan negara (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyyah, hlm. 212-222).

Oleh sebab itu, pantas Rasulullah saw. menyebut sentimen nasionalisme itu sebagai “muntinah” [barang yang busuk]. Beliau juga mencela fanatisme golongan, termasuk di dalamnya adalah ikatan kesukuan dan kebangsaan atau nasionalisme, dengan celaan yang keras bahkan dengan ‘kinayah’ untuk menunjuk sesuatu yang menjijikan. Beliau bersabda:

مَنْ دَعَا إِلىَ عَصَبِيَّةٍ فَلَيْسَ مِنَّا

Siapa saja yang menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme golongan), maka dia tidak termasuk golongan kita (kaum Muslim) (HR Abu Daud).

مَنْ تَعَزَّى بِعِزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ هُنُّ أَبِيْهِ وَلاَ تَكْنُوْهُ

Siapa saja yang berbangga-bangga dengan kebanggaan jahiliah, hendaklah kalian menyuruh mereka menggigit kemaluan bapaknya, dan janganlah kalian mengatakan hal itu secara samar-samar (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Thabrani).

Membendung Khilafah?

Dari semua paparan di atas, amat jelas bahwa wacana “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” secara politik dimaksudkan untuk  menolak atau setidaknya membendung penerapan syariah Islam secara total oleh negara (Khilafah).

Kita tahu, untuk tujuan itu para penjajah telah dan sedang melakukan berbagai upaya dan strategi, baik melalui pendekatan lembut (soft approach),  pendekatan keras (hard approach), maupun melalui undang-undang (legal/law aApproach). Pendekatan lembut (soft approach) dijalankan dengan cara: penyebaran ideologi kontra Islam: kapitalisme, demokrasi, HAM, pluralisme; penyebarluasan  kapitalisme dengan baju Islam seperti “Islam moderat”, “negara madani” (ad-dawlah al madaniyah), “Islam inklusif”, dialog antarumat beragama, dll; stigma negatif dan kriminalisasi ajaran pokok  Islam (syariah Islam, Khilafah, jihad); linkage (pengaitan)  dengan kelompok atau tindakan teror dan lain-lain.

Adapun pendekatan keras (hard approach) dijalankan dengan adu domba dan pecah-belah, sebagaimana dijelaskan di atas, termasuk dikotomi  “Islam Indonesia” dan “Islam Timur Tengah”, dst; perang melawan trorisme dan pemaksaan ideologi Barat terhadap negeri Islam: demokrasi atau perang; termasuk menciptakan pemerintahan boneka di negeri Islam dengan perang dan konflik, sebagaimana kita saksikan di Yaman sekarang.

Dengan demikian wacana “Islam Nusantara” merupakan realisasi dari dua pendekatan sekaligus, yakni pengokohan Islam yang moderat dan toleran (dalam versi mereka) serta politik pecah-belah berdasarkan sentimen kebangsaan. Dalam dialog yang diselenggarakan Kompas bekerjasama dengan NU, secara khusus Azyumardi Azra (sebagai salah satu panelis) menyebut Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang  tidak sejalan dengan  gagasan “Islam Nusantra” karena ingin menegakkan Khilafah Islam (http://print.kompas.com/galeri/video, 28/05/2015).

Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla, dalam sambutan pembukaan Ijtima’ Ulama di Jateng (8/6/2015), menyatakan bahwa Khilafah tidak boleh dikampanyekan karena menapikan kebangsaan dan melanggar undang-undang. Menurut dia, Khilafah hanyalah pikiran yang muncul jaman dulu (Hidayatullah.com).

Inilah di antara bukti bahwa wacana “Islam Indinesia” adalah untuk membendung penerapan syariah dalam bingkai Khilafah.

Islam Hanya Satu

Islam adalah ajaran yang universal (risalah ‘alamiyyah) yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia tanpa memandang suku, bangsa, ras dll. Dinyatakan secara tegas dalam al-Quran bahwa Allah SWT adalah Rabbul ‘Alamin (QS.1:2), al-Quran diturunkan membawa peringatan bagi seluruh umat (lil ‘alamin) (QS. 25:1), Rusulullah saw. di utus untuk semesta alam (lil ‘alamin) (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Karena itu Islam hanya satu. Syahadatnya sama. Sumber hukumnya sama: al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT menegaskan dalam al-Quran:

إنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ

Sesungguhnya umat (agama) kalian ini adalah umat (agama) yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu takutlah kalian kepada-Ku (QS al-Mu’minun []: 52).

Ayat yang sama diulang dalam Q.s. al-Anbiya’ (21): 92, dengan akhiran yang berbeda, “fa’buduni” (sembahlah Aku). Lafal “ummat” di dalam kedua nas ini diartikan oleh para ahli tafsir dengan agama (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/479). Meski demikian, bisa juga diartikan, sebagaimana harfiahnya, yaitu umat. Karena itu Islam adalah satu; umat Islam juga satu. Tidak ada “Islam Indonesia”, “Islam Turki”, atau “Islam Arab”. Umat Islam hanya satu, tidak ada “Umat Islam Indonesia”, “Umat Islam Arab” atau yang lain. Semuanya adalah Islam dan umat Islam.

Namun demikian, meski Islam adalah agama yang satu, kita tidak menutup mata adanya perbedaan di dalamnya semata-mata karena perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab. Perbedaan seperti ini dibenarkan dalam Islam karena dua alasan. Pertama: Karena nash syariah memungkinkan umat Islam untuk berbeda akibat adanya nas-nas yang dzanni tsubut (sumber) dan dzanni dalalah (makna)-nya. Kedua: Karena kemampuan intelektual umatnya juga berbeda-beda sehingga memungkinkan perbedaan dalam memahami nas-nas syariah.

Namun demikian, ukurannya jelas. Kata Sayidina ‘Ali ra.:

لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، أَعْرِفِ الْحَقَّ وَتَعْرِفُ أَهْلَهُ

Janganlah kamu mengenali kebenaran dengan melihat orangnya. Kenalilah kebenarannya itu sendiri maka kamu akan mengenali orangnya (Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, I/30).

Mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali pada sumbernya, bukan orangnya. Sumbernya adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang, siapapun dia, apapun kelompok dan organisasinya, apa yang dibawa dan disampaikan itu bukanlah kebenaran. Berbicara dalam urusan agama tanpa dalil merupakan kadzib(dusta) (lihat: QS al-Kahfi []: 5)

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Abu Muhtadi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun