Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu 2024, Pendidikan Karakter dan Bonus Demografi 2045

13 Juni 2024   12:35 Diperbarui: 13 Juni 2024   13:39 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi politik uang (Kompas.com)

Menghubungkan pemilu dengan pendidikan karakter? Mungkin bagi sebagian kita menganggapnya terlalu ideal atau bisa jadi memang terlupakan sama sekali. Kita mungkin lupa bahwa jutaan pemilih muda kita adalah mahasiswa bahkan banyak yang masih berstatus siswa. 

Jika mengacu pada data yang disampaikan oleh pakar ilmu politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dr. M. Mubarok Muharom, M.IP, jumlah pemilih tetap pemilu 2024 ada sekitar 56,45% didominasi oleh generasi milenial dan generasi z (unesa.ac.id), sedangkan data pakar politik Universitas Gajah Mada (UGM), Dr. Mada Sukmajati, diperkirakan 52% dari total 204.807.222 jiwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional (ugm.ac.id). Data dari kedua pakar ini menunjukkan lebih dari setengah pemilih dalam DPT Nasional (100 juta) merupakan pemilih muda.

Lalu apa hubungannya dengan "bonus demografi"? Di antara pemilih muda terdapat jutaan di antaranya berusia 17-an hingga 20-an tahun. Dua puluh tahun ke depan, sebagian besar mereka adalah bonus demografi pada tahun 2045. Masa yang disebut-sebut akan menjadi titik Indonesia emas.

Alasannya, negara-negara maju di dunia mencapai keemasan pada saat mereka memperoleh bonus demografi. Istilah ini sendiri mengacu pada lebih banyaknya penduduk usia produktif dibanding yang nonproduktif. Maka sadarlah kita bahwa pemilih muda di Pemilu 2024 adalah masa depan Indonesia. Dihubungkan dengan visi Indonesia emas 2045 mereka adalah calon-calon bonus demografi.

Maka seharusnya pemilih dewasa, politisi, kontestan hingga penyelenggara pemilu hari ini tidak melupakan pendidikan karakter bagi pemilih muda. Bagaimana caranya? Tentu dengan memberikan keteladanan dan mewariskan nilai-nilai kejujuran dan nasionalisme dalam proses demokrasi. 

Bukan mewariskan perilaku politik lebih mementingkan kepentingan individu atau golongan tertentu, sebab hal ini mereka tidak temukan di bangku sekolah atau perguruan tinggi. 

Para pendidik senantiasa memberikan doktrin positif kepada peserta didik agar mendahulukan kepentingan bangsanya di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sayangnya, pendidik hanya mempunyai durasi tiga tahun membersamai anak didiknya atau empat sampai lima tahun di perguruan tinggi. Selebihnya, mereka akan dibentuk oleh lingkungan termasuk lingkungan sosial dan politik.

Kami lalu menemukan fakta bahwa beberapa anak didik kami yang terjun ke dunia politik dengan menjadi calon anggota legislatif terpaksa ikut arus tidak sehat demokrasi. 

Mereka yang dulunya merupakan anak-anak didik yang jujur dan sangat idealis akhirnya terjebak pada arus negatif politik transaksional dengan modus utama money politics. Mereka dipaksa menerima kenyataan bahwa popularitas dan elektabilitas lebih menentukan untuk ikut mengurus negara dibanding kecerdasan dan pengalaman. Mereka terpaksa mengimitasi popularitas instan dengan cara transaksional.

Lunturnya idealisme di bangku sekolah atau perguruan tinggi oleh lingkungan sosial dan politik ini seharusnya menjadi cerminan betapa pemilih dewasa, para politisi, kontestan hingga penyelenggara pemilu harus memberikan keteladanan kepada para pemilih muda. 

Sekali lagi jangan lupakan pendidikan karakter untuk mereka, minimal jangan mengantar mereka menjadi pemilih-pemilih tradisional. Seharusnya kita mewariskan pada mereka betapa berharganya nilai-nilai kecerdasan. Bukan sebaliknya, mewariskan nilai kepada mereka betapa berkuasanya materi sehingga kecerdasan dan pengalaman harus tunduk padanya.

Warisan Money Politics dari Pemilu Sebelumnya

Money Politics menjadi bahasan dalam salah satu edisi jurnal Adhyasta Pemilu terbitan Bawaslu. Tulisan berjudul "Money Politics pada Pemilu 2019, Kajian terhadap Potret Pengawasan dan Daya Imperatif Hukum Pemilu" itu ditulis oleh Aminuddin Kasim dan Supriyadi. Di bagian pendahuluan, kedua akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako ini menulis bahwa penyelenggaraan pemilu pasca reformasi ketatanegaraan memiliki catatan noda terkait dengan adanya praktik politik uang (money politics).

Mereka bahkan mencatat kasus money politics sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019 dengan rincian: Pemilu 2009 (691 kasus), Pemilu 2014 (313 kasus), dan pada Pemilu 2019 modus money politics berkamuflase menjadi bagi-bagi uang dan barang, bahkan ada yang berbentuk bagi-bagi kupon umrah. Dijelaskan pula bahwa praktik money politics dilakukan secara terang-terangan dan terekam dengan mata telanjang, bahkan tidak terhitung lagi video yang beredar di media sosial terkait money politics. 

Dengan demikian, praktik money politics pada Pemilu 2019 sesungguhnya jauh lebih banyak dan masif dibanding Pemilu 2009 dan 2014. Namun, karena tidak semua warga masyarakat melaporkan praktik money politics itu, maka banyak yang tidak terdeteksi oleh jajaran pengawas pemilu di semua daerah.

Begitupun praktik money politics yang terekam video dan beredar luas di media sosial tidak ditangani oleh jajaran pengawas pemilu karena tidak ada warga yang menyampaikan laporan dugaan pelanggaran. Inilah yang menyebabkan Bawaslu hanya mencatat 36 kasus yang telah diputus oleh pengadilan.

Menyimak data dan fakta money politics dari Pemilu 2009 hingga 2019 ini, maka kita dapat berkesimpulan bahwa praktik ini telah dianggap hal biasa dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Bahkan menurut Aminuddin Kasim dan Supriyadi, Pemilu 1999 dan 2004 pun tidak terlepas dari praktik money politics. 

Hasil penelitian keduanya menyimpulkan bahwa di antara penyebab suburnya praktik money politics adalah sikap permisif warga masyarakat terhadap praktik money politics bahkan ada kecenderungan menanti datangnya praktik money politics itu.

Pemilih Muda 2024 dan Money Politics

Ancaman praktik money politics pada pemilu 2024 sesungguhnya telah diperingatkan oleh banyak pihak, termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo dalam sebuah webinar tentang money politics pernah mengingatkan bahwa money politics merupakan ancaman serius pada pemilu 2024. Ia bahkan menambahkan bahwa money politics itu telah merambah sampai pada penyelenggara pemilu.

Contohnya seorang anggota KPU Kota Prabumulih dan anggota KPU Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang dijatuhi sanksi Pemberhentian Tetap oleh DKPP karena terbukti menerima uang dari salah seorang calon anggota legislatif dengan menjanjikan suara. Tantangan lain terkait potensi money politics di pemilu 2024 adalah karena masyarakat telah menganggap lumrah politik uang sebagaimana hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019 bahwa sebanyak 48% masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa (dkpp.go.id).

Fenomena permisif terhadap money politics bukan hanya terjadi di masyarakat luas atau pemilih dewasa tetapi juga telah melanda pemilih muda. Hal ini diperkuat oleh hasil riset agency public relations, Praxis Indonesia (CNBC Indonesia, 23/01/2024). Berdasarkan survei kepada pemilih muda berusia 16-25 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024 hanya 10,99% saja yang bersikap tegas menolak money politics. 

Sebagian menerima dengan sejumlah catatan. Salah satunya sikap pragmatis menerima tetapi tidak memilih atau dikenal luas dengan slogan "ambil uangnya, jangan pilih orangnya". Mohammad Akbar, seorang konsultan komunikasi lalu menambahkan bahwa perilaku semacam ini sungguh merisihkan. 

Apalagi fenomena dan perilaku itu telah mendapat tempat pada kelompok sosial masyarakat yang harusnya menjadi mesin perubahan di negeri ini. Ia lalu mengingatkan jika pragmatisme bersikap mahasiswa terhadap politik uang sudah begitu permisif, tentunya hal ini menjadi warning yang membahayakan. Meski demikian, ia menjelaskan bahwa ini bukan murni kesalahan mereka tetapi juga karena sikap seperti ini telah menjadi fenomena sosial di masyarakat.

Ancaman terhadap Bonus Demografi 2045

Meskipun kami sudah menulis puluhan artikel tentang pemilu tahun ini, tetapi rasanya masih sulit menemukan benang merah pendidikan karakter di dalamnya. Kami justru disuguhkan perilaku dan persepsi yang bertentangan dengan nurani demokrasi. Kami menyaksikan bagaimana demokrasi harus berjuang melawan intrik (meminjam istilah pakar ilmu politik UNHAS, Adi Suryadi Culla). 

Kami juga dipaksa menerima kenyataan bahwa etika tidak lagi dianggap penting dalam berdemokrasi, sebagaimana kritikan kaum intelektual dan akademisi kampus terkait perilaku berdemokrasi sekalangan elit. Di sisi lain, kami dipaksa menerima kenyataan bagaimana money politics masih menjadi fenomena. Para pemilih muda pun tidak luput dari "serangan fajar" ini.

Jika perilaku berdemokrasi sudah harus melawan intrik, jika money politics dijadikan kendaraan di atas kejujuran, bagaimana nasib visi Indonesia maju 2045? Bagaimana dengan generasi-generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan berdemokrasi yang transaksional dengan modus money politics ini? Benarkah mereka akan menjadi bonus-bonus demografi yang berkarakter dan dapat diandalkan untuk Indonesia maju 2045? 

Ataukan Indonesia maju yang kita maksudkan adalah infrastruktur megah bukan pada karakter warganya? Bukankah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengingatkan bahwa praktik money politics adalah bentuk suap-menyuap yang menjadi akar kasus korupsi? KPK memberikan contoh sebuah kasus di tahun 2019 ketika seorang anggota DPR yang divonis lima tahun dan dicabut hak politiknya selama empat tahun karena terbukti menerima suap dan gratifikasi untuk dijadikan uang "serangan fajar" (aclc.kpk.go.id, 13 Feb 2024).

Money politics dan kasus korupsi menunjukkan bahwa tujuan pendidikan nasional kita untuk menciptakan generasi yang "bermartabat", "cerdas", hingga "menjadi warga negara yang demokratis" sesuai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kita belum tercapai sepenuhnya. 

Para pendidik sebenarnya telah berusaha menanamkan karakter mulia selama mereka di bangku sekolah atau perguruan tinggi. Seharusnya pemilu juga harus menjadi instrumen menjaga pemilih muda ini agar tetap bermartabat, menghargai kecerdasan dan menjadi warga negara yang demokratis.

Akhirnya, kami menitipkan pesan kepada masyarakat pemilih dewasa, politisi, kontestan hingga penyelenggara pemilu agar menjaga pemilih-pemilih muda tetap berkarakter. Mereka yang akan menggantikan posisi kita menjadi pemilih-pemilih dewasa di masa depan dan menentukan arah demokrasi. Mungkin juga sebagian di antara mereka akan menjadi politisi, kontestan pemilu atau penyelenggara pemilu di periode-periode selanjutnya. Kita semua bertanggung jawab mewujudkan visi Indonesia emas 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun