Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Habib Menjadi Polemik? Jangan Lupakan Peran Mereka dalam Perjuangan Kemerdekaan

20 Agustus 2024   13:22 Diperbarui: 20 Agustus 2024   13:26 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka dengan demikian jejak keberadaan Habib, Sayyid atau Syarif di Indonesia erat kaitannya dengan penyebaran Islam dan kerajaan-kerajaan di Nusantara terutama yang bercorak Islam. Hal ini disebabkan karena kedatangan mereka yang berawal dari migrasi Bani Alawiyin dari Hadhramaut (sekarang Yaman) pada abad ke-13 bertepatan dengan mulai berkembangnya pengaruh Islam hingga membentuk pemerintahan kerajaan.

Banyak di antara ulama dari Hadhramaut yang hijrah ke Nusantara bahkan menikahi penduduk setempat . Di antara ulama yang merupakan keturunan dari hasil pernikahan Hadhramaut-Nusantara ini misalnya Habib Ali Kwitang dan Habib Muhammad Idrus bin Salim al-Jufri. Keduanya sekaligus menjadi contoh Habib yang memiliki peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro

Fakta ini diungkap oleh Agus Widjajanto (praktisi hukum, pemerhati sosial budaya dan sejarah bangsa) melaluii tulisannya dalam website telusur (01/7/2024). Ia mengutip pendapat sejarawan Islam, K.H. Agus Sunyoto bahwa pergolakan di antara Wahabi dan Ahlussunnah di Tanah Hijaz memaksa kaum Sayyid dan Syarif mengembara ke berbagai penjuru bumi di antaranya ke Nusantara yang sekarang dikenal sebagai Indonesia.

Di antara tempat yang mereka datangi adalah Jawa, khususnya Yogyakarta pada tahun 1790. Sultan Hamengkubuwono II saat itu memberi mereka tanah untuk pemukiman sehingga terbentuklah Kampung Sayyidan. Dari sinilah terjadi pernikahan dengan masyarakat di luar kaum Sayyid dan Syarif ini. Saat pecah Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830), para Sayyid dan Syarif dari kampung ini secara sukarela bergabung dengan pasukan Diponegoro.

Peranan Habib dalam Perjuangan Kemerdekaan

Lalu bagaimana sikap yang terbaik jika memang terbukti bahwa sederet Habib atau Sayyid terputus nasabnya dengan Nabi Muhammad SAW?  Tentunya ini tidak menjadi alasan mengecilkan peran beberapa keturunan Nabi SAW dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentu bukanlah sikap bijak melakukan generalisasi asumsi bahwa mereka sama sekali tidak memiliki peranan. Itulah sebabnya kali ini penulis mengajak segenap pembaca untuk melakukan napak tilas terhadap beberapa di antara keturunan Nabi SAW yang punya peranan dalan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru saja diperingati hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-79.

Berdasarkan penelusuran kami ke berbagai sumber, di antara mereka yang memiliki peranan atau pernah berjasa dalam perjuangan sekitar kemerdekaan bangsa Indonesia adalah Habib Ali Kwitang Al-Habsyi, Habib Salim bin Jindan, Habib Muhammad Idrus bin Salim al-Jufri, Syarif Abdul Hamid Alqadri (Sultan Hamid II), dan Habib Husein Mutahar yang pernah kami tuliskan dalam artikel sebelumnya.

Pertama, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi  yang akrab dipanggil Habib Ali Kwitang ini adalah putra ulama asal Hadhramaut, Habib Muhammad Al-Habsyi buah pernikahannya dengan Nyai Salmah yang merupakan putri ulama Betawi. Disebutkan bahwa Bung Karno meminta nasihat ulama pendiri Partai Syarikat Islam ini tentang waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan. Selain itu ulama yang lahir di Kwitang tahun 1870 dan pernah belajar di Makkah dan Madinah ini juga berjasa besar dalam pengembangan Islam di Jakarta dan beberapa wilayah lain termasuk hingga Singapura dan Malaysia. Begitupun tak terhitung ulama dari Jakarta dan daerah lainnya yang pernah menjadi muridnya.

Kedua, Habib Salim bin Jindan dikenal sebagai ulama "Gudang Ilmu". Perpustakaan pribadinya disebut menyimpan koleksi 15.000 kitab dan selama hidupnya menulis tidak kurang 100 kitab termasuk bidang Sejarah. Beberapa kitabnya berisikan sejarah masuknya Islam di Nusantara serta sejarah dan biografi tokoh-tokoh Nusantara. Kitab-kitab ulama murid Mbah Kholil Bangkalan ini juga mengajarkan nasionalisme dan cinta tanah air. Maka tidaklah mengherankan saat bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan ulama kelahiran Surabaya tahun 1906 ini membakar semangat juang para pemuda melalui fatwa jihad dan pidato-pidatonya.

Ketiga, Habib Muhammad Idrus bin Salim al-Jufri adalah pendiri Al-Khairaat di Palu (1930) yang hingga kini telah berkembang menjadi 1.561 sekolah dan madrasah yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia terutama wilayah Indonesia bagian Timur seperti Sulawesi, Kalimantan, Maluku hingga Papua. Ulama berjuluk Guru Tua di Sulawesi Tengah yang juga pernah merasakan dikurung dalam penjara Jepang ini disebut juga sebagai pengusul warna bendera merah dan putih. Meski hingga saat ini ia belum dianugerahi pahlawan nasional tetapi pada tahun 2010 ia mendapatkan Tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana. Menariknya lagi karena dikatakan bahwa Habib Idrus merupakan putra Habib Salim al-Jufri (mufti dari Hadhramaut) dengan Syarifah Noer (putri Arung Matowa Wajo).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun