Kapur Barus telah Dipakai Sejak Masa Nabi Yusuf, Firaun hingga Nabi Muhammad SAW
Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Dr. M. Yunan Yusuf Tanjung bahwa Siti Zulaikha menjadikan kapur barus sebagai salah satu mahar yang dipakai untuk meminang Nabi Yusuf alaihissalam. Selanjutnya pada masa Firaun, kapur barus dimanfaatkan untuk mengawetkan mayat, dan pada masa Nabi Muhammad Sallallaahu alaihi wasallam, kapur barus juga dipergunakan saat memandikan jenazah putri Nabi SAW yakni Siti Zainab. Menurut Prof. Yunan, hal ini juga menjadi bukti adanya hubungan antara Barus dengan Arab Saudi.
Lalu apakah kapur barus yang dipergunakan pada masa Nabi Yusuf, Firaun dan Nabi Muhammad SAW itu adalah benar-benar berasal dari Barus? Prof. Yunan menjelaskan bahwa dari beberapa sumber, kapur barus hanya bisa tumbuh di Barus, tidak bisa tumbuh di tempat lain.
Barus dalam Perdagangan Internasional
Melengkapi usaha melacak jejak tradisi sejarah dan semangat moderasi beragama di Barus ataupun Sumatra Utara secara umum, menarik pula menyimak pemaparan Pastor Albert M. Simbolon, OFMCap (Pastor Kepala Paroki St. Fransiskus Assisi Pangaribuan-Keuskupan Sibolga). Meski berlatar belakang seorang agamawan, tetapi pemaparan Pastor Albort sangat bersifat historis. Pastor Albert yang memaparkan materi secara daring mengawali bahasannya bahwa di balik pemandangan biasa yang tersaji di Barus tersembunyi fakta bahwa dalam sejarah perdagangan internasional, Barus termasuk salah satu kota tujuan perdagangan kuno di dunia, bahkan kota ini telah dikenal di Asia setidaknya sejak abad ke-6 M.
Pastor Albert juga memaparkan bagaimana nama Barus terkenal ke dunia internasional. Menurutnya, bangsa asing terkadang menyebut Barus dengan nama "Pancur" atau "Fansur" dalam bahasa Arab. Adapun di dalam kitab Negarakertagama tertulis jelas nama "Barus" begitupun dalam catatan Dinasti Tang pada abad ke-6. Lalu setelah abad ke-6, nama Barus semakin sering disebut dalam berbagai catatan sejarah, terutama terkait dengan perdagangan di Nusantara.
Lalu mengapa Barus menjadi kota tujuan perdagangan kala itu? Di antara alasannya karena kualitas bahan perdagangan seperti kamper (kapur), lada, gaharu, dan kokain yang berasal dari daerah Barus. Kamper dan kokain dari Barus misalnya sudah digunakan sebagai bahan obat-obatan di Tiongkok dan India terutama di Goa sejak abad ke-3.
Bagaimana Kekristenan Tiba di Barus?
Menyusul tinjauan historis tentang Barus dan komoditinya, Pastor Albert lalu memaparkan bagaimana kekristenan tiba di Barus. Ia mengawali dengan menjelaskan bahwa kekristenan yang sejak awal Masehi telah ada di Persia dan India memasuki Barus melalui jalinan perdagangan terutama dari India ke Barus sejak abad ke-3 M. Perdagangan yang ramai dan semakin bertambahnya penganut Kristen disusul oleh pendirian Gereja "Bunda Maria Perawan Murni" di daerah Pansur (Barus) saat itu. Meski demikian, bukti awal masuknya Kristen ini belum membuahkan bukti historis.
Kekristenan di Pansur kemudian merosot sejak abad ke-9 karena disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: pertama, sistem hirarki tidak berjalan dengan baik karena kekristenan didirikan oleh para saudagar yang kurang memperhatikan sistem hirarki gereja; kedua, Islam sudah masuk ke Barus dan kekristenan yang tidak berakar kuat semakin terdesak; ketiga, pedagang Islam Arab semakin mendominasi perdagangan di Barus apalagi dengan hadirnya Kerajaan Samudra Pasai di Aceh pada abad ke-13 dan Kerajaan Sriwijaya yang semakin melemah; dan keempat, sejak abad ke-13 pusat perdagangan berpindah ke Pulau Jawa.
Meski demikian, dalam sejarah kekristenan di Barus ada era baru yang sangat menentukan keberadaan Kristen di Barus hingga hari ini. Dimulai dari kedatangan misionaris Kristen Protestan yang datang secara terorganisir ke Barus sejak abad ke-18, di antaranya misionaris Baptis Protestan dari Inggris (1820). Selain misionaris Baptis, diutus pula peneliti dan penerjemah Kitab Suci ke dalam bahasa Toba bernama Herman N. van der Tuuk yang bermukim di Sihorbo (1850). Berselang empatbelas tahun kemudian, seorang misionaris asal Jerman bernama I.L. Nommensen datang ke Barus. Ia mendirikan gereja HKBP dan sebagaimana van der Tuuk, ia juga bermukim di Sihorbo sebelum berpindah ke Silindung Tarutung.