Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Augustin, Jolande dan Cecile: Kisah Cinta dan Persahabatan Beda Suku dalam Genosida Rwanda

25 Juni 2024   05:47 Diperbarui: 25 Juni 2024   05:56 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rwanda adalah sebuah negara kecil di benua Afrika bagian Tengah yang berbatasan dengan Uganda, Tanzania, Burundi dan Republik Demokratik Kongo. Meski hanya dibentuk oleh tiga kelompok suku besar, yakni Hutu, Tutsi dan Twa, tetapi negara ini beberapa kali mengalami konflik antar suku. Konflik paling besar dan terkenal dalam sejarah terjadi pada tahun 1994.

Konflik paling berdarah yang melibatkan suku mayoritas Hutu dengan minoritas Tutsi dan Hutu moderat ini memakan korban sedikitnya 800 ribu jiwa dalam waktu hanya lebih dari tiga bulan. Konflik ini juga tercatat dalam sejarah sebagai pembersihan suku tertentu (genosida) paling kelam di dunia yang disertai tindakan pemerkosaan massal selama kurun waktu pembantaian. Korban aksi pemerkosaan diperkirakan mencapai 250 ribu wanita suku Tutsi dan sekitar 20 ribu anak terlahir akibat pemerkosaan ini.

Sebelum Konflik berdarah suku Hutu dan Tutsi di Rwanda, konflik bersenjata telah terjadi antara 1990 hingga 1993. Tetapi konflik antara kubu Presiden Juvenal Habyarimana dengan pemberontak Front Patriotik Rwanda ini berhasil diakhiri melalui penandatanganan Perjanjian Arusha pada 1 Oktober 1993. Ketentuan pokok dalam perjanjian ini adalah membagi kekuasaan dalam pemerintahan.

Tidak sampai setahun rakyat di negara yang merdeka dari Belgia (1962) ini mengecap perdamaian, terjadi penembakan pesawat Presiden Juvenal Habyarmana pada 6 April 1994. Radio setempat lalu menyiarkan berita bahwa pelaku penembakan terhadap presiden yang beretnis Hutu ini adalah sekelompok pemberontak dari minoritas suku Tutsi. Inilah awal tragedi pembersihan etnis (genosida) terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat oleh milisi suku Hutu. Wikipedia mengutip data dari Culture and customs of Rwanda (Julius Adekunie, 2007) menuliskan perbandingan tiga etnis di Rwanda: Hutu (85%, Tutsi (14%), Twa (1%) dan suku lainnya (1%). Adapun agama mayoritas yang mereka anut adalah Kristen bahkan populasinya mencapai lebih dari 90% penduduk Rwanda.

Genosida di negara yang penduduknya relatif muda dan masih didominasi pedesaan ini telah diangkat ke layar lebar dalam beberapa film, di antaranya Rwanda (2018). Film arahan sutradara kelahiran 1986, Riccardo Salvetti ini dapat dikategorikan sebagai karya based on true story atau berdasarkan kisah nyata. Meski masih berusia 32 tahun, sang sutradara berhasil menyuguhkan kisah haru tragedi cinta pasangan Augustine (Hutu) dan Jolande (Tutsi). Disusul oleh persahabatan Agustine (Hutu) dengan Sesil (Tutsi) yang berhasil menyelamatkan ratusan warga dari suku Tutsi.

Penyamaran yang Gagal dan Pelarian Cecile Bersama Putri Kecilnya

Cecile dan suaminya, Paul yang juga bersuku Tutsi mengambil keputusan harus segera meninggalkan kota domisili mereka sebelum milisi Hutu menemukan mereka. Meski demikian, Cecile sempat ragu jika mereka dapat meloloskan diri karena milisi Hutu melakukan barikade jalan di berbagai tempat, tetapi Paul meyakinkan istrinya bahwa mereka dapat selamat keluar negeri. Berbekal seadanya pasangan suami-istri beserta putri mereka, Sophie yang baru berusia empat tahun memilih malam hari untuk melakukan perjalanan. Sebelumnya Paul telah menyamarkan identitas di paspor mereka sebagai warga yang beretnis Hutu. Sebelum berangkat, Cecile menyuntikkan insulin ke putrinya yang sedang mengidap Diabetes.

Kekhawatiran Cecile muncul kembali saat di perjalanan ia melihat beberapa mobil di depan mereka diberhentikan oleh milisi Hutu yang membarikade jalan. Mereka juga terlihat menganiaya orang-orang yang mereka temukan bersuku Tutsi. Cecile lalu meminta suaminya untuk putar balik ke kota, tetapi Paul meyakinkan istrinya bahwa mereka akan baik-baik saja.

Beberapa anggota milisi lalu mendekati mobil dan meminta mereka keluar. Paul meminta istrinya tetap dalam mobil, biarlah ia yang menemui dan berbicara dengan mereka. Tak lupa ia menenangkan putrinya yang juga mengkhawatirkan keselamatan ayahnya. Paul lalu berjalan tenang menuju pimpinan milisi Hutu yang bernama Emile. Paul lalu memperlihatkan paspor dengan identitas yang telah dipalsukan.

Awalnya semua berjalan sesuai rencana Paul saat Emile meminta mereka melanjutkan perjalanan. Paul sama sekali tidak menduga jika ini hanya tipuan Emile yang telah mengetahui bahwa Paul berasal dari suku Tutsi. Emile tidak dapat dikelabui sebab suku Tutsi berbeda secara fisik dengan Hutu. Suku Tutsi berperawakan tinggi besar dan hidung lebih mancung, sedangkan suku Hutu berpostur lebih pendek dengan hidung lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun