Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Barus: Melacak Jejak Tradisi Sejarah dan Moderasi Beragama hingga Titik Nol Peradaban Islam

13 Agustus 2024   06:52 Diperbarui: 13 Agustus 2024   06:55 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara yang terletak di Barus (Antara Foto)

Kamis, 8 Agustus 2024, Yayasan Matauli melalui Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Barus dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menggelar Seminar Nasional bertema "Barus: Refleksi Literasi Sejarah dan Moderasi Beragama di Indonesia". 

Secara luring kegiatan dipusatkan di auditorium Perpusnas RI Gedung Plaza Perpusnas Lantai 2 dengan menghadirkan keynote speaker Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdani, S,TP, MT (Sekretaris Jenderal Kementerian Agama) mewakili Menteri Agama.

Hadir selaku nara sumber beberapa pakar dan guru besar seperti Prof. Dr. M. Yunan Yusuf Tanjung, M.A (Ketua STAI Barus), Prof. Dr. H.M. Jamil, M.A (Guru Besar UIN Sumatra Utara), Dr. Herry Jogaswara (Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra BRIN) dan Dr. Adin Bondar, M.Si (Deputi Bidang Pengembangan Perpustakaan Perpusnas RI). Adapun Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A diwakili memaparkan materinya. 

Selain itu, masih ada Albert M. Simbolon,  OFMCap (Pastor Kepala Paroki ST. Fransiskus Assisi Pangaribuan) yang memaparkan materi secara daring via zoom meeting. Seminar yang dipandu oleh Dr. Zakaria Lubis dari Perpusnas RI ini juga dipublikasikan secara luas melalui chanel PAPPBB PERPUSNAS RI.

Kolaborasi beberapa lembaga dan pakar dalam satu kegiatan ini sejatinya bukan hanya melacak jejak tradisi sejarah tetapi juga moderasi beragama, sekaligus titik nol peradaban Islam di Indonesia. Penulis yang awalnya mengikuti kegiatan melalui zoom meeting kemudian berpindah ke chanel PAPPBB PERPUSNAS RI karena terkendala kualitas jaringan. Penulis lalu berhipotesa bahwa jika benar Barus adalah titik nol masuknya Islam atau titik nol peradaban Islam di Indonesia, maka awal pertumbuhan Islam di Indonesia memang bermula dari sebuah daerah yang kental dengan semangat moderasi beragama.

Hal ini pun terbukti hingga kini dengan harmonisasi beberapa penganut agama dan keyakinan berbeda di Barus dan Sumatra Utara secara umum. Hal ini bisa terjadi jika umat dari agama dan keyakinan berbeda itu memahamai bahwa moderasi beragama adalah sikap keberagamaan yang memang ditujukan untuk mencipatakan harmonisasi sebagaimana harapan Sekjend Kemenag, Prof. Muhammad Ali Ramdani. Moderasi beragama bukan bertujuan merubah esensi ajaran masing-masing agama yang memang sudah bersifat final tetapi mengarah pada perubahan sikap beragama yang lebih inklusif.

BRIN: Pembelajaran dari Penemuan Artefak

Usaha Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melacak jejak tradisi sejarah dan moderasi beragama di Barus dan secara umum di pesisir Barat Sumatra patut mendapat apresiasi. Berdasarkan pemaparan Dr. Herry Jogaswara dari BRIN maka sesungguhnya pertemuan agama-agama di Barus dan Sumatra bukan hanya antara Islam, Katolik, Protestan tetapi juga Hindu. Hal ini di antaranya dibuktikan dengan penemuan kepala arca Wisnu dan kepala arca Siwa.  

Lalu apa pembelajaran yang didapatkan dari penemuan artefak-artefak tersebut? Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra BRIN ini menguraikan beberapa hal: pertama, relasi pertukaran Barus dengan wilayah sekitar Sumatra-Jawa; regional (Vietnam-Thailand), China dan Global (Timur Tengah, Persia dan Jazirah Arab); kedua, pertukaran tidak hanya "benda" tetapi juga ideologi, nilai-nilai dan tradisi sehingga memperlihatkan bagaimana pembentukan peradaban terkandung di dalamnya relasi antar etnis dan iman, sehingga sikap moderasi beragama terbentuk dalam proses yang menyejarah; dan ketiga, relasi pertukaran juga memperlihatkan posisi Barus dan pantai Barat Sumatra yang bukan sekadar "terdampak proses globalisasi" tetapi "mempengaruhi proses global" dengan ditemukannya berbagai sebutan untuk (kapur) Barus di berbagai tempat.

Lalu apakah fakta di atas menunjukkan bahwa BRIN telah puas melacak jejak sejarah di Barus, Herry Jogaswara memaparkan lebih lanjut agenda-agenda riset mereka di beberapa titik eskavasi hingga ke Pantai Barat Sumatra. Menurutnya ini untuk memperkuat penetapan Barus sebagai Titik Nol KM Islam di Nusantara. Hal ini dapat dilakukan melalui platform riset kolaboratif jangka panjang (5-7 tahun), sistematis dan multidisiplin untuk memperkuat narasi-narasi relasi Barus dengan wilayah sekitarnya bahkan cara pandang "Nusantara sebagai sumber yang mempengaruhi globalisasi" dan bukan yang sekadar "terdampak globalisasi".

Kapur Barus telah Dipakai Sejak Masa Nabi Yusuf, Firaun hingga Nabi Muhammad SAW

Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Dr. M. Yunan Yusuf Tanjung bahwa Siti Zulaikha menjadikan kapur barus sebagai salah satu mahar yang dipakai untuk meminang Nabi Yusuf alaihissalam. Selanjutnya pada masa Firaun, kapur barus dimanfaatkan untuk mengawetkan mayat, dan pada masa Nabi Muhammad Sallallaahu alaihi wasallam, kapur barus juga dipergunakan saat memandikan jenazah putri Nabi SAW yakni Siti Zainab. Menurut Prof. Yunan, hal ini juga menjadi bukti adanya hubungan antara Barus dengan Arab Saudi.

Lalu apakah kapur barus yang dipergunakan pada masa Nabi Yusuf, Firaun dan Nabi Muhammad SAW itu adalah benar-benar berasal dari Barus? Prof. Yunan menjelaskan bahwa dari beberapa sumber, kapur barus hanya bisa tumbuh di Barus, tidak bisa tumbuh di tempat lain.

Barus dalam Perdagangan Internasional

Melengkapi usaha melacak jejak tradisi sejarah dan semangat moderasi beragama di Barus ataupun Sumatra Utara secara umum, menarik pula menyimak pemaparan Pastor Albert M. Simbolon, OFMCap (Pastor Kepala Paroki St. Fransiskus Assisi Pangaribuan-Keuskupan Sibolga). Meski berlatar belakang seorang agamawan, tetapi pemaparan Pastor Albort sangat bersifat historis. Pastor Albert yang memaparkan materi secara daring mengawali bahasannya bahwa di balik pemandangan biasa yang tersaji di Barus tersembunyi fakta bahwa dalam sejarah perdagangan internasional, Barus termasuk salah satu kota tujuan perdagangan kuno di dunia, bahkan kota ini telah dikenal di Asia setidaknya sejak abad ke-6 M.

Pastor Albert juga memaparkan bagaimana nama Barus terkenal ke dunia internasional. Menurutnya, bangsa asing terkadang menyebut Barus dengan nama "Pancur" atau "Fansur" dalam bahasa Arab. Adapun di dalam kitab Negarakertagama tertulis jelas nama "Barus" begitupun dalam catatan Dinasti Tang pada abad ke-6. Lalu setelah abad ke-6, nama Barus semakin sering disebut dalam berbagai catatan sejarah, terutama terkait dengan perdagangan di Nusantara.

Lalu mengapa Barus menjadi kota tujuan perdagangan kala itu? Di antara alasannya karena kualitas bahan perdagangan seperti kamper (kapur), lada, gaharu, dan kokain yang berasal dari daerah Barus. Kamper dan kokain dari Barus misalnya sudah digunakan sebagai bahan obat-obatan di Tiongkok dan India terutama di Goa sejak abad ke-3.

Bagaimana Kekristenan Tiba di Barus?

Menyusul tinjauan historis tentang Barus dan komoditinya, Pastor Albert lalu memaparkan bagaimana kekristenan tiba di Barus. Ia mengawali dengan menjelaskan bahwa kekristenan yang sejak awal Masehi telah ada di Persia dan India memasuki Barus melalui jalinan perdagangan terutama dari India ke Barus sejak abad ke-3 M. Perdagangan yang ramai dan semakin bertambahnya penganut Kristen disusul oleh pendirian Gereja "Bunda Maria Perawan Murni" di daerah Pansur (Barus) saat itu. Meski demikian, bukti awal masuknya Kristen ini belum membuahkan bukti historis.

Kekristenan di Pansur kemudian merosot sejak abad ke-9 karena disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: pertama, sistem hirarki tidak berjalan dengan baik karena kekristenan didirikan oleh para saudagar yang kurang memperhatikan sistem hirarki gereja; kedua, Islam sudah masuk ke Barus dan kekristenan yang tidak berakar kuat semakin terdesak; ketiga, pedagang Islam Arab semakin mendominasi perdagangan di Barus apalagi dengan hadirnya Kerajaan Samudra Pasai di Aceh pada abad ke-13 dan Kerajaan Sriwijaya yang semakin melemah; dan keempat, sejak abad ke-13 pusat perdagangan berpindah ke Pulau Jawa.

Meski demikian, dalam sejarah kekristenan di Barus ada era baru yang sangat menentukan keberadaan Kristen di Barus hingga hari ini. Dimulai dari kedatangan misionaris Kristen Protestan yang datang secara terorganisir ke Barus sejak abad ke-18, di antaranya misionaris Baptis Protestan dari Inggris (1820). Selain misionaris Baptis, diutus pula peneliti dan penerjemah Kitab Suci ke dalam bahasa Toba bernama Herman N. van der Tuuk yang bermukim di Sihorbo (1850). Berselang empatbelas tahun kemudian, seorang misionaris asal Jerman bernama I.L. Nommensen datang ke Barus. Ia mendirikan gereja HKBP dan sebagaimana van der Tuuk, ia juga bermukim di Sihorbo sebelum berpindah ke Silindung Tarutung.

Adapun misionaris Katolik Roma baru datang ke Barus secara terorganisir pada tahun 1853 dengan pusat misi di Padang, Sumatra Barat. Meski demikian, Gereja Katolik pertama baru didirikan di Barus pada tahun 1939. Pastor Albert lalu menjelaskan bahwa saat ini umat Katolik di wilayah Barus yang berpusat di Paroki St. Fransiskus Assisi Pangaribuan berjumlah 12.500 jiwa yang tersebar di 31 Gereja Katolik.

Momen Historis Merajut Kebersamaan

Pastor Albert menjelang akhir pemaparannya menyinggung satu momen historis usaha dua tokoh besar penganut agama berbeda yakni Kristen dan Islam untuk menghargai perbedaan dan merajut kebersamaan. Momen bersejarah dimaksud adalah pertemuan dan dialog antara St. Fransiskus Assisi (tokoh Katolik) dengan Sultan Malik al-Kamil (Sultan Mesir) yang terjadi di Damietta, Mesir (1219). Memperingati 800 tahun pertemuan kedua tokoh berbeda agama itu, digelar seminar setengah hari di aula Paroki St. Fransiskus pada tahun 2019 dengan mengundang Ketua MUI kec. Barus dan Ketua MUI Kec. Andam Dewi. Hasilnya disepakati bahwa akan dilakukan kegiatan bersama antar pemuda Islam dan Katolik; dan saling mengunjungi di hari besar keagamaan. Kegiatan yang disepakati hanya terjadi satu kali yakni silaturrahmi umat Katolik kepada Ketua MUI pada saat Idul Fitri tahun 2020.

Sebuah Kesimpulan dan Harapan

Setelah menyimak beberapa pemaparan nara sumber di tengah keterbatasan penulis sebagai audience setidaknya tersimpul tiga hal: pertama, masih perlunya melakukan riset lebih lanjut untuk memperkuat penetapan Barus sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara; kedua, fakta bahwa Barus bukan hanya simpul perdagangan internasional dengan komoditi kapur barus tetapi juga rempah Nusantara sehingga Barus juga harus dimasukkan dalam penguatan Jalur Rempah Nusantara; dan ketiga, selain sejarah perdagangan, Barus juga mengabadikan jejak relasi damai antar etnis dan iman serta nilai dan ideologi beberapa agama dan kepercayaan yang dapat menjadi model moderasi beragama di Indonesia. 

Adapun harapan yang dapat disampaikan di akhir paparan ini, sebagaimana harapan Pastor Albert untuk mengembalikan keharuman kota Barus seperti keharuman kapur dan rempah-rempahnya di masa lampau. Keharuman yang hanya dapat dikembalikan jika umat beda agama dan keyakinan di kota Barus saling memahami dan menghargai perbedaan dengan menghilangkan egoisme.

Akhirnya, izinkan penulis mengutip pepatah Aceh yang kami kutip dari makalah Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A (Guru Besar Antropologi):

Jika meninggal seorang anak (mathe aneuk);

sekalipun dengan deraian air mata,

kita masih dapat mengenangnya lewat ziarah ke makamnya (meuphat jeurat);

Sayangnya, tatkala sirna sebuah adat (gadoh adat),

entah ke mana harus dicari (ho tha mitha):

 

Izinkan pula penulis kutip tarian pena antropolog:

Kukuhnya suatu kebudayaan dan peradaban,

pertanda teguhnya pedoman hidup:

perubahan kebudayaan dan peradaban pertanda isyarat kemajuan;

tetapi memaksakan perubahan,

bermakna mencabik-cabik kebudayaan dan peradaban,

serta-merta mengacaukan acuan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun