Polemik tentang keberadaan Habib (bentuk jamaknya Habaib) di Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Penting untuk diketahui bahwa Habib merupakan keturunan Nabi Muhammad Sallallaahu Alaihi Wasallam (SAW) dari jalur Husein bin Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW.
Topik pembahasan seputar polemik Habib di Indonesia mengerucut kepada tudingan sejumlah pihak bahwa terdapat Habib yang sebenarnya bukan merupakan zurriyat atau keturunan Nabi Muhammad SAW.
Asal-Usul Habib dan AlawiyyinÂ
Bagaimana asal-usul Habib hingga penyebaran mereka ke Nusantara? Berdasarkan penelusuran penulis, asal-usul Habib ini bermula dari seorang ulama asal Basrah, Irak bernama al-Imam Ahmad bin Isa atau al-Imam al-Muhajir, generasi ke-8 dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad SAW.
Al-Imam Ahmad bin Isa disebut juga Imam al-Muhajir karena berhijrah ke Hadhramaut pada tahun 317 H (896 M). Hijrahnya inilah yang menjadi cikal bakal semakin banyaknya keturunan Nabi SAW di Yaman sehingga membentuk lembaga pendidikan tidak formal yang disebut Al-Tariqa Al-Alawiyya (Tarikat Alawiyin). Nama ini diambil dari salah satu cucu Al-Imam Ahmad bin Isa bernama Alwi (Alawi) bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Keberadaan Tarikat Alawiyin ini sekaligus menjadi awal pemakaian gelar Habib menjadi lebih luas, bukan lagi hanya merujuk pada keturunan Nabi SAW, tetapi juga untuk lulusan Tarikat Alawiyin. Tarikat ini didirikan oleh salah satu keturunan Alwi bin Ubaidillah yang bernama Al-Faqih Muqaddam.
Al-Faqih inilah yang menjadi leluhur kaum Alawiyyin yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan Islam sejak abad ke-13. Mereka kemudian berkembang menjadi banyak marga seperti Al-Attas, Al-Haddad, Al-Habsyi, Alaydrus, Al-Jufri, Syihab, Syahab dan masih banyak lainnya.
Jika di Hadhramaut, keturunan Nabi SAW dari garis Al-Imam Ahmad bin Isa ini mendirikan Tarikat Alawiyyin, maka di Indonesia mereka mendirikan Rabithah Alawiyah pada tahun 1928. Pendiri organisasi yang saat ini dipimpin oleh Habib Zen bin Umar bin Smith ini adalah Habib Alwi bin Thahir al-Haddad.
Menghilangkan Jejak Habib Berarti Mengubah Sejarah Kerajaan di Nusantara
Apakah hal yang berlaku dalam Tarikat Alawiyin bahwa bukan hanya keturunan Nabi SAW yang menyandang gelar Habib berlaku pula di Asia Tenggara? Hasil penelusuran penulis, gelar Habib di Asia Tenggara harus selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Meski demikian varian baru untuk menyebut keturunan Nabi SAW juga muncul yaitu Sayyid atau Syarif, dan jika perempuan Sayyidah atau Syarifah. Mungkin yang paling kita ingat adalah Syarif Hidayatullah, tokoh penyebar Islam di Nusantara yang kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Sejarawan dan budayawan Azyumardi Azra pernah menjelaskan bahwa ulama-ulama dari Arab-Hadrami berjasa besar dalam penyebaran Islam di Nusantara termasuk yang dikenal sebagai Wali Songo.
Mengutip Republika (21/12/2021), bertepatan dengan penganugerahan pahlawan nasional Sultan Aji Muhammad Idris, raja pertama Kutai Kartanegara ing Martadipura (1735-1778), mencuat pula nama Habib Muhammad bin Yahya. Keturunan Nabi SAW yang juga digelari Pangeran Noto Igomo ini adalah menantu sekaligus mufti di kerajaan Kutai Kartanegara pada masa Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910). Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) disebut pernah mengaji kepadanya saat bertemu di Penang, Malaya (Malaysia). Saat itu Habib Muhammad masih dikenal dengan nama As-Sayyid ath-Thahir.
Maka dengan demikian jejak keberadaan Habib, Sayyid atau Syarif di Indonesia erat kaitannya dengan penyebaran Islam dan kerajaan-kerajaan di Nusantara terutama yang bercorak Islam. Hal ini disebabkan karena kedatangan mereka yang berawal dari migrasi Bani Alawiyin dari Hadhramaut (sekarang Yaman) pada abad ke-13 bertepatan dengan mulai berkembangnya pengaruh Islam hingga membentuk pemerintahan kerajaan.
Banyak di antara ulama dari Hadhramaut yang hijrah ke Nusantara bahkan menikahi penduduk setempat . Di antara ulama yang merupakan keturunan dari hasil pernikahan Hadhramaut-Nusantara ini misalnya Habib Ali Kwitang dan Habib Muhammad Idrus bin Salim al-Jufri. Keduanya sekaligus menjadi contoh Habib yang memiliki peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro
Fakta ini diungkap oleh Agus Widjajanto (praktisi hukum, pemerhati sosial budaya dan sejarah bangsa) melaluii tulisannya dalam website telusur (01/7/2024). Ia mengutip pendapat sejarawan Islam, K.H. Agus Sunyoto bahwa pergolakan di antara Wahabi dan Ahlussunnah di Tanah Hijaz memaksa kaum Sayyid dan Syarif mengembara ke berbagai penjuru bumi di antaranya ke Nusantara yang sekarang dikenal sebagai Indonesia.
Di antara tempat yang mereka datangi adalah Jawa, khususnya Yogyakarta pada tahun 1790. Sultan Hamengkubuwono II saat itu memberi mereka tanah untuk pemukiman sehingga terbentuklah Kampung Sayyidan. Dari sinilah terjadi pernikahan dengan masyarakat di luar kaum Sayyid dan Syarif ini. Saat pecah Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830), para Sayyid dan Syarif dari kampung ini secara sukarela bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Peranan Habib dalam Perjuangan Kemerdekaan
Lalu bagaimana sikap yang terbaik jika memang terbukti bahwa sederet Habib atau Sayyid terputus nasabnya dengan Nabi Muhammad SAW? Â Tentunya ini tidak menjadi alasan mengecilkan peran beberapa keturunan Nabi SAW dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentu bukanlah sikap bijak melakukan generalisasi asumsi bahwa mereka sama sekali tidak memiliki peranan. Itulah sebabnya kali ini penulis mengajak segenap pembaca untuk melakukan napak tilas terhadap beberapa di antara keturunan Nabi SAW yang punya peranan dalan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru saja diperingati hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-79.
Berdasarkan penelusuran kami ke berbagai sumber, di antara mereka yang memiliki peranan atau pernah berjasa dalam perjuangan sekitar kemerdekaan bangsa Indonesia adalah Habib Ali Kwitang Al-Habsyi, Habib Salim bin Jindan, Habib Muhammad Idrus bin Salim al-Jufri, Syarif Abdul Hamid Alqadri (Sultan Hamid II), dan Habib Husein Mutahar yang pernah kami tuliskan dalam artikel sebelumnya.
Pertama, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi  yang akrab dipanggil Habib Ali Kwitang ini adalah putra ulama asal Hadhramaut, Habib Muhammad Al-Habsyi buah pernikahannya dengan Nyai Salmah yang merupakan putri ulama Betawi. Disebutkan bahwa Bung Karno meminta nasihat ulama pendiri Partai Syarikat Islam ini tentang waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan. Selain itu ulama yang lahir di Kwitang tahun 1870 dan pernah belajar di Makkah dan Madinah ini juga berjasa besar dalam pengembangan Islam di Jakarta dan beberapa wilayah lain termasuk hingga Singapura dan Malaysia. Begitupun tak terhitung ulama dari Jakarta dan daerah lainnya yang pernah menjadi muridnya.
Kedua, Habib Salim bin Jindan dikenal sebagai ulama "Gudang Ilmu". Perpustakaan pribadinya disebut menyimpan koleksi 15.000 kitab dan selama hidupnya menulis tidak kurang 100 kitab termasuk bidang Sejarah. Beberapa kitabnya berisikan sejarah masuknya Islam di Nusantara serta sejarah dan biografi tokoh-tokoh Nusantara. Kitab-kitab ulama murid Mbah Kholil Bangkalan ini juga mengajarkan nasionalisme dan cinta tanah air. Maka tidaklah mengherankan saat bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan ulama kelahiran Surabaya tahun 1906 ini membakar semangat juang para pemuda melalui fatwa jihad dan pidato-pidatonya.
Ketiga, Habib Muhammad Idrus bin Salim al-Jufri adalah pendiri Al-Khairaat di Palu (1930) yang hingga kini telah berkembang menjadi 1.561 sekolah dan madrasah yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia terutama wilayah Indonesia bagian Timur seperti Sulawesi, Kalimantan, Maluku hingga Papua. Ulama berjuluk Guru Tua di Sulawesi Tengah yang juga pernah merasakan dikurung dalam penjara Jepang ini disebut juga sebagai pengusul warna bendera merah dan putih. Meski hingga saat ini ia belum dianugerahi pahlawan nasional tetapi pada tahun 2010 ia mendapatkan Tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana. Menariknya lagi karena dikatakan bahwa Habib Idrus merupakan putra Habib Salim al-Jufri (mufti dari Hadhramaut) dengan Syarifah Noer (putri Arung Matowa Wajo).
Keempat, Syarif Abdul hamid Alqadri adalah pejuang yang pernah dipenjara oleh Jepang, tetapi pada masa Hindia Belanda sempat menjadi perwira KNIL (Belanda) berpangkat Letnan Dua. Saat perjuangan diplomasi pengakuan kedaulatan ia dipilih menjadi delegasi dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Saat ia duduk dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca pengakuan kedaulatan, ia diberi tugas oleh Presiden Soekarno untuk merancang lambang.negara burung Garuda. Meski rancangan lambang negara burung Garuda kemudian mendapat perbaikan dari Soekarno dan Moh. Hatta tetapi namanya telah dikenang sebagai perancang lambang negara.
Kelima, Habib atau Sayyid Husein Mutahar selain dikenal sebagai tokoh Pramuka dan pendiri Paskibraka, juga banyak menciptakan lagu perjuangan atau nasional seperti mars Hari Merdeka dan Hymne Syukur. Selain itu, ia juga berjasa menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih.
Jadi semoga dengan polemik seputar Habib tidak menyebabkan kita luput dari jasa dan peran mereka dalam perjuangan. Hal inilah yang juga diingatkan oleh Ketua MPR, Dr. Hidayat Nur Wahid, M.A saat menerima kunjungan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Forum Ulama dan Habaib (Fuhab) pada tahun 2022 lalu. Ia bahkan menuturkan bahwa mereka bukan hanya berjasa bagi kemerdekaan bangsa Indonesia tetapi juga dalam menyelamatkan negara ini saat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia bahkan mengingatkan ancaman Islamophobia yang di antaranya beranggapan bahwa ulama, habaib dan Islam secara umum tidak mempunyai peran penting dalam perjuangan menghadirkan dan menyelamatkan negara Indonesia merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H