Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar ke Komunitas Adat Ammatoa-Kajang: Penjaga Hutan Terbaik di Dunia

28 September 2024   12:20 Diperbarui: 28 September 2024   12:59 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama keluarga besar Puang Kaharo sebelum masuk ke kawasan adat Ammatoa (dok. pribadi)

Di tengah ancaman punahnya hutan yang disusul dengan meningkatnya suhu bumi akibat efek pemanasan global (global warming), kita harus memberi apresiasi kepada beberapa komunitas adat yang mampu menjaga kelestarian alamnya terutama hutannya. Di antara komunitas adat itu bahkan ada yang dinobatkan oleh The Washington Post sebagai "Penjaga Hutan Terbaik di Dunia". Komunitas tersebut adalah Komunitas Adat Ammatoa yang secara administratif terletak di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan.

Komunitas Ammatoa-Kajang sebagai penjaga hutan terbaik di dunia mengemuka dalam workshop yang menghadirkan akademisi, peneliti, hingga pemerintahan desa dan pemangku adat komunitas tersebut. Workshop yang diselenggarakan di Bulukumba pada 22 September 2024 tersebut bertema Kearifan Lokal Andingingi Masyarakat Kajang sebagai Strategi Pencegahan Global Warming.

Penulis (ketiga dari kiri), Ketua Jurusan Sejarah UNM (keempat dari kiri), peneliti BRIN (kelima dari kiri), Kepala Desa Tana Toa  (ketujuh dari kiri)
Penulis (ketiga dari kiri), Ketua Jurusan Sejarah UNM (keempat dari kiri), peneliti BRIN (kelima dari kiri), Kepala Desa Tana Toa  (ketujuh dari kiri)

Penulis sebagai bagian dari masyarakat Bulukumba dan beberapa kali menapakkan kaki serta berdialog dengan pemimpin adat masyarakat Ammatoa merasa ini sebuah penghargaan yang spesial. Sebuah media ternama internasional pernah menobatkan Kajang sebagai penjaga hutan terbaik di dunia. Penulis lalu mencari artikel di maksud dan menemukannya di laman Washington Post. Artikel yang tayang pada 1 Mei 2023 dan ditulis oleh Peter Yeung itu berjudul The world's best rainforest guardians already live there yang dapat diartikan "Penjaga hutan hujan terbaik di dunia tinggal di sana". Di bawah judul artikel dituliskan caption: The empowerment of Indigenous peoples such as the Kajang is emerging as a key way to protect the world's rainforests yang dapat diartikan, "Pemberdayaan masyarakat adat seperti Kajang muncul sebagai cara utama untuk melindungi hutan hujan dunia."

Hutan di Kajang dilihat dari hasil foto satelit (Peter Yeung, Washington Post)
Hutan di Kajang dilihat dari hasil foto satelit (Peter Yeung, Washington Post)

Ritual Andingingi

Peter Yeung dalam artikelnya di antaranya menuliskan tentang ritual Andingingi yang menjadi cara masyarakat adat Ammatoa, Kajang menjaga kelestarian hutan.

Peter Yeung di antaranya menuliskan bahwa ritual Andingingi diadakan setahun sekali oleh suku Kajang, suku dari pulau Sulawesi, Indonesia. Seperti banyak bagian dunia lainnya, tanah mereka dilanda cuaca yang lebih ekstrem karena perubahan iklim. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh citra satelit, hutan primer Kajang yang lebat bebas dari jalan dan pembangunan, menyerap hujan deras yang menghancurkan bagian lain pulau tersebut.

Peter juga memuji Kajang sebagai contoh nyata dari eksperimen Indonesia. Selama bertahun-tahun, penjaga hutan setempat telah membantu melindungi kekayaan satwa liar asli, termasuk rusa, monyet, babi hutan, dan burung tropis, serta empat sungai, yang daerah aliran sungainya memasok air ke beberapa desa di luar wilayah Kajang.

Lalu mengapa masyarakat adat Ammatoa Kajang tetap menjaga kelestarian hutan dan bagaimana mereka mengelola kelestarian hutannya?

Amanat Pasang ri Kajang

Pasang ri Kajang adalah pesan yang mendasari segala aspek kehidupan komunitas yang terkenal dengan baju hitam ini. Meski secara harfiah pasang berarti pesan tetapi secara luas mencakup makna pesan, amanah, fatwa, nasehat, tuntunan, atau peringatan. Apabila dilanggar akan menimbulkan hal-hal atau akibat-akibat yang tidak diinginkan. Pasang ri Kajang ini diwariskan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi.

Yusuf Akib dalam buku Potret Manusia Kajang menjelaskan bahwa Pasang adalah kumpulan pesan-pesan, petuah-petuah, petunjuk-petunjuk dan aturan-aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap makro dan mikro kosmos serta tata cara menjalin harmonisasi alam---manusia---Tuhan. Pasang merupakan sistem nilai yang menjadi pedoman tertinggi bagi komunitas dalam mana ia mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan, baik yang berorientasi keduniaan maupun keakhiratan.

Lalu siapakah yang paling bertanggung jawab menjaga atau mewariskan Pasang ri Kajang? Sosok tersebut adalah pemimpin masyarakat adat komunitas yang juga disebut Ammatoa. Itulah sebabnya syarat utama dari pemimpin komunitas ini adalah orang yang paling paham dengan Pasang ri Kajang. Luar biasanya pasang ini diwariskan dari Ammatoa sebelumnya ke Ammatoa berikutnya secara lisan.

Isi Pasang ri Kajang tentang Menjaga Kelestarian Alam

Berdasarkan penelusuran penulis terhadap beberapa buku dan riset maupun diskusi langsung dengan Ammatoa tentang Pasang ri Kajang, ada beberapa isi pasang tentang bagaimana menjaga kelestarian alam terutama hutan.

Di antara pasang itu misalnya:

"Jagai linoa, lollong bonena, kammayya tompa langika, siagang rupataua,  siagang boronga (Peliharalah dunia beserta isinya, begitupula dengan langit, dengan manusia, dengan hutannya)."

"Talakkullei nisambei kajua, Iyato'minjo kaju timboa. Talakkullei nitambai nanikurangi borong karamaka, kasipalli tauwa a'lamung-lamung ri boronga, nasaba' se're hattu la rie' tau angngaui bate lamunna. (Tidak bisa diganti kayu, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan, sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya."

Ketaatan komunitas adat Ammatoa terhadap Pasang juga didorong oleh keyakinan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan untuk segenap manusia, dan keyakinan akan adanya akibat atau marabahaya jika mereka melanggarnya. Hal ini tergambar dalam pasang:

"Napa'jari inni linoa lollong bonena lanipakkiguna risikonjo tummantangnga ri bahonna lino, Punna larroi linoa rikau, talapattajangngi sinampe' ammuko, nacallako dewata (Diciptakan ini bumi beserta isinya (untuk) dimanfaatkan oleh umat manusia. Jika alam marah kepadamu, tak menunggu besok (atau) lusa, Tuhan (akan) menghukummu.

Pembagian Hutan dalam Komunitas Adat Ammatoa

Pembagian kawasan hutan ini, penulis temukan dari hasil penelitian Syamsul Bahri dkk dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Dituliskan bahwa hutan atau dalam bahasa lokal disebut borong dimaksud dalam kawasan adat Kajang (Ilalang Embayya), ada tiga jenis yaitu: 1) hutan keramat (borong karama'), 2) hutan penyangga/perbatasan (borong batasayya),  dan 3) hutan masyarakat (borong luarayya).

Tentang jenis-jenis hutan di kawasan adat ini, Hasanuddin dkk dalam buku Spektrum Sejarah Budaya dan Tradisi Bulukumba  juga menuliskan bahwa dalam kawasan adat Tana Toa terdapat hutan adat yang disebut juga hutan pusaka seluas 317,4 ha. Hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu gugat, sehingga tidak diperbolehkan kegiatan apapun yang dapat merusak kelestarian hutan. Kegiatan yang dimaksud antara lain penebangan kayu, perburuan hewan, dan membakar hutan. Sedemikian dijaganya, sehingga rumah-rumah di kawasan adat Tana Toa tidak boleh membelakangi atau dibangun di sebelah kanan dari hutan adat.

Hasanuddin dkk juga menjelaskan bahwa selain hutan adat terdapat hutan kemasyarakatan seluas 144 ha. Hutan ini boleh digarap atau ditebang pohonnya, tetapi dengan syarat harus menanam terlebih dahulu bibit pohon yang jenisnya sama dengan pohon yang akan ditebang dan ditanam di sebelahnya. Selebihnya ada lagi yang disebut dengan hutan rakyat seluas 98 ha. Hutan rakyat digarap secara bersama-sama oleh masyarakat setempat dan hasilnya dinikmati bersama-sama. Umumnya hasil hutan yang diambil digunakan untuk kepentingan pembangunan rumah atau untuk kayu bakar.

Pembagian kawasan hutan dalam masyarakat adat Ammatoa sebagaimana dijelaskan di atas membuktikan adanya kearifan lokal (local genius) dalam pengelolaan alam. Hal ini juga menunjukkan kemampuan Ammatoa mengakomodir kebutuhan rakyatnya baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat umum. Sekaligus hal ini menunjukkan kepedulian dan kecintaan terhadap alam. Pepohonan di hutan masyarakat atau hutan rakyat dapat ditebang dengan syarat harus dipersiapkan pohon penggantinya. Sedangkan pohon di hutan adat (borong karama') sama sekali tidak boleh ditambah atau dikurangi sebagaimana pasang yang berbunyi talakkullei nitambai nanikurangi borong karamaka, sehingga fungsi hutan sebagai paru-paru dunia tidak terganggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun