Sekali lagi jangan lupakan pendidikan karakter untuk mereka, minimal jangan mengantar mereka menjadi pemilih-pemilih tradisional. Seharusnya kita mewariskan pada mereka betapa berharganya nilai-nilai kecerdasan. Bukan sebaliknya, mewariskan nilai kepada mereka betapa berkuasanya materi sehingga kecerdasan dan pengalaman harus tunduk padanya.
Warisan Money Politics dari Pemilu Sebelumnya
Money Politics menjadi bahasan dalam salah satu edisi jurnal Adhyasta Pemilu terbitan Bawaslu. Tulisan berjudul "Money Politics pada Pemilu 2019, Kajian terhadap Potret Pengawasan dan Daya Imperatif Hukum Pemilu" itu ditulis oleh Aminuddin Kasim dan Supriyadi. Di bagian pendahuluan, kedua akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako ini menulis bahwa penyelenggaraan pemilu pasca reformasi ketatanegaraan memiliki catatan noda terkait dengan adanya praktik politik uang (money politics).
Mereka bahkan mencatat kasus money politics sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019 dengan rincian: Pemilu 2009 (691 kasus), Pemilu 2014 (313 kasus), dan pada Pemilu 2019 modus money politics berkamuflase menjadi bagi-bagi uang dan barang, bahkan ada yang berbentuk bagi-bagi kupon umrah. Dijelaskan pula bahwa praktik money politics dilakukan secara terang-terangan dan terekam dengan mata telanjang, bahkan tidak terhitung lagi video yang beredar di media sosial terkait money politics.Â
Dengan demikian, praktik money politics pada Pemilu 2019 sesungguhnya jauh lebih banyak dan masif dibanding Pemilu 2009 dan 2014. Namun, karena tidak semua warga masyarakat melaporkan praktik money politics itu, maka banyak yang tidak terdeteksi oleh jajaran pengawas pemilu di semua daerah.
Begitupun praktik money politics yang terekam video dan beredar luas di media sosial tidak ditangani oleh jajaran pengawas pemilu karena tidak ada warga yang menyampaikan laporan dugaan pelanggaran. Inilah yang menyebabkan Bawaslu hanya mencatat 36 kasus yang telah diputus oleh pengadilan.
Menyimak data dan fakta money politics dari Pemilu 2009 hingga 2019 ini, maka kita dapat berkesimpulan bahwa praktik ini telah dianggap hal biasa dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Bahkan menurut Aminuddin Kasim dan Supriyadi, Pemilu 1999 dan 2004 pun tidak terlepas dari praktik money politics.Â
Hasil penelitian keduanya menyimpulkan bahwa di antara penyebab suburnya praktik money politics adalah sikap permisif warga masyarakat terhadap praktik money politics bahkan ada kecenderungan menanti datangnya praktik money politics itu.
Pemilih Muda 2024 dan Money Politics
Ancaman praktik money politics pada pemilu 2024 sesungguhnya telah diperingatkan oleh banyak pihak, termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo dalam sebuah webinar tentang money politics pernah mengingatkan bahwa money politics merupakan ancaman serius pada pemilu 2024. Ia bahkan menambahkan bahwa money politics itu telah merambah sampai pada penyelenggara pemilu.
Contohnya seorang anggota KPU Kota Prabumulih dan anggota KPU Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang dijatuhi sanksi Pemberhentian Tetap oleh DKPP karena terbukti menerima uang dari salah seorang calon anggota legislatif dengan menjanjikan suara. Tantangan lain terkait potensi money politics di pemilu 2024 adalah karena masyarakat telah menganggap lumrah politik uang sebagaimana hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019 bahwa sebanyak 48% masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa (dkpp.go.id).