Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Barus: Melacak Jejak Tradisi Sejarah dan Moderasi Beragama hingga Titik Nol Peradaban Islam

13 Agustus 2024   06:52 Diperbarui: 13 Agustus 2024   06:55 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara yang terletak di Barus (Antara Foto)

Adapun misionaris Katolik Roma baru datang ke Barus secara terorganisir pada tahun 1853 dengan pusat misi di Padang, Sumatra Barat. Meski demikian, Gereja Katolik pertama baru didirikan di Barus pada tahun 1939. Pastor Albert lalu menjelaskan bahwa saat ini umat Katolik di wilayah Barus yang berpusat di Paroki St. Fransiskus Assisi Pangaribuan berjumlah 12.500 jiwa yang tersebar di 31 Gereja Katolik.

Momen Historis Merajut Kebersamaan

Pastor Albert menjelang akhir pemaparannya menyinggung satu momen historis usaha dua tokoh besar penganut agama berbeda yakni Kristen dan Islam untuk menghargai perbedaan dan merajut kebersamaan. Momen bersejarah dimaksud adalah pertemuan dan dialog antara St. Fransiskus Assisi (tokoh Katolik) dengan Sultan Malik al-Kamil (Sultan Mesir) yang terjadi di Damietta, Mesir (1219). Memperingati 800 tahun pertemuan kedua tokoh berbeda agama itu, digelar seminar setengah hari di aula Paroki St. Fransiskus pada tahun 2019 dengan mengundang Ketua MUI kec. Barus dan Ketua MUI Kec. Andam Dewi. Hasilnya disepakati bahwa akan dilakukan kegiatan bersama antar pemuda Islam dan Katolik; dan saling mengunjungi di hari besar keagamaan. Kegiatan yang disepakati hanya terjadi satu kali yakni silaturrahmi umat Katolik kepada Ketua MUI pada saat Idul Fitri tahun 2020.

Sebuah Kesimpulan dan Harapan

Setelah menyimak beberapa pemaparan nara sumber di tengah keterbatasan penulis sebagai audience setidaknya tersimpul tiga hal: pertama, masih perlunya melakukan riset lebih lanjut untuk memperkuat penetapan Barus sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara; kedua, fakta bahwa Barus bukan hanya simpul perdagangan internasional dengan komoditi kapur barus tetapi juga rempah Nusantara sehingga Barus juga harus dimasukkan dalam penguatan Jalur Rempah Nusantara; dan ketiga, selain sejarah perdagangan, Barus juga mengabadikan jejak relasi damai antar etnis dan iman serta nilai dan ideologi beberapa agama dan kepercayaan yang dapat menjadi model moderasi beragama di Indonesia. 

Adapun harapan yang dapat disampaikan di akhir paparan ini, sebagaimana harapan Pastor Albert untuk mengembalikan keharuman kota Barus seperti keharuman kapur dan rempah-rempahnya di masa lampau. Keharuman yang hanya dapat dikembalikan jika umat beda agama dan keyakinan di kota Barus saling memahami dan menghargai perbedaan dengan menghilangkan egoisme.

Akhirnya, izinkan penulis mengutip pepatah Aceh yang kami kutip dari makalah Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A (Guru Besar Antropologi):

Jika meninggal seorang anak (mathe aneuk);

sekalipun dengan deraian air mata,

kita masih dapat mengenangnya lewat ziarah ke makamnya (meuphat jeurat);

Sayangnya, tatkala sirna sebuah adat (gadoh adat),

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun