Meskipun pemerintahan di Indonesia telah beralih dari Hindia Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia tetapi penyematan gelar Haji terlanjur mengakar di masyarakat bahkan ikut membentuk stratifikasi sosial. Lalu bagaimana sikap pertengahan yang dapat dipraktikkan untuk menyikapi penggunaan gelar Haji yang rasanya akan sangat sulit dihilangkan dari masyarakat kita?
Meski bisa dikatakan bahwa penggunaan gelar haji ini adalah warisan kolonial, bukan berarti serta merta harus ditolak atau dihapus dari masyarakat.Â
Kita harus menafsirkan dengan asumsi terbalik, kenyataan bahwa pemerintah kolonial mewaspadai mereka dan mempersulit pelaksanaanya berarti mereka adalah kaum yang berpengaruh dalam masyarakatnya.Â
Kehormatan mereka dalam kedudukannya inilah yang berpotensi mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan. Artinya, orang yang telah berhaji atau bergelar haji adalah sosok-sosok terhormat di masyarakat.Â
Mereka bukan hanya terpersonifikasi melalui penampilan tetapi juga dalam bertutur kata, berprilaku khususnya dalam ibadah. Mereka juga senantiasa berusaha tampil sebagaimana layaknya tokoh dalam masyarakat dengan berbagai nilai keteladanan.
Ada satu pendapat seorang sahabat di grup whatsapp yang ingin penulis kemukakan. Menurutnya, penggunaan gelar haji diharapkan menjadi "tameng" secara individual bahwa seseorang yang telah melaksanakan rukun Islam kelima akan menyempurnakan keislamannya.Â
Gelar Haji diharapkan mampu menghalangi mereka melakukan kesalahan, dengan kata lain gelar Haji akan menuntun pemiliknya menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya, baik tutur sapanya, tingkah lakunya, penghargaan mereka terhadap orang lain, keikhlasan dalam bertindak dan yang lebih utama dalam hal ibadah-ibadah mereka.
Penulis menambahkan pendapat sahabat ini dari sisi sejarah penggunaan gelar ini di tanah air terutama oleh para pendiri bangsa yang pernah merasakan pemerintahan Hindia Belanda.Â
Secara singkat, mereka yang lebih banyak berkecimpung di bidang politik tidak akan dipanggil dengan gelar hajinya, ambillah contoh seperti Sukarno atau Moh. Hatta.Â
Lain halnya jika politisi bersangkutan juga dikenal sebagai tokoh umat Islam seperti Haji Agus Salim dan Hajah Rasuna Said. Ada pula yang menggunakan akronim seperti H.O.S (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
Dengan demikian, kita harus kembali menafsirkan bahwa penggunaan gelar Haji jangan semata-mata dilihat sebagai warisan kolonial, tetapi kita tafsirkan bahwa mereka adalah sosok-sosok terhormat.Â