Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fragmen Moderasi Beragama di Nusantara hingga Penyambutan Paus Fransiskus

6 September 2024   11:28 Diperbarui: 6 September 2024   12:00 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus bersama Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Nazaruddin Umar (Kompas.com)

Paus Fransiskus adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia sekaligus kepala negara Vatikan.  Ia melakukan kunjungan kenegaraan dan pastoral ke Indonesia sejak 3 September 2024. Dijadwalkan ia akan mengadakan beberapa agenda kenegaraan dan keagamaan hingga 6 September 2024, termasuk pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, kunjungan ke Masjid Istiqlal dan bertemu tokoh-tokoh lintas agama serta memimpin Misa Agung atau Misa Kudus di Gelora Bung Karno pada 5 September 2024.

Sambutan hangat bukan hanya diperlihatkan dan diberikan oleh tokoh-tokoh bangsa dan tokoh-tokoh lintas agama tetapi juga masyarakat secara luas. Sambutan hangat ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia telah menjadikan semangat moderasi beragama sebagai kepribadian bangsa. Benarkah demikian? Kita akan melakukan napak tilas untuk menemukan beberapa fragmen moderasi beragama bahkan sebelum negeri ini menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga penyambutan terhadap Paus Fransiskus.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Jika mau dibuat kurun waktu perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara maka dapat dirangkai dalam masa sekitar sepuluh abad. Diterimanya ajaran dan budaya Hindu-Buddha secara damai saja sudah merupakan bukti moderasi beragama. Maka tidak mengherankan jika beberapa kerajaan meninggalkan fragmen semangat moderasi beragama. 

Contoh yang paling menarik adalah apa yang diabadikan oleh Mataram Kuno berupa candi-candi bercorak Hindu dan bercorak Buddha, seperti Prambanan dan Borobudur. Begitupun saat dua dinasti berbeda agama yakni Sanjaya dan Syailendra memutuskan bersatu dalam ikatan perkawinan untuk menyelamatkan Mataram Kuno dari perpecahan. Begitulah Rakai Pikatan dan Pramodhawardani menjadi pasangan beda agama kala itu demi melihat kejayaan Mataram.

Fragmen lainnya pada masa Hindu-Buddha yang paling menonjol adalah yang dicontohkan oleh Raja Majapahit, Prabu Kertabhumi (Brawijaya V). Ia bukan hanya membuka lebar-lebar pintu Majapahit untuk masuknya agama Islam, ia bahkan mengikatnya dengan hubungan perkawinan dirinya dengan wanita Tionghoa Muslim, putri Tan Go Hwat (Syekh Bantong) bernama Siu Ban Ci. 

Istri Brawijaya V yang juga bernama Wandan Sari inilah yang kemudian melahirkan Cek Ko-po atau Pate Rodin menurut Tome Pires atau Jim Bun menurut versi Klenteng Sam Po Kong. Putra Brawijaya V dengan Wandan Sari ini kemudian lebih dikenal dengan nama Raden Fatah, pendiri Kerajaan Demak.

Brawijaya V juga menikahi putri dari Kerajaan Campa bernama Dewi Kiem (Dewi Dwarawati), saudara Dewi Candrowulan yang merupakan ibunda Bong Swi Hoo (Raden Rahmat). Saat ponakan istrinya ini berkunjung ke Majapahit, Brawijaya V mengangkatnya sebagai Sunan di Ngampel sehingga ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Meski hingga wafatnya, Brawijaya V tidak menganut Islam tetapi semangat moderasi beragama yang ia tunjukkan telah ikut mendorong penyebaran dakwah Islam di wilayah Majapahit hingga menjelma menjadi satu kekuatan politik bernama Kerajaan Demak.

Masa Kerajaan-Kerajaan Islam

Di antara fragmen moderasi beragama di masa perkembangan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yaitu diterimanya bangsa-bangsa Eropa dengan baik di wilayah kerajaan-kerajaan Islam. 

Sambutan baik ini baru berubah menjadi perlawanan setelah bangsa Eropa tidak lagi menunjukkan maksud baik untuk berdagang melainkan ingin memonopoli atau mengeksploitasi sumber daya alam di Nusantara. Meski demikian, masyarakat Muslim saat itu tidak melakukan perlawanan atau tindakan radikal terhadap para misionaris Katolik dan Protestan yang menyertai kedatangan bangsa-bangsa Eropa tersebut. 

Jadi masyarakat Muslim di Nusantara kala itu dapat membedakan perlakuan terhadap bangsa Eropa yang punya misi politik dengan bangsa Eropa yang membawa misi keagamaan. Sehubungan dengan ini tidak pernah terdengar dalam sejarah pada masa itu bahwa terdapat gereja yang dirobohkan oleh rakyat yang sedang berjuang melawan upaya dominasi Barat.

Fragmen lain moderasi beragama dari masa ini terlihat pada instrumen-instrumen akulturasi budaya Islam dengan budaya lainnya yakni budaya lokal, Hindu-Buddha hingga Eropa. Hal ini misalnya terlihat dari adaptasi wayang dari masa Praaksara sebagai media dakwah oleh wali songo. Lalu secara arsitektur banyak nisan yang banyak menggunakan batu tunggal sebagai akulturasi dengan Menhir dari masa Praaksara. 

Kemudian bentuk atap masjid yang bertingkat akulturasi dengan atap pura. Juga menara masjid yang masih mempertahankan bangunan candi seperti Masjid Agung Kudus. Ada pula Menara Masjid Agung Banten yang bergaya Eropa. Jadi masyarakat Muslim di Nusantara kala itu berkesimpulan bahwa instrumen keagamaan seperti makam dan masjid sekalipun terbuka untuk adaptasi dengan budaya lainnya di luar Islam.

Masa Pergolakan Mempertahankan Kemerdekaan

Semangat moderasi beragama juga diperlihatkan dalam fragmen pergolakan mempertahankan kemerdekaan, yaitu saat para pemuda pejuang menggabungkan diri dalam laskar-laskar perjuangan tanpa melihat perbedaan agama atau keyakinan apalagi suku. Tidak sedikit kelaskaran yang bahkan dipimpin oleh tokoh yang berbeda agama atau suku dengan anggota kebanyakan laskar.

Satu contoh menarik diperlihatkan oleh tokoh-tokoh dan anggota Laskar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi (LAPRIS) di Sulawesi Selatan. Laskar pejuang yang bermarkas di daerah Polongbangkeng Selatan (Kabupaten Takalar sekarang) ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi perjuangan di Sulawesi Selatan dengan anggota mencapai 3.000 orang. 

Luar biasanya, di organisasi kelaskaran ini, Robert Wolter Monginsidi menduduki posisi penting sebagai Sekretaris LAPRIS. Selama sekitar empat tahun kepemimpinannya termasuk mengomandoi beberapa aksi militer melawan Belanda, Monginsidi tetap diterima dengan baik. Anggota-anggota dan tokoh laskar lainnya tidak pernah mempersoalkan agama atau keyakinan dan suku Monginsidi sebab mereka lebih mementingkan "profesionalisme" Harimau Mamalayang ini dalam memimpin laskar.

Masa Perintisan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Satu fragmen penting moderasi beragama di masa ini diperlihatkan oleh tokoh-tokoh bangsa yang merupakan perumus dasar negara, tepatnya Panitia Sembilan yang merupakan bagian dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 

Fragmen dimaksud adalah saat tokoh-tokoh Muslim bersedia mengganti tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi tegaknya NKRI. Mereka menyadari pentingnya mengokohkan pilar-pilar NKRI dalam bingkai keberagaman atau Bhineka Tunggal Ika sehingga sentimen keagamaan harus melebur dengan semangat kebangsaan atau nasionalisme.

Sambutan Hangat untuk Paus Fransiskus

Jika kita mencerna ulang napak tilas moderasi beragama sebagaimana paparan di atas, maka tidak mengherankan jika kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia mendapat sambutan hangat. Tidak mengherankan pula jika Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) mengeluarkan edaran agar televisi di Indonesia tidak menayangkan azan pada saat Misa Agung yang dipimpin oleh Paus Fransiskus tengah berlangsung pada 5 September 2024. Kemkominfo lalu menghimbau agar suara azan digantikan dengan running teks antara pukul 17.00-19.00 WIB.

Mungkin, sebagian kita ada yang teringat dengan aksi-aksi radikalisme yang pernah terjadi di Indonesia sebagai antitesis terhadap paparan di atas. Kiranya harus kita pahami bahwa aksi-aksi tersebut bukanlah himbauan yang bersifat keagamaan dari pemimpin-pemimpin agama, tetapi lebih bersifat aksi-aksi individu atau kelompok tertentu yang memiliki misi tertentu pula. 

Maka dengan demikian, aksi-aksi radikalisme tersebut tidak bisa dikatakan mewakili agama tertentu. Mari mempertahankan semangat moderasi beragama yang telah diwariskan selama ribuan tahun dan telah menjadi kepribadian bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun