Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tragedi Sumiarsih dan Purwanto: Hancurnya Dua Keluarga Karena Bisnis Prostitusi

23 Juni 2024   06:34 Diperbarui: 23 Juni 2024   07:59 2744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumiarsih dan Purwanto dengan latar belakang Sumiarsih dan putranya sebelum eksekusi mati (UT Hongkong & Macau)

Sumiarsih awalnya adalah seorang kembang desa kelahiran Jombang, 1948. Menikah muda tetapi bercerai karena alasan finansial. Wanita muda ini lalu memutuskan merantau ke Jakarta pada tahun 1970 untuk mengubah nasibnya. Awalnya ia bekerja di warung makan, tetapi karena dianggap tetap tidak mencukupi maka ia berpindah ke sebuah tempat hiburan malam di sekitaran Ancol. 

Kehidupan malam inilah yang membuatnya tergelincir ke dunia malam dengan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) sekaligus menjadi wanita simpanan. Pernak-pernik dunia malam telah menyulapnya dari gadis desa menjadi primadona kota yang diidolakan lelaki penjelajah malam.

Kecantikan dan pesonanya membuatnya menjadi "buah bibir" di kalangan pelanggannya sehingga ia menjadi incaran pelanggan kalangan atas berdompet tebal. Inilah yang mengantarkan Sumiarsih meraih mimpi-mimpinya saat di desa. Apalagi setelah dipersunting oleh pria pelanggannya, seorang duda beranak satu bernama Djais Adi Prayitno. 

Keduanya lantas berkolaborasi membangun mimpi lebih tinggi lagi, tetapi bukan di Jakarta melainkan di Surabaya. Tepatnya di lokalisasi terbesar di Asia Tenggara kala itu, Gang Dolly yang dihuni ribuan PSK di puluhan wisma.

Adapun Purwanto bukanlah seorang lelaki biasa. Ia adalah perwira menengah di Surabaya berpangkat Letnan Kolonel. Bukan hanya pangkat yang dua langkah lagi akan meraih bintang, tetapi jabatan dan posisinya pun sangat strategis. Ia adalah Kepala Primer Koperasi Angkatan Laut (Primkopal).

Purwanto tidak terlibat cinta terlarang dengan Sumiarsih, tetapi ia adalah pelanggan setia di "Happy Home" milik mucikari yang akrab disapa Mami Rose itu. Purwanto sebagaimana Sumiarsih juga memiliki keluarga yang bahagia---secara finansial, dan masa depan yang semestinya menjanjikan. 

Kita bisa bayangkan bagaimana cerahnya masa depan seorang mucikari kelas atas di Gang Dolly, juga masa depan keluarga perwira menengah yang dua tapak lagi akan menjadi perwira tinggi. Sayangnya, godaan bisnis prostitusi menghancurkan impian keluarga Purwanto terlebih lagi keluarga Sumiarsih yang memang fondasinya dibangun di atas harta yang tidak berkah. 

Bagaimana sesungguhnya kisah tragedi kedua keluarga ini? Kami mencoba menyajikannya untuk menjadi pelajaran, disarikan dari berbagai sumber baik chanel youtube maupun media online lainnya.

Penulis memilih kisah Sumiarsih dan Purwanto sehubungan dengan viralnya W Superklub di Kota Makassar. Tempat hiburan milik seorang pengacara kondang di Indonesia ini dicurigai menjalankan bisnis prostitusi. Terlepas dari benar tidaknya dugaan ini, tentu pihak kepolisian dan pemerintah yang lebih tahu. 

Bukan kebetulan, Makassar juga adalah kota pelabuhan layaknya Surabaya. Prostitusi yang berpusat di jalan Nusantara juga dianggap masih "bergeliat" terutama di malam hari. Semoga W Superklub yang terletak di kawasan bisnis elit Center Poin Indonesia (CPI) Makassar tidak terbukti menjalankan bisnis terlarang dan semoga jalan Nusantara tidak menjelma layaknya Gang Dolly di Surabaya pada masanya.

Perjanjian Bisnis Terlarang Sumiarsih dan Purwanto

Bukan kebetulan juga jika Sumiarsih atau Mami Rose bertemu dengan Purwanto, sebab perwira ini memang merupakan pelanggan setianya. Sebagai perwira, Purwanto juga sangat bisa diandalkan "mengamankan" bisnis mucikari penyuka bunga Rose ini. Singkat cerita keduanya lantas menyepakati perjanjian bisnis.

Kesuksesan Sumiarsih menyulap rumah bordil "Happy Home" tampil beda dengan rumah bordil lainnya di Gang Dolly, menjadi bukti bahwa Purwanto dapat mengandalkan Sumiarsih dalam kerja sama bisnis mereka. Sumiarsih memang sukses membangun "Happy Home" menjadi lebih berkelas. 

Bukan hanya karena kecantikan wanita-wanitanya tetapi juga karena umur mereka yang masih muda yakni 17-25 tahun. Selain itu Sumiarsih memberlakukan "kontrak kerja" hanya dua sampai tiga tahun. Kita bisa bayangkan berapa banyak wanita muda yang pernah dipekerjakan oleh Sumiarsih. Sisi positifnya, ia mengajarkan mereka keterampilan seperti memasak dan menjahit agar jika "masa kontrak" habis, mereka tetap bisa menjalankan roda kehidupannya dengan cara yang halal.

Ambisi Sumiarsih dan Purwanto menikmati prospek bisnis prostitusi membuat mereka tidak menyadari bahwa keluarga mereka kelak akan menjadi "tumbal" perjanjian terlarang mereka. Lalu bagaimana kesepakatan antara Sumiarsih dengan Purwanto?

Keduanya sepakat mendirikan rumah bordil pada tahun 1980 dengan nama "Sumber Rejeki". Adapun sistem pembagian keuntungannya: Sumiarsih wajib setor 20 juta perbulan dan ada denda bunga 10% jika telat membayar.

Kita bisa bayangkan nilai 20 juta pada tahun 1980, saat sepiring nasi masih seharga 100 perak dan gaji pegawai negeri masih di kisaran 75 ribu perbulan. Kita perkirakan saja nilainya di atas 500 juta saat ini. Inilah nilai uang yang harus disetor Sumiarsih ke Purwanto setiap bulannya sebagai kompensasi dari investasi Purwanto di wisma milik Mami Rose.

Bermodalkan investasi Purwanto, Sumiarsih kembali melakukan terobosan di bisnis prostitusinya, hanya kali ini ia melakukannya di dua rumah bordilnya: Happy Home dan Sumber Rejeki. Terobosan yang tidak dipikirkan oleh pengelola rumah bordil lainnya di Gang Dolly ini adalah menambah fasilitas minibar dan livemusic dangdut. 

Terobosan ini lantas membuat rumah bordil Sumiarsih semakin ramai pengunjung. Secara finansial, tentu hal ini menguntungkan bagi Sumiarsih. Warga sekitarnya juga ikut menikmatinya, karena Sumiarsih senang meminjamkan uangnya dan tidak terburu-buru menagih. Ia juga dikenal aktif membantu kegiatan warga di lingkungannya.

Saat Petaka Mulai Mendekat

Benarkah rumah bordil Sumiarsih benar-benar menghasilkan rejeki untuknya dan Purwanto sesuai namanya, Sumber Rejeki? Mereka lupa bahwa bisnis ibarat gelombang, kadang pasang dan kadang surut, begitupun bisnis prostitusi mereka. Penyebabnya bisa jadi karena razia aparat, saat bulan Ramadhan atau karena mereka terjerat kasus seperti mempekerjakan anak di bawah umur.

Purwanto yang secara status memang lebih tinggi daripada Sumiarsih, tidak mau peduli dengan pasang surutnya bisnis parner kerjanya. Intinya rekannya itu harus tetap membayar setiap bulannya sesuai dengan kesepakatan mereka. Tidak jarang Purwanto menggunakan kekerasan dalam menagih bagiannya termasuk menganiaya Sumiarsih dan keluarganya. 

Tetapi apa daya, Sumiarsih memang tak mampu membayar sesuai kesepakatan. Purwanto lalu menawarkan cara penyelesaian lain, yakni Sumiarsih menyerahkan anak gadisnya yang saat itu masih berusia 15 tahun. Meski seorang Mami yang telah banyak mengorbankan putri orang lain, tetapi Sumiarsih tidak mau menyerahkan anak gadisnya.

Sumiarsih lantas menemukan solusi agar anak gadisnya tidak diganggu oleh Purwanto, yaitu dengan menikahkan anak gadisnya dengan seorang polisi muda berpangkat Sersan Dua (Serda) pada tahun 1986. Ini berarti enam tahun setelah dia dan Purwanto membuat kesepakatan bisnis. 

Jadi Sumiarsih dan Purwanto telah cukup lama menikmati keuntungan dari bisnis terlarang mereka. Entah Sumiarsih paham kepangkatan atau tidak, yang jelas apalah daya seorang polisi muda berpangkat Serda jika harus berhadapan dengan prajurit senior berpangkat Letkol. Hal ini terbukti saat Purwanto tetap mendesak menyerahkan anaknya meski sudah menikah sembari terus melanjutkan penganiayaan terhadap Sumiarsih dan keluarganya, juga mulai merusak rumah bordilnya.

Aksi Pembantaian terhadap Keluarga Sang Perwira

Setelah bersabar selama dua tahun dalam tekanan dan penganiayaan, keluarga Sumiarsih mulai menyusun strategi. Mereka tidak mungkin menolak keinginan Purwanto mendapatkan putri Sumiarsih, meski ia sudah menjadi istri polisi, hingga kemudian terjadilah kesepakatan. 

Sumiarsih dan suaminya mengantarkan putri mereka ke hotel untuk menemani Purwanto. Tetapi sebelumnya mereka menyusun skenario meminta putri mereka mengenakan pembalut sehingga ia bisa beralasan sedang datang bulan. Purwanto memang tidak jadi menjamah putri Sumiarsih tetapi karena merasa dipermainkan, Purwanto naik pitam dan menganiaya putri Sumiarsih hingga nyaris tewas.

Penganiayaan ini membuat Sumiarsih dan keluarganya hilang kesabaran. Mereka mulai menyusun rencana. Aksi pun dilakukan pada siang hari, 13 Agustus 1998. Sumiarsih dan keluarganya mendatangi rumah Purwanto dengan mengendarai mobil Suzuki Carry. Tidak ada yang curiga karena mereka memang sudah biasa berkunjung atau menyerahkan setoran. 

Mereka tidak menyadari bahwa kali ini tujuan kedatangan mereka lain. Meski demikian, Sumiarsih harus kembali bersabar suasana sepi dari anak-anak yang sedang bermain di lapangan volli di depan rumah Purwanto. Mereka memutuskan berputar-putar dengan mobil, menunggu lapangan sepi.

Benar saja, Purwanto tidak curiga dengan kedatangan Sumiarsih dan keluarganya. Mereka dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Mungkin Purwanto mengira mereka akan menyetor sejumlah uang sesuai perjanjian bisnis mereka. 

Di dalam rumah saat itu ada istri Purwanto yang sedang hamil tua dan keponakan Purwanto, sementara dua putra Purwanto masing-masing duduk di bangku SMA dan SD sedang bermain di depan rumah. Adapun putra sulung Purwanto sedang menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Laut.

Sembari bercakap-cakap, Sumiarsih dan keluarganya menemukan momen Purwanto lengah dan tiba-tiba kepala perwira Angkatan Laut ini dihantam menggunakan alu besi. Meski sempat melakukan perlawanan, apalah daya Purwanto menghadapi lima laki-laki yang sedang diamuk dendam. Kepala Purwanto hancur remuk bahkan isi kepala berhamburan keluar. Mayatnya lalu diseret ke garasi.

Suara ribut di garasi mengundang perhatian kedua putra Purwanto yang bermain di depan rumah. Namun saat mereka mendekat, keduanya juga tewas dihantam alu besi. Mayat keduanya lalu ditumpuk di garasi bersama mayat ayah mereka. Berikutnya, Sunarsih dan ponakannya juga mendekat karena tadi sempat mendengar teriakan putranya yang sempat melarikan diri sebelum tertangkap kembali. 

Namun belum sempat dia mendekat ke mayat suami dan putra-putranya ia dan ponakannya ditangkap lalu dicekik hingga tewas. Keenam mayat keluarga Purwanto ini lantas dinaikkan bertumpuk di atas mobil Daihatsu Taff milik Purwanto. Mobil ini lalu diarahkan ke arah Songgoriti, Batu. 

Mobil berisi enam mayat ini lantas disiram bensin lalu didorong ke jurang. Saat mobil meluncur, menantu Sumiarsih melemparkan obor ke dalam mobil. Mobil pun meluncur masuk ke dalam jurang dalam keadaan terbakar. Mereka ingin memberi pesan bahwa Purwanto dan keluarganya mengalami kecelakaan. Sumiarsih dan keluarganya lantas kembali ke Surabaya.

Penjara Seumur Hidup hingga Hukuman Mati untuk Sumiarsih dan Keluarganya

Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana kasus pembantaian ini terungkap padahal para pelaku sudah sangat rapi menyusun dan menjalankan aksinya. Ibarat pepatah sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sumiarsih dan keluarganya lupa bahwa pihak kepolisian akan menemukan berbagai kejanggalan. 

Mulai dari kepala Purwanto yang hancur dan lidah istrinya yang terjulur keluar tanda orang meninggal karena dicekik. Begitupun bekas ceceran darah di rumah Purwanto dan keterangan saksi yang melihat mobil sudah terbakar saat meluncur ke jurang. Satu hal lagi tubuh para korban menguning bukan memerah sebagaimana korban kebakaran. Kesimpulannya, mereka telah meninggal sebelum terbakar.

Meski demikian, pintu masuk penyelidikan dimulai saat di rumah Purwanto polisi menemukan bekas percikan darah yang sangat kecil di stop kontak. Padahal sehari sebelumnya suami Sumiarsih, Djais telah membersihkan rumah Purwanto. Hasil pengkondisian di dalam rumah, polisi menyimpulkan Purwanto dan keluarganya dibunuh, tetapi tidak dipublish untuk menghindari lolosnya para pelaku.

Polisi lalu menyelidiki latar belakang Purwanto dan mencari tahu siapa saja yang berhubungan dengannya menjelang ia dan keluarganya ditemukan menjadi korban pembunuhan. 

Polisi lantas menemukan informasi bahwa Purwanto menjalankan bisnis prostitusi di Gang Dolly bekerja sama dengan Sumiarsih. Penyelidikan polisi lalu berfokus pada Sumiarsih sehubungan dengan informasi dirinya tersangkut utang-piutang yang banyak dengan Purwanto. 

Sumiarsih lalu dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Mami Gang Dolly ini tidak mampu mengelak. Ia mengakui bahwa dirinya dan keluarganya yang melakukan pembunuhan terhadap Purwanto dan keluarganya. Berbekal pengakuan Sumiarsih, seluruh pelaku kemudian ditangkap.

Persidangan pun digelar pada 18 Pebruari 1989 atau enam bulan pasca pembunuhan sadis dan berencana itu. Sumiarsih, Djais dan Sugeng (putra Sumiarsih) dijatuhi hukuman mati. Nano (putra Djais dari pernikahan pertamanya) dan Daim (pekerja di rumah bordil Sumiarsih) dihukum penjara seumur hidup. 

Nano dan Daim telah bebas setelah menjalani hukuman masing-masing 15 dan 12 tahun penjara. Sementara Serda Adi (menantu Sumiarsih yang anggota polisi) dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer. Ia dieksekusi pada 2 Desember 1992. Adapun Prayitno meninggal karena serangan jantung pada 2001, sedangkan Sumiarsih dan putranya, Ibu dan anak yang selama dalam kurungan tidak pernah bertemu sempat dipertemukan saat dipindahkan ke Lapas Medaeng, Sidoarjo sebelum dieksekusi.

Sumiarsih saat di pengadilan (Alinea)
Sumiarsih saat di pengadilan (Alinea)

Akhirnya 20 tahun kemudian tepatnya pada 19 Juni 2008 pukul setengan satu malam, Sumiarsih dan putranya berdiri berdampingan dalam keadaan terikat di tiang eksekusi. 

Suara tembakan beberapa kali disusul dengan terkulainya tubuh Sumiarsih dan putranya. Semoga kita mendapat pelajaran berharga dari tragedi keluarga Sumiarsih dan Purwanto, betapa dahsyatnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh bisnis terlarang seperti prostitusi yang dijalankan oleh Sumiarsih dan Purwanto. 

Bukan hanya keduanya yang akan merasakan akibatnya, tetapi kedua keluarga mereka akhirnya menjadi "tumbal." Kebahagiaan dan harta melimpah yang diimpikan oleh Sumiarsih dan Purwanto ternyata hanya fatamorgana karena mata dan hati mereka telah dibutakan oleh kerlap-kerlip dunia malam. 

Bahkan informasi yang kami dapatkan dari salah satu media nasional, putra sulung Purwanto yang sedang menjalani pendidikan di Akademi Angkatan Laut mengalami depresi dan gangguan jiwa sehingga harus dikeluarkan.

Kisah Sumiarsih dan Purwanto dan tragedi yang menimpa keluarga keduanya akibat bisnis prostitusi ini telah diangkat dalam sebuah buku dengan judul "Mami Rose: Jual Diri ke Mucikari sampai Eksekusi Mati." Buku yang ditulis oleh Siti Nasyi'ah ini diberi pengantar oleh jurnalis senior yang sekaligus mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan.

Sampul buku Mami Rose
Sampul buku Mami Rose

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun