Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Augustin, Jolande dan Cecile: Kisah Cinta dan Persahabatan Beda Suku dalam Genosida Rwanda

25 Juni 2024   05:47 Diperbarui: 25 Juni 2024   05:56 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot film Rwanda 2018

Rwanda adalah sebuah negara kecil di benua Afrika bagian Tengah yang berbatasan dengan Uganda, Tanzania, Burundi dan Republik Demokratik Kongo. Meski hanya dibentuk oleh tiga kelompok suku besar, yakni Hutu, Tutsi dan Twa, tetapi negara ini beberapa kali mengalami konflik antar suku. Konflik paling besar dan terkenal dalam sejarah terjadi pada tahun 1994.

Konflik paling berdarah yang melibatkan suku mayoritas Hutu dengan minoritas Tutsi dan Hutu moderat ini memakan korban sedikitnya 800 ribu jiwa dalam waktu hanya lebih dari tiga bulan. Konflik ini juga tercatat dalam sejarah sebagai pembersihan suku tertentu (genosida) paling kelam di dunia yang disertai tindakan pemerkosaan massal selama kurun waktu pembantaian. Korban aksi pemerkosaan diperkirakan mencapai 250 ribu wanita suku Tutsi dan sekitar 20 ribu anak terlahir akibat pemerkosaan ini.

Sebelum Konflik berdarah suku Hutu dan Tutsi di Rwanda, konflik bersenjata telah terjadi antara 1990 hingga 1993. Tetapi konflik antara kubu Presiden Juvenal Habyarimana dengan pemberontak Front Patriotik Rwanda ini berhasil diakhiri melalui penandatanganan Perjanjian Arusha pada 1 Oktober 1993. Ketentuan pokok dalam perjanjian ini adalah membagi kekuasaan dalam pemerintahan.

Tidak sampai setahun rakyat di negara yang merdeka dari Belgia (1962) ini mengecap perdamaian, terjadi penembakan pesawat Presiden Juvenal Habyarmana pada 6 April 1994. Radio setempat lalu menyiarkan berita bahwa pelaku penembakan terhadap presiden yang beretnis Hutu ini adalah sekelompok pemberontak dari minoritas suku Tutsi. Inilah awal tragedi pembersihan etnis (genosida) terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat oleh milisi suku Hutu. Wikipedia mengutip data dari Culture and customs of Rwanda (Julius Adekunie, 2007) menuliskan perbandingan tiga etnis di Rwanda: Hutu (85%, Tutsi (14%), Twa (1%) dan suku lainnya (1%). Adapun agama mayoritas yang mereka anut adalah Kristen bahkan populasinya mencapai lebih dari 90% penduduk Rwanda.

Genosida di negara yang penduduknya relatif muda dan masih didominasi pedesaan ini telah diangkat ke layar lebar dalam beberapa film, di antaranya Rwanda (2018). Film arahan sutradara kelahiran 1986, Riccardo Salvetti ini dapat dikategorikan sebagai karya based on true story atau berdasarkan kisah nyata. Meski masih berusia 32 tahun, sang sutradara berhasil menyuguhkan kisah haru tragedi cinta pasangan Augustine (Hutu) dan Jolande (Tutsi). Disusul oleh persahabatan Agustine (Hutu) dengan Sesil (Tutsi) yang berhasil menyelamatkan ratusan warga dari suku Tutsi.

Penyamaran yang Gagal dan Pelarian Cecile Bersama Putri Kecilnya

Cecile dan suaminya, Paul yang juga bersuku Tutsi mengambil keputusan harus segera meninggalkan kota domisili mereka sebelum milisi Hutu menemukan mereka. Meski demikian, Cecile sempat ragu jika mereka dapat meloloskan diri karena milisi Hutu melakukan barikade jalan di berbagai tempat, tetapi Paul meyakinkan istrinya bahwa mereka dapat selamat keluar negeri. Berbekal seadanya pasangan suami-istri beserta putri mereka, Sophie yang baru berusia empat tahun memilih malam hari untuk melakukan perjalanan. Sebelumnya Paul telah menyamarkan identitas di paspor mereka sebagai warga yang beretnis Hutu. Sebelum berangkat, Cecile menyuntikkan insulin ke putrinya yang sedang mengidap Diabetes.

Kekhawatiran Cecile muncul kembali saat di perjalanan ia melihat beberapa mobil di depan mereka diberhentikan oleh milisi Hutu yang membarikade jalan. Mereka juga terlihat menganiaya orang-orang yang mereka temukan bersuku Tutsi. Cecile lalu meminta suaminya untuk putar balik ke kota, tetapi Paul meyakinkan istrinya bahwa mereka akan baik-baik saja.

Beberapa anggota milisi lalu mendekati mobil dan meminta mereka keluar. Paul meminta istrinya tetap dalam mobil, biarlah ia yang menemui dan berbicara dengan mereka. Tak lupa ia menenangkan putrinya yang juga mengkhawatirkan keselamatan ayahnya. Paul lalu berjalan tenang menuju pimpinan milisi Hutu yang bernama Emile. Paul lalu memperlihatkan paspor dengan identitas yang telah dipalsukan.

Awalnya semua berjalan sesuai rencana Paul saat Emile meminta mereka melanjutkan perjalanan. Paul sama sekali tidak menduga jika ini hanya tipuan Emile yang telah mengetahui bahwa Paul berasal dari suku Tutsi. Emile tidak dapat dikelabui sebab suku Tutsi berbeda secara fisik dengan Hutu. Suku Tutsi berperawakan tinggi besar dan hidung lebih mancung, sedangkan suku Hutu berpostur lebih pendek dengan hidung lebih besar.

Cecile semakin khawatir saat dari dalam mobil ia menyaksikan suaminya mulai dipukuli lalu dibacok menggunakan parang. Paul yang mulai meregang nyawa hanya sanggup memandangi istri dan putrinya, sedangkan dari dalam mobil Cecile menutup mata putrinya dan memeluknya. Cecile sempat terdiam beberapa saat lalu segera mengambil keputusan menghidupkan mesin mobil dan putar balik saat melihat para milisi mulai menatap ke arahnya. Pelariannya tidak mudah, sebab milisi Hutu kemudian mengejar mereka juga dengan mengendarai mobil.

Menyadari sulit menyelamatkan diri dengan berkendara, Cecile memutuskan meneruskan pelariannya dengan berjalan kaki. Ia menghentikan kendaraan saat berhasil menjauh dari kejaran. Cecile lalu berjalan masuk hutan sambil menggendong putrinya yang mulai melemah. Ia baru teringat jika belum sempat menyuntikkan insulin ke putrinya. Meski kondisi putrinya melemah, ia harus terus berjalan sebab jika tidak gerombolan Hutu akan menangkapnya.

Di dalam pelariannya, Cecile sempat diselamatkan oleh sekelompok orang Tutsi yang juga bersembunyi. Tetapi persembunyian mereka berhasil ditemukan dan Cecile harus menyaksikan puluhan orang Tutsi dibantai. Bersama beberapa yang lain, Cecile kembali berhasil meloloskan diri, dan melanjutkan pelarian menembus hutan dan menyusuri rawa. Sembari menggendong putrinya yang semakin lemah karena belum disuntik insulin, ia berhasil sampai di rumah yang dihuni oleh Jolande dan Augustin. Pasangan ini juga memiliki putri kecil bernama Monique, seumuran dengan putri Cecile.

Keraguan Jolande dan Dilema Augustin

Jolande dan Agustine merupakan pasangan beda suku, Jolande bersuku Tutsi sedangkan Augustin bersuku Hutu. Saat ekstrimis Hutu mulai melakukan penjarahan dan penganiayaan bahkan pemerkosaan terhadap suku Tutsi, Jolande sudah mengungkapkan kekhawatirannya. Augustine meyakinkan istrinya, bahwa mereka akan baik-baik saja karena dirinya dari suku Hutu, apalagi Emile, salah satu pimpinan suku Hutu adalah saudara sepupunya. Emile inilah yang mencegat Cecile dan suaminya dalam usaha pelarian mereka. Meski Augustine berusaha meyakinkan istrinya, kenyataan bahwa Emile adalah pimpinan milisi Hutu justru membuat Jolande tetap khawatir. Augustin tetap berusaha menguatkan istrinya sambil menjelaskan bahwa Emile telah berjanji kepadanya, apalagi mereka tumbuh bersama sejak kecil.

Meski Augustin berusaha keras meyakinkan istrinya, Jolande tetap ragu. Apalagi ia menyaksikan suaminya bersama gerombolan sepupunya telah ikut melakukan aksi pembantaian terhadap suku Tutsi. Augustin kembali meyakinkan bahwa tindakannya itu semata-mata untuk kepentingan keselamatan istri dan putrinya, sebab jika ia tidak ikut melakukan pembantaian maka ia akan dicurigai bersekongkol atau melindungi suku Tutsi. Hal ini dibuktikan saat ikut aksi, Augustin tidak pernah melukai apalagi melecehkan dan membunuh suku Tutsi.

Jolande dan Augustin Melindungi Cecile dan Putrinya

Jolande bertemu dengan Cecile secara tiba-tiba. Saat itu, Cecile yang menggendong putrinya yang semakin melemah menyelinap masuk ke rumahnya untuk mengambil air minum. Jolande lalu menenangkan Cecile yang terlihat panik karena mengira Jolande berasal dari suku Hutu. Jolande kemudian menenangkan Cecile dengan berkata bahwa dirinya berasal dari suku Tutsi, karena itu ia akan melindungi Cecile bersama putrinya. Jolande lalu menyembunyikan Cecile dan putrinya di loteng rumah sambil membekali mereka dengan makanan secukupnya dan selimut untuk menghangatkan badan. Tidak lupa Jolande membuat ramuan obat-obatan untuk putri Cecile yang menderita diabetes. Jolande juga memberikan buku gambar kepada putri Cecile, dan ia bisa menggambar bersama dengan putri Jolande.

Malam harinya, Augustin tiba di rumahnya dalam keadaan mabuk. Ia depresi karena sepanjang hari bersama Emile melakukan pembantaian, padahal aksi ini bertentangan dengan hati nuraninya. Melihat Augustin dalam keadaan demikian, Cecile menyangka bahwa suami Jolande ini akan membahayakan dirinya. Apalagi Augustin nyaris menemukannya bersembunyi di loteng.

Keberhasilan Jolande merahasiakan keberadaan Cecile dan putrinya hanya bertahan semalam. Malam berikutnya, Augustin berhasil mengetahuinya. Hal ini berawal dari kecurigaan Augustin melihat gambar Monique. Putrinya ini menggambar sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang putri kecil dalam gambar berbentuk segiempat. Augustin menafsirkan ini sebagai keluarga mereka. Tetapi di bagian atas ada gambar segitiga yang di dalamnya ada gambar lain yang memperlihatkan seorang ibu bersama putri kecilnya. Gambar ini membuat Augustin curiga. Gambar segiempat yang di atasnya ada gambar segitiga diartikan oleh Augustin sebagai rumah mereka, tetapi gambar ibu dan putri kecilnya membuat Augustin curiga.

Awalnya Jolande panik melihat suaminya sudah memperlihatkan gelagat mengetahui keberadaan Cecile dan putrinya. Di luar dugaan, ternyata Augustin membolehkan Jolande membantu Cecile dan putrinya, ia bahkan membuat keputusan berani untuk melindungi mereka. Jolande lega dan gembira karena hal ini membuat dirinya yakin bahwa suaminya benar-benar melindungi sukunya. Pasangan ini lalu berpelukan, saling menguatkan karena mereka menyadari betapa besar resiko akibat keputusan berani yang mereka ambil.

Augustin Kehilangan Jolande

Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu ketika akan jatuh juga. Inilah peribahasa yang bisa menggambarkan aksi Augustin. Seringnya ia menghindar dari aksi pembantaian, membuat Emile dan milisi bersenjatanya mulai mencurigai komitmen kesukuan Augustin, bahkan mereka mulai mencurigainya sebagai pengkhianat. Emile semakin yakin saat melihat sepupunya ini membiarkan seorang wanita bersuku Tutsi meloloskan diri dari kepungan mereka. Padahal ketika itu, Augustin sedang berhadapan dengan calon korbannya sambil memegang parang.

Tindakan Augustin membuat Emile dan komplotannya marah. Mereka lantas memukuli sepupu pimpinan mereka ini, lalu diseretnya Augustin menuju rumahnya. Emile juga berteriak keras bahwa dirinya akan membunuh Jolande.

Setibanya di rumah Augustin, Emile dan anak buahnya berteriak meminta Jolande keluar dari rumah. Cecile yang masih bersembunyi bersama putrinya di loteng, meminta Jolande menyembunyikan Monique bersama mereka. Sayangnya, belum sempat Monique diangkat ke loteng, gerombolan Emile semakin mendekati pintu rumah. Demi menjaga keselamatan Cecile dan putrinya, Jolande mengurungkan niatnya menyembunyikan Monique bersama mereka. Ia memutuskan keluar dari rumah sambil mendekap erat putrinya.

Menyaksikan istri dan putrinya berjalan keluar rumah, Augustin yang tak berdaya karena terikat dan ditodong senjata hanya bisa menyuruh mereka segera melarikan diri. Di luar dugaan, Jolande sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Masih dengan tatapan tajam, tanpa sedikit pun rasa gentar, Augustin berjalan mendekati Emile. Saat Emile memintanya memberitahukan persembunyian orang Tutsi, secara tiba-tiba Jolande menikam perut sepupu suaminya dengan pisau dapur. Hal ini semakin meyakinkan Emile, bahwa Jolande menyembunyikan orang Tutsi di rumahnya. Emile semakin murka dan melepaskan tembakan ke arah perut Jolande. Augustin hanya mampu berteriak histeris melihat istrinya memegang perutnya yang terluka lalu ambruk ke tanah.

Meski demikian, Augustin masih mampu berpikir jernih dan segera meminta Monique, putrinya untuk segera berlari menyelamatkan diri sebelum Emile juga membunuhnya. Monique pun segera bangkit dan berlari kembali masuk ke dalam rumahnya. Sementara Emile yang masih diliputi amarah kembali memukuli Augustin sambil menyakan keberadaan orang Tutsi. Pukulan Emile di kening Augustin dengan menggunakan gagang pistol membuat Augustin kembali tersungkur. Emile lantas memerintahkan anak buahnya masuk ke dalam rumah Augustin untuk menangkap Monique dan mengeksekusinya.

Monique yang berlari masuk ke rumah dalam keadaan menangis ketakutan membuat Cecile iba. Ia lantas segera mengangkat putri sahabatnya ini ke atas loteng. Tidak lupa ia membuka jendela belakang untuk memberi kesan mereka telah meloloskan diri. Siasat mereka manjur karena anak buah Emile menduga Monique telah berhasil menyelamatkan diri. Anak buah Emile berjalan keluar rumah bermaksud melaporkannya kepada pimpinan mereka, tetapi mereka justru disuguhkan pemandangan tragis juga. Pimpinan mereka itu terlihat memegangi perutnya dengan tangan kirinya sebelum ambruk ke tanah. Menyaksikan pimpinan mereka tewas, anak buah Emile segera beranjak meninggalkan rumah Augustin.

Persahabatan Cecile dan Augustin Menyelamatkan Suku Tutsi

Beberapa saat berselang setelah anak buah Emile meninggalkan rumah, Cecile memutuskan turun dari loteng bersama putrinya dan Monique. Mereka berjalan keluar rumah menghampiri Augustin yang belum sadarkan diri. Akhir kisah, persahabatan Cecile dari suku Tutsi dan Augustin yang bersuku Hutu berhasil menyelamatkan banyak orang Tutsi meski harus berdesakan di atas loteng rumah.

Genosida suku Tutsi oleh ekstremis Hutu baru berakhir setelah lebih dari tiga bulan pembantaian berdarah. Gerilyawan Tutsi yang tergabung dalam Front Patriotik Rwanda berhasil mendesak milisi Hutu Interahamwe. ke perbatasan Tanzania pada tahun yang sama dengan awal terjadinya genosida.

Kisah cinta Augustin dan Jolande yang berbeda suku dan persahabatan Augustin dan Cecile yang juga berasal dari suku yang berbeda seharusnya menjadi inspirasi untuk kita semua bahwa persahabatan tidak perlu memandang suku. Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia yang beberapa kali juga merasakan kelamnya konflik bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan). Mari hilangkan perasaan dan pikiran suku kita yang terbaik sementara suku lain lebih rendah. Damai Indonesiaku, damai negeriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun