Mohon tunggu...
Agus Trisa
Agus Trisa Mohon Tunggu... -

Seorang ayah dengan dua orang anak dan seorang istri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hanya Ada Satu Islam

10 Juli 2015   14:38 Diperbarui: 10 Juli 2015   14:38 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali lagi, perlu diwaspadai bahwa wacana “Islam Nusantara” adalah bagian  dari gagasan “mederatisme Islam”. Para pengusungnya memakai kacamata yang berbeda dalam melihat Islam. Kacamata yang digunakan adalah kacamata penjajah yang melihat Islam sebagai ancaman. Hal itu bisa kita lihat sejak munculnya pengkajian orientalisme. Barat-penjajah sadar bahwa Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, melainkan ideologi yang memiliki pandangan hidup  yang khas. Lebih dari itu, Islam adalah ajaran yang universal yang mampu menghimpun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Pada masa lalu, kekuatan ideologi ini terbukti membuat kaum Muslim bisa bertahan di tengah gempuran musuh-musuhnya. Umat Islam diakui sebagai umat yang paling agung yang sejarahnya membentang selama belasan abad. Demikian juga saat ini, Islam telah menjadi ancaman paling potensial bagi kekuatan politik dan ideologi kapitalis-Barat.

Oleh sebab itu, Barat memandang bahwa kekuatan ideologi Islam harus segera dimatikan. Di antara caranya adalah menjadikan umat Islam sebagai umat yang moderat (versi mereka), yaitu umat yang tidak meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jadilah Islam yang ‘jinak’, Islam yang tidak peduli dengan penderitaan dan penindasan yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama Muslim, bahkan  tidak peduli agama mereka diotak-atik. Pada gilirannya, potensi Islam sebagai sebuah idiologi yang mengancam Barat bisa dilenyapkan.

Memecah-Belah Umat

Gejolak berkepanjangan yang terjadi di Timur Tengah hingga saat ini tak luput menjadi salah satu justifikasi bagi pentingnya menampilkan “Islam Indonesia”.  Namun kenyataanya, alih-alih memberikan kedamaian, malah memunculkan kegaduhan. Pasalnya, secara kasatmata para pengusung gagsan Islam Indonesia justru telah menebar kebencian terhadap apa yang mereka sebut sebagai “Islam radikal”, “Islam militan’’  dan “Islam fundamentalis’’.  Umat sengaja dipecah-belah dengan label yang indah dan yang buruk. Bahkan istilah-istilah itu kemudian dipropagandakan sebelum maknanya didefinisikan dengan jelas.  Dikotomi seperti ini sebenarnya merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam sebagaimana yang dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Rand Corporation adalah lembaga think-tank neo-konservatif Amerika Serikat yang banyak mendukung berbagai kebijakan Gedung Putih. Dalam rekomendasi yang disampaikan oleh Cheryl Benard yang berjudul ”Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies” secara detil diungkapkan upaya untuk memecah-belah umat Islam melalui strategi penghancuran yang dibangun dengan basis filosi “devide et impera”, atau politik belah bambu. Tulisan dari Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan Direktur CIA yang berjudul ”A Plan to Divide and Destroy the Theology”, pun menunjukkan bagaimana CIA sampai mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk memecah-belah umat Islam.

Karena itu kita tidak boleh ikut-ikutan menambah daftar panjang predikat Islam seperti “Islam Nusantara”, “Islam Indonesia”, “Islam Timur Tengah”, “Islam modernis”, “Islam tradisionalis”, “Islam liberal”, “Islam fundamentalis”, “Islam moderat, “Islam radikal” “Islam inklusif”, “Islam ekslusif”, “Islam rasional”, “Islam salafi”, “Islam militan”, “Islam konservatif”, “Islam kanan”, “Islam kiri”, “Islam garis keras”, “Islam kultural”, “Islam struktural”, dan sebagainya. Lebih baik kita menyebut “Islam” saja. Islam itu satu. Islam tidak dipecah-belah menjadi berbagai jenis Islam—yang maknanya kabur dan tidak jelas—sebagaimana dikehendaki oleh Barat-penjajah.

Membangkitkan ‘Ashabiyah

Semangat “Islam Indonesia” juga lahir dari sentimen nasionalisme yang jelas berbahaya. Nasionalisme merupakan ikatan yang dilandasi pada perasaan emosional. Ia lahir dari naluri untuk survive (mempertahankan diri) yang salah satu bentuknya adalah cinta terhadap kekuasaan diri dan kaumnya. Ikatan ini tidaklah dipegang kecuali oleh masyarakat yang mundur.

Secara politik, penyebaran dan penguatan nasionalisme di Dunia Islam tiada lain untuk melemahkan dan mengkerdilkan mereka. Bila kita menengok sejarah, tampak jelas bahwa kafir penjajah berhasil meruntuhkan Khilafah Islamiyah lalu menjajah negeri-negeri kaum Muslimmelalui propaganda kebangsaan atau nasionalisme. Merekalah yang menyerukan rasa bangga akan negeri Mesir dan peradaban Fir’aun sehingga diikuti oleh kaum Muslim Mesir. Mereka juga yang mempropagandakan sentimen ke-Melayu-an, ke-India-an, ke-Pakistan-an, ke-Indonesia-an, dan lain-lain.

Kaum penjajah juga berada di belakang tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan nasionalisme di Dunia Islam. Akibatnya, Daulah Islam runtuh dan negeri Islam menjadi terpecah belah menjadi puluhan negara (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyyah, hlm. 212-222).

Oleh sebab itu, pantas Rasulullah saw. menyebut sentimen nasionalisme itu sebagai “muntinah” [barang yang busuk]. Beliau juga mencela fanatisme golongan, termasuk di dalamnya adalah ikatan kesukuan dan kebangsaan atau nasionalisme, dengan celaan yang keras bahkan dengan ‘kinayah’ untuk menunjuk sesuatu yang menjijikan. Beliau bersabda:

مَنْ دَعَا إِلىَ عَصَبِيَّةٍ فَلَيْسَ مِنَّا

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun