Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fragmen Moderasi Beragama di Nusantara hingga Penyambutan Paus Fransiskus

6 September 2024   11:28 Diperbarui: 6 September 2024   12:00 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus bersama Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Nazaruddin Umar (Kompas.com)

Sambutan baik ini baru berubah menjadi perlawanan setelah bangsa Eropa tidak lagi menunjukkan maksud baik untuk berdagang melainkan ingin memonopoli atau mengeksploitasi sumber daya alam di Nusantara. Meski demikian, masyarakat Muslim saat itu tidak melakukan perlawanan atau tindakan radikal terhadap para misionaris Katolik dan Protestan yang menyertai kedatangan bangsa-bangsa Eropa tersebut. 

Jadi masyarakat Muslim di Nusantara kala itu dapat membedakan perlakuan terhadap bangsa Eropa yang punya misi politik dengan bangsa Eropa yang membawa misi keagamaan. Sehubungan dengan ini tidak pernah terdengar dalam sejarah pada masa itu bahwa terdapat gereja yang dirobohkan oleh rakyat yang sedang berjuang melawan upaya dominasi Barat.

Fragmen lain moderasi beragama dari masa ini terlihat pada instrumen-instrumen akulturasi budaya Islam dengan budaya lainnya yakni budaya lokal, Hindu-Buddha hingga Eropa. Hal ini misalnya terlihat dari adaptasi wayang dari masa Praaksara sebagai media dakwah oleh wali songo. Lalu secara arsitektur banyak nisan yang banyak menggunakan batu tunggal sebagai akulturasi dengan Menhir dari masa Praaksara. 

Kemudian bentuk atap masjid yang bertingkat akulturasi dengan atap pura. Juga menara masjid yang masih mempertahankan bangunan candi seperti Masjid Agung Kudus. Ada pula Menara Masjid Agung Banten yang bergaya Eropa. Jadi masyarakat Muslim di Nusantara kala itu berkesimpulan bahwa instrumen keagamaan seperti makam dan masjid sekalipun terbuka untuk adaptasi dengan budaya lainnya di luar Islam.

Masa Pergolakan Mempertahankan Kemerdekaan

Semangat moderasi beragama juga diperlihatkan dalam fragmen pergolakan mempertahankan kemerdekaan, yaitu saat para pemuda pejuang menggabungkan diri dalam laskar-laskar perjuangan tanpa melihat perbedaan agama atau keyakinan apalagi suku. Tidak sedikit kelaskaran yang bahkan dipimpin oleh tokoh yang berbeda agama atau suku dengan anggota kebanyakan laskar.

Satu contoh menarik diperlihatkan oleh tokoh-tokoh dan anggota Laskar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi (LAPRIS) di Sulawesi Selatan. Laskar pejuang yang bermarkas di daerah Polongbangkeng Selatan (Kabupaten Takalar sekarang) ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi perjuangan di Sulawesi Selatan dengan anggota mencapai 3.000 orang. 

Luar biasanya, di organisasi kelaskaran ini, Robert Wolter Monginsidi menduduki posisi penting sebagai Sekretaris LAPRIS. Selama sekitar empat tahun kepemimpinannya termasuk mengomandoi beberapa aksi militer melawan Belanda, Monginsidi tetap diterima dengan baik. Anggota-anggota dan tokoh laskar lainnya tidak pernah mempersoalkan agama atau keyakinan dan suku Monginsidi sebab mereka lebih mementingkan "profesionalisme" Harimau Mamalayang ini dalam memimpin laskar.

Masa Perintisan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Satu fragmen penting moderasi beragama di masa ini diperlihatkan oleh tokoh-tokoh bangsa yang merupakan perumus dasar negara, tepatnya Panitia Sembilan yang merupakan bagian dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 

Fragmen dimaksud adalah saat tokoh-tokoh Muslim bersedia mengganti tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi tegaknya NKRI. Mereka menyadari pentingnya mengokohkan pilar-pilar NKRI dalam bingkai keberagaman atau Bhineka Tunggal Ika sehingga sentimen keagamaan harus melebur dengan semangat kebangsaan atau nasionalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun