Islam adalah ajaran yang universal (risalah ‘alamiyyah) yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia tanpa memandang suku, bangsa, ras dll. Dinyatakan secara tegas dalam al-Quran bahwa Allah SWT adalah Rabbul ‘Alamin (QS.1:2), al-Quran diturunkan membawa peringatan bagi seluruh umat (lil ‘alamin) (QS. 25:1), Rusulullah saw. di utus untuk semesta alam (lil ‘alamin) (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Karena itu Islam hanya satu. Syahadatnya sama. Sumber hukumnya sama: al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT menegaskan dalam al-Quran:
إنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ
Sesungguhnya umat (agama) kalian ini adalah umat (agama) yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu takutlah kalian kepada-Ku (QS al-Mu’minun []: 52).
Ayat yang sama diulang dalam Q.s. al-Anbiya’ (21): 92, dengan akhiran yang berbeda, “fa’buduni” (sembahlah Aku). Lafal “ummat” di dalam kedua nas ini diartikan oleh para ahli tafsir dengan agama (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/479). Meski demikian, bisa juga diartikan, sebagaimana harfiahnya, yaitu umat. Karena itu Islam adalah satu; umat Islam juga satu. Tidak ada “Islam Indonesia”, “Islam Turki”, atau “Islam Arab”. Umat Islam hanya satu, tidak ada “Umat Islam Indonesia”, “Umat Islam Arab” atau yang lain. Semuanya adalah Islam dan umat Islam.
Namun demikian, meski Islam adalah agama yang satu, kita tidak menutup mata adanya perbedaan di dalamnya semata-mata karena perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab. Perbedaan seperti ini dibenarkan dalam Islam karena dua alasan. Pertama: Karena nash syariah memungkinkan umat Islam untuk berbeda akibat adanya nas-nas yang dzanni tsubut (sumber) dan dzanni dalalah (makna)-nya. Kedua: Karena kemampuan intelektual umatnya juga berbeda-beda sehingga memungkinkan perbedaan dalam memahami nas-nas syariah.
Namun demikian, ukurannya jelas. Kata Sayidina ‘Ali ra.:
لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، أَعْرِفِ الْحَقَّ وَتَعْرِفُ أَهْلَهُ
Janganlah kamu mengenali kebenaran dengan melihat orangnya. Kenalilah kebenarannya itu sendiri maka kamu akan mengenali orangnya (Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, I/30).
Mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali pada sumbernya, bukan orangnya. Sumbernya adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang, siapapun dia, apapun kelompok dan organisasinya, apa yang dibawa dan disampaikan itu bukanlah kebenaran. Berbicara dalam urusan agama tanpa dalil merupakan kadzib(dusta) (lihat: QS al-Kahfi []: 5)
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Abu Muhtadi]