Purwanto yang secara status memang lebih tinggi daripada Sumiarsih, tidak mau peduli dengan pasang surutnya bisnis parner kerjanya. Intinya rekannya itu harus tetap membayar setiap bulannya sesuai dengan kesepakatan mereka. Tidak jarang Purwanto menggunakan kekerasan dalam menagih bagiannya termasuk menganiaya Sumiarsih dan keluarganya.Â
Tetapi apa daya, Sumiarsih memang tak mampu membayar sesuai kesepakatan. Purwanto lalu menawarkan cara penyelesaian lain, yakni Sumiarsih menyerahkan anak gadisnya yang saat itu masih berusia 15 tahun. Meski seorang Mami yang telah banyak mengorbankan putri orang lain, tetapi Sumiarsih tidak mau menyerahkan anak gadisnya.
Sumiarsih lantas menemukan solusi agar anak gadisnya tidak diganggu oleh Purwanto, yaitu dengan menikahkan anak gadisnya dengan seorang polisi muda berpangkat Sersan Dua (Serda) pada tahun 1986. Ini berarti enam tahun setelah dia dan Purwanto membuat kesepakatan bisnis.Â
Jadi Sumiarsih dan Purwanto telah cukup lama menikmati keuntungan dari bisnis terlarang mereka. Entah Sumiarsih paham kepangkatan atau tidak, yang jelas apalah daya seorang polisi muda berpangkat Serda jika harus berhadapan dengan prajurit senior berpangkat Letkol. Hal ini terbukti saat Purwanto tetap mendesak menyerahkan anaknya meski sudah menikah sembari terus melanjutkan penganiayaan terhadap Sumiarsih dan keluarganya, juga mulai merusak rumah bordilnya.
Aksi Pembantaian terhadap Keluarga Sang Perwira
Setelah bersabar selama dua tahun dalam tekanan dan penganiayaan, keluarga Sumiarsih mulai menyusun strategi. Mereka tidak mungkin menolak keinginan Purwanto mendapatkan putri Sumiarsih, meski ia sudah menjadi istri polisi, hingga kemudian terjadilah kesepakatan.Â
Sumiarsih dan suaminya mengantarkan putri mereka ke hotel untuk menemani Purwanto. Tetapi sebelumnya mereka menyusun skenario meminta putri mereka mengenakan pembalut sehingga ia bisa beralasan sedang datang bulan. Purwanto memang tidak jadi menjamah putri Sumiarsih tetapi karena merasa dipermainkan, Purwanto naik pitam dan menganiaya putri Sumiarsih hingga nyaris tewas.
Penganiayaan ini membuat Sumiarsih dan keluarganya hilang kesabaran. Mereka mulai menyusun rencana. Aksi pun dilakukan pada siang hari, 13 Agustus 1998. Sumiarsih dan keluarganya mendatangi rumah Purwanto dengan mengendarai mobil Suzuki Carry. Tidak ada yang curiga karena mereka memang sudah biasa berkunjung atau menyerahkan setoran.Â
Mereka tidak menyadari bahwa kali ini tujuan kedatangan mereka lain. Meski demikian, Sumiarsih harus kembali bersabar suasana sepi dari anak-anak yang sedang bermain di lapangan volli di depan rumah Purwanto. Mereka memutuskan berputar-putar dengan mobil, menunggu lapangan sepi.
Benar saja, Purwanto tidak curiga dengan kedatangan Sumiarsih dan keluarganya. Mereka dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Mungkin Purwanto mengira mereka akan menyetor sejumlah uang sesuai perjanjian bisnis mereka.Â
Di dalam rumah saat itu ada istri Purwanto yang sedang hamil tua dan keponakan Purwanto, sementara dua putra Purwanto masing-masing duduk di bangku SMA dan SD sedang bermain di depan rumah. Adapun putra sulung Purwanto sedang menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Laut.