Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu 2024, Pendidikan Karakter dan Bonus Demografi 2045

13 Juni 2024   12:35 Diperbarui: 13 Juni 2024   13:39 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi politik uang (Kompas.com)

Fenomena permisif terhadap money politics bukan hanya terjadi di masyarakat luas atau pemilih dewasa tetapi juga telah melanda pemilih muda. Hal ini diperkuat oleh hasil riset agency public relations, Praxis Indonesia (CNBC Indonesia, 23/01/2024). Berdasarkan survei kepada pemilih muda berusia 16-25 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024 hanya 10,99% saja yang bersikap tegas menolak money politics. 

Sebagian menerima dengan sejumlah catatan. Salah satunya sikap pragmatis menerima tetapi tidak memilih atau dikenal luas dengan slogan "ambil uangnya, jangan pilih orangnya". Mohammad Akbar, seorang konsultan komunikasi lalu menambahkan bahwa perilaku semacam ini sungguh merisihkan. 

Apalagi fenomena dan perilaku itu telah mendapat tempat pada kelompok sosial masyarakat yang harusnya menjadi mesin perubahan di negeri ini. Ia lalu mengingatkan jika pragmatisme bersikap mahasiswa terhadap politik uang sudah begitu permisif, tentunya hal ini menjadi warning yang membahayakan. Meski demikian, ia menjelaskan bahwa ini bukan murni kesalahan mereka tetapi juga karena sikap seperti ini telah menjadi fenomena sosial di masyarakat.

Ancaman terhadap Bonus Demografi 2045

Meskipun kami sudah menulis puluhan artikel tentang pemilu tahun ini, tetapi rasanya masih sulit menemukan benang merah pendidikan karakter di dalamnya. Kami justru disuguhkan perilaku dan persepsi yang bertentangan dengan nurani demokrasi. Kami menyaksikan bagaimana demokrasi harus berjuang melawan intrik (meminjam istilah pakar ilmu politik UNHAS, Adi Suryadi Culla). 

Kami juga dipaksa menerima kenyataan bahwa etika tidak lagi dianggap penting dalam berdemokrasi, sebagaimana kritikan kaum intelektual dan akademisi kampus terkait perilaku berdemokrasi sekalangan elit. Di sisi lain, kami dipaksa menerima kenyataan bagaimana money politics masih menjadi fenomena. Para pemilih muda pun tidak luput dari "serangan fajar" ini.

Jika perilaku berdemokrasi sudah harus melawan intrik, jika money politics dijadikan kendaraan di atas kejujuran, bagaimana nasib visi Indonesia maju 2045? Bagaimana dengan generasi-generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan berdemokrasi yang transaksional dengan modus money politics ini? Benarkah mereka akan menjadi bonus-bonus demografi yang berkarakter dan dapat diandalkan untuk Indonesia maju 2045? 

Ataukan Indonesia maju yang kita maksudkan adalah infrastruktur megah bukan pada karakter warganya? Bukankah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengingatkan bahwa praktik money politics adalah bentuk suap-menyuap yang menjadi akar kasus korupsi? KPK memberikan contoh sebuah kasus di tahun 2019 ketika seorang anggota DPR yang divonis lima tahun dan dicabut hak politiknya selama empat tahun karena terbukti menerima suap dan gratifikasi untuk dijadikan uang "serangan fajar" (aclc.kpk.go.id, 13 Feb 2024).

Money politics dan kasus korupsi menunjukkan bahwa tujuan pendidikan nasional kita untuk menciptakan generasi yang "bermartabat", "cerdas", hingga "menjadi warga negara yang demokratis" sesuai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kita belum tercapai sepenuhnya. 

Para pendidik sebenarnya telah berusaha menanamkan karakter mulia selama mereka di bangku sekolah atau perguruan tinggi. Seharusnya pemilu juga harus menjadi instrumen menjaga pemilih muda ini agar tetap bermartabat, menghargai kecerdasan dan menjadi warga negara yang demokratis.

Akhirnya, kami menitipkan pesan kepada masyarakat pemilih dewasa, politisi, kontestan hingga penyelenggara pemilu agar menjaga pemilih-pemilih muda tetap berkarakter. Mereka yang akan menggantikan posisi kita menjadi pemilih-pemilih dewasa di masa depan dan menentukan arah demokrasi. Mungkin juga sebagian di antara mereka akan menjadi politisi, kontestan pemilu atau penyelenggara pemilu di periode-periode selanjutnya. Kita semua bertanggung jawab mewujudkan visi Indonesia emas 2045.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun