Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Menyikapi Kontroversi Penggunaan Gelar Haji di Indonesia?

11 Juni 2024   09:33 Diperbarui: 11 Juni 2024   13:59 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rombongan haji dengan menggunakan unta (buku Sejarah Haji Indonesia dari Masa ke Masa, BPKH)

Perbedaan persepsi tentang penggunaan gelar Haji di Indonesia hingga kini masih terjadi. Di salah satu grup whatsapp, seorang teman mengupload video yang mengomentari penggunaan gelar Haji yang intinya menjelaskan bahwa al-Haj itu bermakna tamu atau pengunjung. Jadi menurutnya, saat orang sudah kembali ke tanah air, maka gelar al-Haj atau Haji tidak pantas lagi disematkan.

Di grup whatsapp lainnya, seorang teman mengupload video seorang ustadz kondang yang mengusulkan agar kebiasaan menggelari Haji atau Hajah ini dihentikan. 

Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama, panggilan ini dapat menyebabkan seseorang terjatuh pada penyakit riya. Kedua, panggilan ini dapat menjadi "legitimasi" bagi seseorang untuk menjadi ustaz atau kyai meski tidak atau kurang memahami ilmu agama. Video yang awalnya dibagikan melalui sebuah akun facebook ini sudah mendapatkan puluhan ribu tanggapan.

Kolonialisasi Haji di Indonesia

Kolonialisasi gelar haji yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sejatinya merupakan bentuk prasangka sosial (social prejudice). Mereka menghubungkan perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda dengan pelaksanaan ibadah haji. 

Asumsi mereka didasarkan pada adanya kecenderungan pemimpin-pemimpin perlawanan adalah mereka yang pulang dari berhaji. 

Kenyataan ini membuat mereka mengeluarkan sejumlah regulasi atau peraturan yang mempersulit pelaksanaan ibadah haji sejak tahun 1825. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda menggunakan perangkat pemerintahan mereka seperti residen dan bupati untuk menggunakan pengaruhnya membendung animo masyarakat berhaji.

Meski demikian, regulasi ditambah pengawasan ketat, tidak mampu menghilangkan semangat berhaji masyarakat di nusantara. Maka pemerintah kolonial menempuh langkah antisipasi dengan menyematkan atau mendukung penyematan gelar Haji di depan nama mereka yang pulang berhaji. 

Hal ini mereka lakukan agar memudahkan identifikasi terhadap mereka yang punya peluang besar menggerakkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Ketentuan pemberian gelar Haji ini dipertegas dalam peraturan pemerintah Hindia Belanda Staatblas tahun 1903.

Memperbaiki Tafsir Sejarah Penggunaan Gelar Haji

Meskipun pemerintahan di Indonesia telah beralih dari Hindia Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia tetapi penyematan gelar Haji terlanjur mengakar di masyarakat bahkan ikut membentuk stratifikasi sosial. Lalu bagaimana sikap pertengahan yang dapat dipraktikkan untuk menyikapi penggunaan gelar Haji yang rasanya akan sangat sulit dihilangkan dari masyarakat kita?

Meski bisa dikatakan bahwa penggunaan gelar haji ini adalah warisan kolonial, bukan berarti serta merta harus ditolak atau dihapus dari masyarakat. 

Kita harus menafsirkan dengan asumsi terbalik, kenyataan bahwa pemerintah kolonial mewaspadai mereka dan mempersulit pelaksanaanya berarti mereka adalah kaum yang berpengaruh dalam masyarakatnya. 

Kehormatan mereka dalam kedudukannya inilah yang berpotensi mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan. Artinya, orang yang telah berhaji atau bergelar haji adalah sosok-sosok terhormat di masyarakat. 

Mereka bukan hanya terpersonifikasi melalui penampilan tetapi juga dalam bertutur kata, berprilaku khususnya dalam ibadah. Mereka juga senantiasa berusaha tampil sebagaimana layaknya tokoh dalam masyarakat dengan berbagai nilai keteladanan.

Ada satu pendapat seorang sahabat di grup whatsapp yang ingin penulis kemukakan. Menurutnya, penggunaan gelar haji diharapkan menjadi "tameng" secara individual bahwa seseorang yang telah melaksanakan rukun Islam kelima akan menyempurnakan keislamannya. 

Gelar Haji diharapkan mampu menghalangi mereka melakukan kesalahan, dengan kata lain gelar Haji akan menuntun pemiliknya menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya, baik tutur sapanya, tingkah lakunya, penghargaan mereka terhadap orang lain, keikhlasan dalam bertindak dan yang lebih utama dalam hal ibadah-ibadah mereka.

Penulis menambahkan pendapat sahabat ini dari sisi sejarah penggunaan gelar ini di tanah air terutama oleh para pendiri bangsa yang pernah merasakan pemerintahan Hindia Belanda. 

Secara singkat, mereka yang lebih banyak berkecimpung di bidang politik tidak akan dipanggil dengan gelar hajinya, ambillah contoh seperti Sukarno atau Moh. Hatta. 

Lain halnya jika politisi bersangkutan juga dikenal sebagai tokoh umat Islam seperti Haji Agus Salim dan Hajah Rasuna Said. Ada pula yang menggunakan akronim seperti H.O.S (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).

Dengan demikian, kita harus kembali menafsirkan bahwa penggunaan gelar Haji jangan semata-mata dilihat sebagai warisan kolonial, tetapi kita tafsirkan bahwa mereka adalah sosok-sosok terhormat. 

Biarkan masyarakat yang menilai siapa di antara mereka yang memang layak menyandang gelar itu dan siapa yang tidak berhak menyandangnya. 

Tidak perlu hal ini diperpanjanglebar apalagi hingga menimbulkan perpecahan di masyarakat. Kita ambil jalan tengahnya, sebab gelar Haji yang tadinya disematkan oleh pemerintah Hindia Belanda, kini disematkan oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun