Akhir pekan lalu istilah "Subuh pi" mendadak viral menyusul viralnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Istilah "Subuh pi" berawal dari konten di salah satu akun instagram yang memperlihatkan seorang istri yang curhat tentang suaminya.Â
Ia mengaku menolak melayani suaminya di suatu malam karena merasa masih lelah setelah bekerja seharian. Ia lalu meminta kepada suaminya agar ditunda hingga Subuh.Â
Si istri berujar dalam dialek Bugis-Makassar, "Subuh pi..." yang secara harfiah mengandung arti: "Nanti kalau Subuh..." Si istri meminta diberikan kesempatan menunda melayani suaminya karena ia mengaku sedang lelah.
Istilah yang berasal dari curhatan yang tidak semestinya disampaikan oleh seorang istri di depan umum terlebih di media sosial ini tentu menggelitik sejumlah kalangan. Ada yang menganggap si istri berlebihan, ada pula yang menganggap curhatan ini mewakili istri yang mengalami nasib yang sama. Pengamatan penulis, istilah "Subuh pi..." lantas diparodikan dan diunggah oleh beberapa akun instagram.
Menyikapi viralnya istilah "Subuh pi..." mestinya suami atau istri harus mencari contoh berumah tangga yang terbaik, di mana suami tidak terkesan menzalimi istrinya. Di pihak lain meski suami membantu pekerjaan istri, tetapi ia tidak merasa harga dirinya dilanggar. Sebab tidak jarang, KDRT berawal dari permasalahan rumah tangga yang tidak harmonis termasuk aktivitas seksual suami-istri.
Itulah sebabnya pada kesempatan ini, kami akan memberikan pencerahan bagaimana sesungguhnya romantisme dalam rumah tangga Nabi Muhammad Sallallaahu Alaihi Wasallam (SAW). Sumber rujukan kami adalah sebuah risalah berbentuk e-book yang dibagikan oleh Maktabah Abu Salma al-Atsari. Judul risalah yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan berjudul "Sehari di Kediaman Rasulullah" itu merupakan buah karya Syaikh Abdul Malik al-Qasim.
Aktivitas Nabi SAW Melayani Dirinya Sendiri
"Dunia itu penuh dengan kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang salehah." (Shahih Jami' Saghir).
Terlintas sebuah pertanyaan apakah istri salehah menurut Nabi SAW adalah yang melayani segala keperluan suaminya? Apakah Nabi SAW sebagai seorang pemimpin tertinggi umat saat itu meminta dilayani oleh istri bagai seorang raja? Imam Ahmad dan Tirmidzi pernah meriwayatkan sebuah hadits dari istri beliau, Ummul Mukminin Aisyah radhiyallaahu 'anha bahwa Nabi SAW adalah seorang manusia biasa, beliau menambal pakaian sendiri, memerah susu dan melayani diri beliau sendiri.
Nabi SAW juga sangat pandai menyenangkan hati istrinya, misalnya dengan panggilan-panggilan sayang untuk istrinya. Nabi SAW memanggil Ummul Mukminin Aisyah dengan nama, "Aisy" (panggilan kesayangan Aisyah radhiyallaahu 'anha) sebagaimana sebuah riwayat Muttafaq 'Alaih.
Sisi romantisme Nabi SAW juga abadi dalam sebuah riwayat Muslim. Ummul Mukminin Aisyah bercerita bahwa suatu ketika ia sedang minum, dan saat itu ia sedang haid. Lantas ia memberikan gelasnya kepada Rasulullah dan beliau minum dari tempat ia minum. Di kesempatan lain, Ummul Mukminin memakan sepotong daging, beliau lantas mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat ia memakannya (bekas gigitannya pada daging).
Satu lagi romantisme Nabi SAW dengan istrinya yang mungkin terasa "tabu" dilakukan oleh pasangan suami-istri apalagi yang berstatus bukan pengantin baru. Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Ummul Mukminin Aisyah bahwa ia terbiasa mandi berdua dengan Rasulullah dari satu bejana.
Romantisme Nabi SAW bahkan masih terlihat meski ia telah mengambil wudhu dan akan segera menuju masjid. Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah bahwa suatu ketika Rasulullah pernah mencium salah seorang istri beliau kemudian berangkat menunaikan salat tanpa memperbaharui wudhu.
Nabi SAW Berlomba Lari dengan Istrinya
Inilah romantisme yang diabadikan dalam sebuah lagu yang pernah viral berjudul "Aisyah". Kisah ini bersumber dari hadits riwayat Imam Ahmad. Ummul Mukmini Aisyah mengisahkan bahwa suatu ketika ia bersama dengan Nabi SAW dan rombongan sedang melakukan sebuah perjalanan. Nabi SAW tiba-tiba memerintahkan rombongan berjalan lebih dulu sementara beliau SAW mengajak Aisyah berlomba lari. Saat itu Ummul Mukminin masih langsing sehingga mampu mengalahkan Nabi SAW. Ketika dirinya mulai gemuk, Nabi SAW kembali menantangnya berlomba lari, dan kali ini Nabi SAW yang menang. Beliau SAW lantas tertawa sambil berkata, "Inilah penebus kesalahan yang lalu!"
Romantisme Nabi SAW bukan hanya terhadap Ummul Mukminin Aisyah. Hal ini pun beliau lakukan terhadap istri yang lain sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa suatu ketika beliau SAW menolong sendiri istrinya, Shafiyyah binti Huyaiy radhiyallaahu 'anha untuk menaiki unta. Beliau SAW terlebih dahulu melindungi Shafiyyah dari pandangan orang lain dengan sebuah tirai dari kain. Beliau SAW lantas meyediakan lututnya di sisi unta tersebut lalu mempersilahkan Shafiyyah naik ke unta dengan bertumpu pada lutut beliau SAW.
Syaikh Abdul Malik al-Qasim lantas berkata, "Pemandangan seperti ini memberikan kesan begitu mendalam yang menunjukkan ketawadhu'an beliau. Rasulullah SAW selaku pemimpin yang berjaya dan seorang Nabi yang diutus memberikan teladan kepada umatnya bahwa bersikap tawadhu kepada istri, mempersilakan lutut beliau sebagai tumpuan, membantu pekerjaan rumah, membahagiakan istri sama sekali tidak mengurangi derajat dan kedudukan beliau SAW.
Membantu Keluarga dan Tetap Menyambut Seruan Penciptanya
Satu hal yang perlu dicontoh oleh para suami utamanya umat Nabi SAW bahwa meskipun beliau membantu keluarganya, tetapi saat azan berkumandang beliau SAW akan segera menyambut seruan Tuhan-nya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Al-Aswad bin Yazid yang pernah bertanya kepada Ummul Mukminin Aisyah tentang apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW di rumahnya. Ummul Mukminin lantas menjelaskan bahwa beliau biasa membantu keluarga, tetapi apabila mendengar seruan azan, beliau segera keluar untuk menunaikan salat.
Terdapat pula sebuah riwayat Muttafaq 'Alaih bahwa Rasulullah terbiasa melaksanakan salat malam tanpa mengganggu tidur istrinya. Hal ini diceritakan oleh Ummul Mukminin Aisyah bahwa Rasulullah SAW terbiasa mengerjakan salat malam sementara ia tidur melintang di hadapan beliau. Rasulullah baru membangunkan Aisyah bila hendak mengerjakan salat Witir.
Begitu pengertiannya Nabi SAW terhadap istrinya, sehingga meskipun untuk beribadah beliau tidak sampai hati membangunkan istrinya di awal waktu kecuali saat hendak Witir. Meski demikian, terdapat riwayat dari Imam Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW mendoakan rahmat bagi suami yang membangunkan istrinya untuk salat malam, demikian sebaliknya. Lalu bagaimana jalan tengahnya? Memang di awal-awal suami harus senantiasa mengingatkan istrinya, tetapi jika istri sudah terbiasa maka dengan sendirinya ia akan terbangun untuk salat malam.
Demikianlah Nabi SAW meninggikan derajat dan kedudukan istrinya, dan beliau SAW senantiasa mengingatkan hal ini kepada sahabat-sahabatnya dan umatnya. Beliau SAW menekankan bahwa mencintai istri bukanlah hal yang tabu bagi seorang lelaki yang normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H